red_roodee

Thursday, May 31, 2007

PENEMBAKAN WARGA ALASTLOGO PASURUAN ADALAH PELANGGARAN HAM BERAT OLEH MILITER

Melihat terjadinya kasus penembakan Warga Alastlogo Pasuruan Jawa Timur oleh aparat militer, mengingatkan kita akan masa-masa hidup di zaman rezim otoriterian, rezim fasis-militeristik Orde Baru. Suatu pengalaman berharga adalah betapa hidup dibawah rezim (junta) yang menggunakan pola represif sangatlah menyakitkan. Masih segar di ingatan, bahwa bangsa dan negara ini pernah mengalami masa gelap yang penuh kejahatan terhadap peradaban dan pelanggaran serius terhadap perikemanusiaan dan HAM yang dilakukan oleh Orde Baru yang disokong oleh militer.
Periode kekuasaan Orde Baru adalah masa yang termasuk paling biadab dalam sepanjang sejarah bangsa ini. Kebiadaban itu dipertontonkan dengan massif ketika setiap orang dan elemen masyarakat yang berani tampil berbeda dengan negara di kikis habis, bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi oleh rezim dan antek-anteknya...siapa lagi kalau bukan tentara (baca : militer).

--------------------------------------

Kekerasan kembali terjadi, tumpahan darah anak negeri kembali membasahi bumi. Militer kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pembunuh rakyat,...jati diri yang selama Orde Baru menjadi image dari rezim militeristik dan menjadi perilaku utama militer.

Ternyata adagium perubahan sebagai militer yang mengayom dan militer yang berperan sebagai alat pertahanan-keamanan nasional berubah rupa menjadi begitu mengerikan, menjadi militer fasis, militer pembunuh, dan tragisnya yang dibunuh adalah rakyat yang membelikannya senjata. Senjata yang seharusnya dipergunakan untuk melindungi rakyat.

Teringat pada masa Orde Baru, dimana militer adalah ordo/golongan masyarakat yang tergolong kelas elit, yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu, termasuk kekuasaan di segala bidang. Dulu militer begitu ditakuti, sehingga ada guyonan, melihat orang rambut cepak saja, masyarakat non-militer sudah gemetar. Itu saking kuatnya pengaruh dan dominasi militer.

Kekerasan-kekerasan dan segala bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer pada masa lalu adalah suatu fakta yang tak terbantahkan, kekerasan seakan merupakan suatu perilaku yang jamak bagi militer. Sehingga segala persoalan diselesaikan melalui popor senjata dan muntahan peluru.

Berbagai kasus, seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Talangsari Lampung, Nipah Kuning Madura, DOM Aceh, Operasi Militer Tim-Tim, Operasi Militer Papua yang berujung pada genosida dan penculikan-pembunuhan terhadap aktivis reformasi 98, masih belum terselesaikan dan menjadi misteri yang cenderung di peti-es kan. Sehingga muncul kesan bahwa setiap kasus yang melibatkan militer maka pasti akan hilang begitu saja. Mantan-mantan aktivis 98 mungkin akan kembali terkenang dengan kerasnya memperjuangkan demokrasi di bawah rezim militer Orde Baru.

Masih bisa diingat pula, pasca reformasi, militer terseok-seok, mencoba untuk mereformasi diri, sebagian besar dari mereka berganti wajah dan mulai berupaya mengganti tabiat. Tapi ternyata…jauh panggang dari api, seperti lagu Iwan Fals, serdadu tetap serdadu, militer tetap militer, yang dengan laras sepatu, popor senapan, pentungan dan peluru, begitu pongah dan ’gampangan’ sekali melakukan praktek-praktek kekerasan.

Malah sekarang tindakan militeristik kembali menjadi tontonan di negeri ini. Kasus penembakan terhadap Warga Alastlogo Pasuruan Jawa Timur menjadi buktinya, betapa masih sakitnya mental militer di negeri ini. Ternyata perilaku fasis-militer masih tertanam kuat, perilaku kekerasan masih menjadi jalan penyelesaian utama. Dan…korbannya adalah rakyat, rakyat yang tidak berdosa, rakyat tidak bersenjata, rakyat yang protes akan hak-haknya yang terpinggirkan.

Berapa banyak lagi darah rakyat yang harus ditumpahkan, berepa banyak lagi peluru yang dibeli dari uang rakyat itu dimuntahkan untuk menghabisi rakyat sendiri. Luar biasa perilaku militer. Ketika berhadapan dengan rakyat, maka peluru yang dimuntahkan, tetapi coba dihadapkan dengan pencaplokan kedaulatan, penakutnya minta ampun!

Rakyat yang menjadi korban sekalian dijadikan umpan peluru bagi latihan militer yang tak berkesudahan, latihan membunuh rakyat.

Yang lebih mengecewakan lagi, perilaku ini justru terkesan di’amini’ oleh para pucuk pimpinan militer, dan dengan segala argumentasi, terkesan mereka memaklumi perilaku bawahannya. Sekali lagi…luar biasa militer! Patut diacungi jempol sebagai tentara pembunuh rakyat!

---------------------------

Dari sudut pandang manapun, dari segala pembelaan apapun, kekerasan dan membunuh/menghabisi nyawa seseorang tidaklah dibenarkan, apalagi ini perilaku militer yang membunuh rakyat. Tak ada dasar apapun yang bisa membenarkannya. Karena itu, adalah kebiadaban namanya, kalau masih ada orang-orang atau golongan yang senang atau menyetujui berlangsungnya terus berbagai kejahatan besar terhadap perikemanusiaan ini. Jika ada yang berani membenarkan perilaku militeristik tersebut, maka itu adalah penjahat HAM.

Kasus ini adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan militer, kasus ini adalah pencederaan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat di negeri ini. Di mana pun di dunia ini, membunuh secara sadis dan sewenang-wenang satu orang saja yang tidak bersalah sudah bisa dikatakan biadab. Apalagi membunuhi secara membabi buta rakyat yang tidak berdosa...Sungguh, sudah sangat keterlaluan sekali.

Militerisme pada sejarahnya selalu meminta harga yang mahal sekali untuk demokrasi. Tragedi demi tragedi yang telah terjadi dan membuat miris hati seharusnya telah membangunkan kaum pro-demokrasi, bahwa militerisme harusnya lenyap dari negeri ini.

Setiap orang yang berfikir waras, sadar dan dengan hati nurani tentunya sepakat, bahwa di mata dunia, bangsa kita tidak bisa dan tidak pantas sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab, selama belum bisa mengeliminir perilaku militeristik.

Toh...ternyata, perilaku yang telah berurat berakar mulai dari masa rezim militer Orde Baru selama puluhan tahun itu, diteruskan pula oleh berbagai pemerintahan sesudah pemerintahan rezim militer sampai sekarang, termasuk oleh pemerintahan di bawah presiden SBY.
Sangat naïf sekali, militer yang makan dari pajak rakyat negeri ini, malah membunuh rakyat. PB Jenderal Sudirman tentu akan kecewa sekali dengan para penjahat HAM yang mengaku sebagai pewarisnya ini, karena mereka bukannya melindungi negeri dan rakyat negeri ini, tapi menjadi pembunuh rakyat itu sendiri.

Untuk itu, kami menyatakan mengutuk perilaku militeristik dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer terhadap Warga Alstlogo Pasuruan Jawa Timur dan menuntut agar pelakunya diadili, dihukum dengan berat dan menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Hasan Bashri : JARI Orwil Borneo Barat

Syaharan : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Pontianak

Andry Candra : Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Univ. Tanjungpura

Pontianak Kalbar

Budiono : Jaringan Muda Khatulistiwa (JM-Kha) Kalbar

Rudy Handoko : Lembaga Studi Sosial Dan Demokrasi (eLSSiDe) Kalbar

Yanto Labak : Consentrasi Mahasiswa Rakyat Demokratik (COMRADE)

Pontianak

Saturday, January 13, 2007

MENGAWAL APBD RAWAN KORUPSI

MENGAWAL APBD RAWAN KORUPSI

Seiring dengan program kabinet pemerintahan RI dibawah pimpinan SBY-Kalla, diantaranya tentang program memberantas korupsi, mengadili secara hukum pelakunya dan menangkal peluang baru terjadinya korupsi. Tuntutan termasuk sorotan tajam terhadap berbagai indikasi korupsi yang pernah dilakukan atau akan dilakukan oleh berbagai kalangan terutama yang menduduki posisi basah jabatan dan memegang kendali kekuasaan terus di kumandangkan dan semakin marak. Perlawanan rakyat terhadap budaya korup ini harus terus dibangun secara massif, sinergis, rapi, sistematis, sistemik dan terorganisir oleh segenap lapisan dan elemen masyarakat sipil berkedaulatan dan berkeadaban guna membangun tatanan masyarakat berperadaban, bersih dari budaya benalu KKN.
Kasus korupsi yang pernah dilakukan, jika kita mengambil lokus aras politik, maka yang menjadi sasaran utama adalah korupsi di tataran penyelenggara kekuasaan negara, yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Pada legislatif dan eksekutif, yang jelas dan nampak kentara sekali adalah pada persoalan kasus APBD baik yang telah lewat maupun indikasi penyimpangan atau rawan penyimpangan pada proses penyusunan APBD sekarang dan yang akan dating. Ini tentu saja melibatkan dua pemegang kekuasaan dalam konsep trias politica yakni legislatif dan eksekutif. Sedangkan pada tataran yudikatif, sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan aturan hukum yang masih lemah dalam upaya penegakan supremasi hukum, ditambah mental ‘mata duitan,’ maka banyak kasus korupsi yang sudah jelas bisa lewat begitu mulus tanpa memperdulikan rasa keadilan masyarakat, toh dengan berlindung dibalik jubah, bahwa kekuasaan kehakiman/yudikatif tidak dapat di intervensi dan diganggu gugat segala putusan hukumnya, termasuk oleh masyarakat sekalipun, sehingga rakyat hanya bisa mengurut dada.
Berkenaan dengan korupsi di legislatif dan sksekutif, kekuasaan eksekutif bersama legislatif yang punya otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal dan punya peluang besar dalam proses legislasi, membuat segala kebijakan mereka rawan akan kebocoran terstruktur untuk kepentingan perut pribadi. Kewenangan yang meniscayakan keleluasaan daerah (baca: Penguasa Daerah) dalam menggali dan mengalokasikan anggaran, tanpa reserve apapun dari masyarakat yang terus dibodohi, membuka peluang penyimpangan terhadap anggaran yang katanya untuk rakyat. Sehingga yang pernah terungkap adalah tindakan kejahatan berjamaah secara institusi para wakil rakyat, yang secara bersama-sama melakukan makar untuk menilep uang rakyat, kasus DPRD Sumatera Barat menjadi contohnya. Indikasi semakin meluas jika dalam proses penyusunan, terjadi tawar menawar antara eksekutif dan legislatif.
Merebaknya kejahatan berjamaah yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif karena secara etis, memang mereka betul-betul jeli memanfaatkan jabatan dan kekuasaan yang mereka sandang, sehingga eksekutif dan legislatif bias dikatakan tidak punya moral (tidak ada semangat/ruh moralitas) untuk membuat kebijakan publik. Kebijakan publik yang seharusnya diperuntukkan dan diproyeksikanuntuk kesejahteraan rakyat terdistorsi untuk kesejahteraan jamaah eksekutif-legislatif. Kejahatan para mafia anggaran yang dipraktekkan dengan sempurna dan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif, berdampak besar bagi kehidupan rakyat secara umum, karena kebijakan yang mereka buat menyangkut hajat hidup rakyat secara totalitas. Legislatif berfungsi mengontrol eksekutif justru setali tiga uang bekerjasama untuk melakukan perbuatan illegal/menilep uang rakyat dengan cara yang ‘di-legal-kan’ melalui legitimasi keputusan institusional atas nama/berkedok APBD.
Yang paling kentara adalah manipulasi anggaran melalui pembengkakan dan penghamburan uang rakyat untuk tujuan yang tidak jelas skala prioritasnya. Pos anggaran dibagi tidak berimbang dan tidak berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat, cenderung dihabiskan percuma untuk pengayaan segelintir orang, lewat pos-pos yang memakan dana besar di anggaran birokrasi legislatif dan eksekutif, bukan pada anggaran yang diperuntukkan pada pelayanan rakyat. legislatif dan eksekutif seakan putus urat malu untuk menebalkan kocek melalui pembengkakan uang perjalanan, uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan komisi, rehab rumah atau sewa rumah dinas, mobil dinas, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, uang pakaian sampai hal-hal yang paling privacypun kalau bisa dibiayai oleh dana anggaran, yang kalau dikomparasikan dengan anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat dan bersifat jangka panjang, maka sangat jauh berbeda.
Titip menitip atau pesanan dalam anggaran biasa terjadi, legislatif menitip pada pos-pos eksekutif, begitupun sebaliknya legislatif harus menggolkan usulan anggaran eksekutif, meskipun usulan tersebut sangat kelewatan dan sangat fantastis alias mubazir. Niat untuk mensejahterakan rakyat menjadi kabur dan yang paling utama adalah mensejahterakan dulu diri sendiri, mumpung masih menjabat, kapan lagi dapat kesempatan emas ini, mungkin itu yang ada dibenak dan sudah berurat berakar. Implikasi paling nyata dari kebijakan seperti ini adalah rakyat yang menanggung beban anggaran, diperas untuk memenuhi hasrat ingin cepat kaya legislatif dan eksekutif dengan dalih APBD untuk pembangunan.
Toh, rakyat dikaburkan dengan ‘tak usah tau lah dengan urusan anggaran’, itu hak-urusan anggota Dewan dan Pemerintah. Hanya orang pintarlah yang mengerti, karena sangat sophisticated (rumit) dan berkas-berkas tersebut bukanlah berkas yang dapat sembarang orang untuk menjamahnya, hanya orang-orang tertentu yang punya akses kesana. Keterlibatan publik dibatasi dan dihalang-halangi, transparansi cukuplah menjadi slogan, kalaupun ada proses hearing dan sebagainya untuk menjaring aspirasi, hanya sekedar pelengkap penderita dan justifikasi memenuhi ritual slogan yang bernama transparansi, untuk korupsi yang makin subur dan pelakunya yang makin makmur.

Partisipasi Publik dalam penyusunan Anggaran
Proses penyusunan anggaran tahunan (Rakorbang, RAPBD dan APBD) selama ini eksklusif menjadi milik eksekutif dan legislatif. Apakah keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder sudah diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam mengawal prosesnya. Karena, sudah lumrah bahwa anggaran tidak berpihak rakyat, legislatif sebagai yang diamanahi menjadi wakil rakyat yang berkewenangan membahas RAPBD yang diajukan eksekutifpun, dipertanyakan apakah mempunyai komitmen dan mau memperjuangkan aspirasi rakyat? Adakah jaminan aspirasi rakyat akan diperjuangkan oleh legislatif? Bukankah selama ini legislatif sudah bangga jika memperjuangkan kepentingannya sendiri? Apakah aturan yang ada cukup menjamin hal ini?
Kepmendagri No. 29 Thn 2002 yang menyatakan penyusunan APBD harus melakukan penjaringan aspirasi masyarakat, telah menjadi payung hukum bagi rakyat banyak untuk terlibat dalam proses penyusunan APBD. Namun bagaimana impementasinya?
Adanya apresiasi dan ruang publik yang luas pada rakyat untuk berpartisipasi dalam penyusunan RAPBD, adalah dengan tujuan agar apa yang direncanakan dalam RAPBD menjadi realistis dengan semangat berdasarkan kepentingan, pelayanan dan kebutuhan usaha membangun kesejahteraan rakyat. Bukan sekedar monopoli eksekutif dan legislatif yang berdasar pada kepentingan pribadi dan pesanan para kontraktor atau broker politik.
Mekanisme partisipasi publik ini menjadi penting dan items sentral dalam penyususnan RAPBD, jika legislatif itu mempunyai moralitas untuk menjaga amanah akan kewajibannya, eksekutif sadar akan tanggung jawab dan kewajibannya. Tapi, mungkin ini sekedar harapan yang harus kerap diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat secara massif.
Perencanaan anggaran tentang penyusunan APBD haruslah berbasis masyarakat dengan mekanisme penjaringan penganggaran mulai pada tingkat pemerintahan terkecil yakni desa dan kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota, sehingga masyarakat mudah mengaksesnya. Untuk itu perlu dibuatkan lagi peraturan teknis menyangkut pengejawantahan partisipasi publik dalam penyusunan RAPBD, yang itu dapat memayungi agar usulan kegiatan pada RAPBD yang telah dibuat oleh masyarakat tidak mudah dimentahkan oleh kepentingan dinas yang bersangkutan yang merasa tidak dapat ‘can’ dari usulan tersebut. Karena biasanya usulan program dan anggaran dinas lebih banyak unsure kepentingan proyek dan copy-paste dari program terdahulu yang tidak mencerminkan kepentingan rakyat banyak. Kemudian anggaran berbasis kinerja seperti yang termaktub dalam Kep-Mendagri No. 29 tahun 2000 juga tidak banyak di pahami dengan baik oleh legislatif, eksekutif dan dinas-dinas daerah, dikarenakan tidak ada profesionalisme pada tubuh birokrasi eksekutif dan legislatif sebagai lembaga politik selalu mencampuri kepentingan politisnya kedalam birokrasi, pada akhirnya terjadi ketimpangan/korupsi pada jalannya proyek.
Kemudian rakyat harus terlibat dalam penyusunan APBD sampai tuntas, karena acapkali proses tarik-menarik kepentingan kerap terjadi pada panitia anggaran di legislatif dengan eksekutif daerah, sehingga rawan permainan politik yang bernuansa korupsi.
APBD adalah milik rakyat, dan rakyat berhak terlibat dan tahu, karena menyangkut hajat hidup mereka sebagai warga negara. Keterlibatan/partisipasi dalam menyusun anggaran oleh masyarakat adalah keharusan dan ini harus diperjuangkan. Amin.

By. Rudy Handoko

AWASI REBOISASI LAHAN

AWASI REBOISASI LAHAN

Masalah kerusakan hutan bagi Indonesia telah menjadi momok. Saat ini, kondisi hutan tropis di Indonesia tengah mengalami proses deforestisasi yang luar biasa, sehingga ada perumpamaan yang pas untuk menggambarkan kondisi laju kerusakan hutan itu adalah bahwa dalam satu jam, Indonesia kehilanagn wilayah hutannya seluas tiga kali lapangan bola.
Hutan bagi masyarakat sekitar hutan atau masyarakat yang secara kultural terikat dengan hutan sebagai bagian dari kehidupan mereka, difahami bukan hanya sebagai sumber kayu semata, tetapi merupakan potensi alam yang luar biasa, yakni sebagai tempat serapan air yang tentunya menjadi sumber air untuk kebutuhan hidup, buah-buahan, umbi-umbian, madu, damar, rotan dan potensi lainnya yang bernilai ekonomis. Terlebih dari itu, hutan adalah benteng alam pelindung dari bencana alam dan ekosistem bagi makhluk hidup dan keanekaragaman hayati lain.
Setelah rusak, setelah banjir bandang, erosi mengikis dan longsor menghadang, bencana silih berganti datang. Pertanyaannya adalah... Apakah kita masih belum menyadari akibat dari perilaku hidup yang merusak muka bumi, apakah kita belum bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri? Lalu apakah kita tidak memikirkan bahwa hutan adalah jaminan bagi keberlangsungan hidup di masa mendatang. Bukan hanya untuk kita tapi buat generasi setelah kita.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi hutan, trilyunan rupiah telah dihamburkan sebagai bagian dari upaya untuk tetap melestarikan hutan. Gerakan reboisasi telah bertahun-tahun dicanangkan dan berbagai programnya juga telah dilaksanakan. Ternyata sampai saat ini, hal itu sekedar proyek yang terus ada, namun habis di modal/ongkos, tanpa suatu hasil maksimal yang bisa dibanggakan. Malah..., gerakan itu tiada apa-apanya meski telah menghabiskan dana yang tidak sedikit dibandingkan dengan gerakan yang dilakukan para peraih penghargaan kalpataru, yang meski tidak digaji dan tanpa urunan dana pemerintah tapi memberi bukti, mereka berhasil menjaga kelestarian alam.
Apanya yang salah? Apakah uang itu benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, untuk pelestarian hutan sehingga menjadi lebih baik atau ternyata banyak penyimpangan yang membuat dana trilyunan itu menetes kemana-mana tanpa juntrungan yang jelas. Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab!
Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reboisasi lahan. Sekarang ini kita sering mendengar tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), ada GERHAN dan lain-lain. Untuk masalah pendanaanpun tidak sedikit dipagukan dalam APBN yang dikucurkan melalui dana dekonsentrasi program GN-RHL dan GERHAN itu, belum lagi yang bersumber dari Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR). Namun lagi-lagi..., ternyata lebih banyak penyimpangannya. Dengan kasat mata terlihat lebih banyak yang nihil hasilnya dan tentunya bermasalah.
Kemungkinan penyimpangan terjadi dalam program-program seperti itu sehingga tidak menyentuh apalagi menyelesaikan persoalan, karena program-program yang cenderung terselubung proses pelaksanaannya dan tidak transparan, hingga membuka peluang terjadinya penyimpangan karena akses publik terhadap kegiatan itu lemah serta peran publik pun relatif rendah. Sederhananya, terkadang masyarakat di sekitar lokasi tidak mengetahui adanya program-program itu, kalau sudah begitu, keterlibatan mereka pun tidak ada, sehingga secara tidak langsung mereka dipaksa hanya tahu terima jadi. Tentunya mereka juga tidak bakalan mengetahui apakah terjadi pemotongan misalnya dan juga tidak mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam program-program itu.
Kemudian adanya kecenderungan tidak profesional menangani program, misalkan pelibatan orang-orang yang mengerjakan program adalah orang-orang dekat atau seleksi yang asal-asalan dalam memilih orang yang bakal berperan sebagai pendamping program, padahal dia tidak mampu dan tak punya kompetensi untuk itu. Belum lagi adanya yang meminta bagian program alias minta jatah proyek dan sebagainya.
Hal lain yang menyebabkan program-program ini tidak tepat sasaran adalah dari segi pelaksanaan yang asal kejar target, sehingga pemilihan lahan tidak melalui survey yang benar, lahan yang hendak direboisasi bukan lahan yang sesungguhnya. Kalaupun lahan yang dipilih adalah lahan kritis sesungguhnya, namun terkadang dengan gaya yang asal proyek itu, maka lahan itu ditanami tanpa melalui proses pengolahan yang benar, karena untuk memudahkan pekerjaan dan mengurangi biaya sehingga kelebihan biaya bisa masuk kantong.
Bahaya selanjutnya misalkan pada pemilihan bibit yang ditanam, apakah telah sesuai dengan jenis tanah? Banyak sekali data di lapangan yang menunjukkan bahwa bibit yang disediakan adalah bibit asal-asalan, bukan bibit yang berkualitas dan tidak sesuai dengan standar sebenarnya. Ditambah lagi dengan perlakuan yang diberikan/perawatan terhadap tanaman tidak baik, sehingga setelah tanam sebulan kemudian mati. Hal-hal ini sering terjadi, yaa... karena itu tadi, untuk mengurangi biaya dan memudahkan pekerjaan. Wajar jika program itu habis-habis di program saja, selesai program tamat juga riwayat tanaman.
Untuk itu, seluruh elemen masyarakat harus ikut memantau dan melaporkan jika terjadi kecurangan/penyimpangan. Karena dana-dana yang dikeluarkan untuk itu semua adalah uang rakyat, dan tentunya kita semua tidak rela jika dana-dana tersebut hanya dihambur-hamburkan mubazir dan/atau hanya dinikmati/untuk kepentingan segelintir orang saja.

Rudy Handoko

Monday, November 13, 2006

MENELAAH PROBLEMA PEKERJA ANAK, ANTARA PERLINDUNGAN ANAK DAN REALITAS SOSIAL

MENELAAH PROBLEMA PEKERJA ANAK, ANTARA PERLINDUNGAN ANAK DAN REALITAS SOSIAL

Masalah seputar kehidupan anak telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Sebagai akibat dari kegagalan pranata sistem sosial yang ada di negeri ini, sehingga banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak. Untuk itu dalam rangka membangun kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak yang belum mampu diwujudkan oleh negara, maka diskusi-diskusi dan aksi sosial untuk mendorong perubahan menuju perlindungan hak-hak anak harus terus dibicarakan dalam ruang publik. Sehingga muncul kesamaan persepsi, kesefahaman memandang pentingnya sosialisasi dan advokasi tentang perlindungan terhadap anak-anak.
Selama ini, dari diskusi-diskusi yang dibicarakan baik oleh institusi Negara, LSM dan institusi-institusi lain yang peduli dengan nasib anak, sebenarnya negeri ini telah mempunyai regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak anak seperti UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya Bab 3 Bagian ke-10 tentang Hak Anak, dan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun itu belumlah cukup menjadi regulasi yang komprehensif apalagi tidak ditunjang dengan implementasi yang serius untuk melindungi anak. Perlu tindakan bersama yang massif antar elemen masyarakat yang peduli untuk melindungi hak-hak anak.
Dalam realitas sosial, terjadinya kasus-kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan fenomena gunung es.
Hadirnya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini.
Adanya UU Perlindungan Anak akan memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. UU ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari KHA tersebut yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. UU ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam UU inipun akan membuat UU ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak.
Jika kita fokuskan pada problema pekerja anak ditinjau dari perspektif perlindungan anak di tengah realitas sosial, maka banyak persoalan yang terjadi, misalnya tentang anak yang di-eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, anak yang bekerja di jermal, anak yang bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya, upah yang minimal dan sebagainya. Sebenarnya, anak yang boleh bekerja jika dilihat dari UU ketenaga kerjaan adalah anak-anak yang usia diatas 13 tahun, itupun mesti memenuhi syarat-syarat seperti gaji yang sepadan, hanya boleh 3 jam dalam sehari, bukan bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang berbahaya dan masih banyak lagi.
Untuk Kalbar, masalah anak juga sedemikian rumit, banyak anak yang putus sekolah, anak yang menjadi gelandangan dan pengemis, anak-anak yang menjadi korban trafficking, dan kalu kita lihat di media massa, hamper tiap hari selalu saja ada anak yang menjadi korban kekeras, eksploitasi seksual dan sebagainya. Untuk menangani ini, perlu partisipasi aktif semua pihak bukan hanya dibebankan kepada pemerintah.

Rudy Handoko

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

Wacana pemekaran telah booming pasca tahun 1999 dan marak pasca 2000-an. Maraknya aspirasi berbagai daerah untuk memekarkan diri, seiring pula dengan dorongan implementasi otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi kewenangan politik-kebijakan publik dan perimbangan keuangan pusat daerah dalam upaya pendekatan pelayanan publik yang lebih efektif-efisien, transparan dan akuntabel menuju kesejahteraan. Di Kalbar pun wacana pemekaran telah terbukti konkrit dengan hadirnya beberapa daerah kabupaten/kota baru.
Konteks Ketapang, wacana pemekaran bukan hanya bergulir semata pada scope pemekaran kabupaten, tapi demikian dinamis menjadi isu pemekaran provinsi. Dengan berbagai pertimbangan wilayah geografis yang sangat luas, kemudian demi aksebilitas pelayanan publik dan rentang kendali pemerintahan. Karena wilayah kabupaten terbesar di Kalbar ini memang seakan-akan terisolir dan menyendiri dibanding dengan daerah-daerah lainnya.
Bergulirlah wacana pemekaran Provinsi Tanjungpura, lepas dari provinsi induk Kalbar, kenyataannya terbentur pada regulasi UU 32/2004 yang mensyaratkan lima daerah otonom untuk membentuk satu provinsi. Sedangkan Ketapang hanyalah satu kabupaten.
Seiring itu, booming pula wacana pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Kayong Utara yang pembahasannya seperti diberitakan di Harian Kompas dan di internet telah masuk dalam daftar inventarisasi RUU daerah pemekaran.
Wacana ini menjadi pemicu munculnya keinginan membentuk Kabupaten Kayong Timur atau Kabupaten Sandai, Kabupaten Kayong Selatan, dan seperti yang diwacanakan yakni Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Barat, dan satu daerah otonom kota yakni Kota Ketapang.
Belajar dari wacana-wacana yang telah bermunculan, saya berpendapat, bahwa ide-ide yang selama ini disampaikan tidak akan bergerak massif. Karena meski telah mewacana, namun kurang begitu mendapat tanggapan di grass root, hanya menjadi konsumsi terbatas bagi mereka-mereka yang memahami dan peduli. Jika seperti ini biasanya wacana akan patah arang alias tenggelam timbul saja, lantaran setting pemekaran yang dikembangkan juga terlalu top down, hanya melibatkan arus kepentingan tingkat elit, terlalu banyak pemainnya (aktor politiknya) dengan berbagai kepentingan, tidak disertai gerakan massif sosialisasi dan pengembangan wacana serta pemberdayaan ditingkat grass root. Sehingga kurang legitimate, karena tingkat partisipasi dan penyertaan masyarakat atau pemangku kepentingan masyarakat dari tingkat yang paling bawah tidak signifikan.
Kemudian, faktor data dan fakta yang berkenaan dan dapat dijadikan argumentasi tentang kenapa suatu wilayah harus dimekarkan, ini juga lemah. Semua keinginan dikonstruk berdasarkan asumsi-asumsi sehingga tidak valid dan ilmiah. Misalkan, pemekaran harus dilakukan karena persoalan acces to justice pembangunan yang mestinya harus merata dan seimbang, kemudian harus adanya mapping/pemetaan potensi wilayah yang menjadi pertimbangan seberapa besar PAD, selama ini juga tidak bisa ditampilkan riil. Belum lagi jika bicara seberapa besar prospek investasi yang bakal terserap, tingkat penyebaran penduduk/demografis, tingkat pendapatan termasuk angka riil kemiskinan yang harusnya juga dipresentasikan, karena ini menjadi pertimbangan ke depan terkait dengan DAU dan DAK. Ini semua mesti di-manage dalam gerakan mendorong pemekaran, bukan asal teriak pemekaran, namun ketika ditanya tentang hal-hal yang terkait tentang pemekaran hanya bisa ber-asumsi atau lebih celakanya hanya bisa diam.
Terlebih lagi, kelemahan mengelola isu dan wacana pemekaran belajar dari pengalaman Kayong Utara adalah persoalan tingkat representasi rakyat yang menghendaki pemekaran itu. Ada memang panitia pemekaran, pertanyaannya… apakah itu merupakan representasi dari rakyat disuatu wilayah? Misalkan representasi wilayah terkecil setingkat desa, yang baik secara formal dan informal diakui sebagai representasi seperti kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda atau yang lainnya. Kecenderungan pemikiran masyarakat sekarang adalah kekhawatiran, bahwa kepanitiaan itu hanya dipenuhi orang-orang yang justru bukan representasi dari masyarakat.
Dari sisi dokumentasi dan sosialisasi, gerakan pemekaran yang ada di Kabupaten Ketapang juga lemah. Harusnya, di zaman teknologi informasi, segala kegiatan mendorong pemekaran seperti aspirasi-aspirasi warga, pertemuan-pertemuan warga, pertemuan-pertemuan dengan pihak pemerintah dan sebagainya, itu bisa dipublikasi dan dipresentasikan melalui media secara visual dan audio visual kepada masyarakat dan pemerintah. Sehingga bisa menjadi bukti bahwa gerakan pemekaran itu riil dukungannya. Dengan begitu, tampak bahwa pemekaran memang muncul dan merupakan dorongan dari arus bawah atau bottom up, bukan politisasi.
Substansi dari pemekaran adalah pengembangan dan pemberdayaan wilayah yang lebih sejahtera dan mandiri, sekaligus proses pendidikan dan pendewasaan politik masyarakat, bahwa perubahan itu tidak harus selalu didorong oleh elit, tapi bisa melalui grass root.
Selain itu, pemekaran tidak selesai pada menggiring ke arah mekarnya wilayah, tapi juga yang paling penting adalah penyiapan infrastruktur untuk menuju kedemokratisan. Melalui gerakan grass root itu nantinya, pemberdayaan terjadi dan sebetulnya proses demokratisasi berjalan melalui stake holder yang paling berkepentingan yakni rakyat.*

Rudy Handoko
Pegiat Himpunan Mahasiswa Kayong Utara (HIMAKATRA) dan Komunitas Kajian Lintas Kayong (KKLK)

KENAPA HARUS SAWIT

KENAPA HARUS SAWIT

Kabupaten Ketapang ini merupakan daerah yang sangat potensial mengingat potensi sumber dayanya yang sangat besar. Namun memang pengembangan dan pembangunan daerah ini tergolong tertinggal dari segi pembangunan sarana-prasarana dan pemberdayaan masyarakatnya.
Padahal jika sumber daya dan potensi yang besar itu dikelola maksimal dan tentunya dengan berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat dan memperhatikan keseimbangan ekologis maka akan mensejahterakan masyarakatnya.
Saat ini orientasi kebijakan Pemkab menjadikan kawasan Kabupaten Ketapang sebagai wilayah investasi perkebunan. Kini alternatif pengembangan potensi sumber daya lahan salah satunya sudah diarahkan pada sektor perkebunan. Namun apa daya, ternyata skenarionya adalah sawitisasi Ketapang. Dengan hanya menggambarkan bahwa sawit akan memberikan kesejahteraan, Pemkab telah membodohi masyarakatnya, karena sisi negatif dari sawitisasi secara sosial-budaya dan lingkungan tidak pernah ditampilkan.
Dalam konteks ini, saya mencoba memberikan beberapa catatan kritis. Misalkan contoh untuk Kalbar secara keseluruhan hingga kini tercatat 1.574.855,5 Ha lahan sudah dipergunakan untuk sektor perkebunan. Dari jumlah tersebut, 587.179,5 Ha merupakan perkebunan rakyat, dan sisanya 782.775,5 Ha perkebunan besar. Dari alokasi untuk perkebunan besar tersebut, tercatat hanya 195.596 Ha (atau sekitar 24,99%) yang sudah benar-benar dipergunakan untuk perkebunan. Dari catatan angka ini menunjukkan adanya fenomena menarik dari investasi ”penguasaan lahan” yang ”berkedok” perkebunan tersebut. Apakah untuk konteks Ketapang juga di skenariokan begitu?
Padahal pada sisi yang lain, kehidupan masyarakat yang bertopang pada sektor pertanian dan perkebunan dengan berbagai keanekaragaman tanaman, cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Karena perkebunan rakyat seperti karet, kopi dan lada merupakan salah satu tulang punggung terbesar perekonomian rakyat yang lebih menjanjikan, untuk penjualan hasil produksipun bisa kompetitif karena tidak hanya satu arah ke pabrik dan monopolistik seperti sawit. Persoalan kepemilikan pun langsung dimiliki oleh masyarakat, bukan dikuasai pemilik modal.
Jika perkebunan sawit yang dilirik, maka belajarlah pada beberapa kasus di daerah-daerah lain, memang secara jangka pendek berdampak baik bagi pertumbuhan perekonomian, namun berdampak negatif dalam jangka panjang, baik bagi pengembangan perkebunan lain, pertanian juga bagi kelestarian lingkungan karena akan berdampak merusak lingkungan dan hutan. Apakah kita mau melihat bencana kedepan terjadi di tanah tercinta, akibat kebijakan yang salah. Kalaupun tetap ingin mengembangkan sawit, seharusnya jika memang berniat baik, yang dijadikan lahan adalah dengan memanfaatkan, berdayakan dan hidupkan saja lahan kritis. Jangan dengan membuka lahan baru yang tentunya dengan jalan menebangi huta.n
Ibarat latah, Pemkab yang berkeinginan menjadikan Ketapang sebagai sentra perkebunan sawit melupakan pertimbangan-pertimbangan itu, hanya melihat keuntungan sesaat saja tanpa melihat dampak jangka panjang.
Gerakan sawitisasi ini ternyata juga terjadi diwilayah Kayong Utara, terhitung mulai dari Simpang Hilir, Teluk Batang, Seponti Jaya dan Pulau Maya Karimata pun dilirik sebagai ini sebagai kawasan pengembangan perkebunan dan industri CPO. Padahal kawasan ini jika dilihat secara potensi, maka masih banyak yang bisa dikembangkan selain sawit. Harusnya konsentrasi pembangunan dan pemberdayaannya yang sesuai dengan karakteristik wilayah.
Jika dipaksakan, maka kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan secara sosial dan ekologik sangat rawan. Karena kegiatan perkebunan dan industri hilir pengolahan hasil perkebunan, juga kerap menimbulkan permasalahan lingkungan.

Rudy Handoko

Pegiat Himpunan Mahasiswa Kayong Utara (HIMAKATRA) dan Komunitas Kajian Lintas Kayong (KKLK)

Sunday, November 05, 2006

OTONOMI DESA DAN ALOKASI DANA DESA

OTONOMI DESA DAN ALOKASI DANA DESA

Bergulirnya otonomi daerah telah berjalan sejak Januari tahun 2001, dalam beberapa hal, otonomi daerah yang dilegalkan dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahnya dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangannya, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Di beberapa wilayah otonom di negeri ini, memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak dasar yang baik. Namun lebih banyak diberbagai daerah otonom, ternyata peluang otonomi daerah telah melahirkan rezim totaliterian dan korup gaya baru, melahirkan raja-raja kecil di daerah dan hanya mengalihkan korupsi di tingkat pusat, sekarang berada di depan mata rakyat yakni didaerahnya sendiri.
Kemudian lahirlah UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut, selain langkah fantastik Pilkada langsung yang mengikuti trend Pilpres langsung adalah adanya wacana baru yang digunakan dalam paradigma pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan yakni UU No.32 Tahun 2004 ini jika dikaji secara mendalam telah memberikan peluang bagi pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksana pembangunan yang sangat penting dan niscaya. Pasal 215 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Kemudian adanya PP No.72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar oleh Pemkab untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya.
Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari.
Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harusnya menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun memang ini semua masih dalam angan-angan, untuk persoalan ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun lebih banyak daerah yang belum melakukannya.
Untuk itu, seharusnya proses transformasi ke arah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ber’daulat’, sembari terus menata, capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina SDM yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan...ini juga menjadi kewajiban aparat pemkab yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Sehingga tidak selalu dianggap tidak mampu.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah kabupaten mempunyai goodwill dan political will untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ada ke dalam bentuk praksis. Seperti kewajiban untuk mengalokasikan ADD yang sesungguhnya memang menjadi hak desa, apakah pemerintah kabupaten bersedia untuk membuat peraturan daerahnya, atau tetap dengan paradigma lama dan basi yakni takut berkurang jatahnya jika ADD di perdakan, atau masih selalu menganggap desa belum mampu mengelola pemerintahannya termasuk keuangannya.
Namun, jika pemkab termasuk DPRDnya masih tidak bersedia atau tidak berniat baik untuk meng-agendakan dan membuat perda tentang ADD ini, maka desa berhak menggugat dan melakukan pelaporan, karena ini tindak kejahatan dan melanggar peraturan yang lebih tinggi yakni UU No.32 tahun 2004 dan PP N0.72 tahun 2005. Sekian

Rudy Handoko

HIV AIDS Semakin Menakutkan…Hiiiiiiiiiy!

HIV AIDS Semakin Menakutkan…Hiiiiiiiiiy!

Endemi penyebaran HIV AIDS telah menakutkan dunia, tak pelak ini membuat negara-negara di dunia termasuk PBB menyerukan kerjasama internasional untuk mengatasinya, paling tidak menekan laju perkembangannya yang telah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkan ini. HIV/AIDS yang didefinisikan Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah Kumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV.
Penyebaran HIV didapatkan melalu media cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Dengan cara penularan melalui hubungan seksual tidak aman atau hubungan seksuaL dengan penderita atau pengidap HIV-AIDS, transfusi darah yang tercemari HIV-AIDS, jarum suntik yang tidak aman dan penularan dari ibu ke anak.
Dari fase umur, populasi kaum remaja (13-19 thn) merupakan kelompok resiko tinggi tertular HIV-AIDS, karena penularan heteroseksual meningkat, aktifitas seksual tidak aman, kegemaran mereka untuk mencoba obat terlarang seperti pemakaian NAPZA, adanya ‘sexual abuse’ seperti traficking dan pelacuran anak anak.
Hasil tahun 2005, menurut Peter Piot Direktur Eksekutif UNAIDS bahwa 3,1 juta orang meninggal karena AIDS dan 570.000 diantaranya anak-anak, 13 juta anak Afrika yatim karena AIDS, kemudian terjadi 4,9 juta pertambahan pengidap AIDS, ini merupakan lompatan terbesar sejak wabah diumumkan tahun 1981. Selanjutnya 40,3 juta orang yang mempunyai virus HIV ditubuhnya, diperparah bahwa saat ini setiap menit seorang bayi tertular HIV dan setiap menit seorang anak meninggal karena HIV-AIDS. Untuk top scorer HIV-AIDS, Afrika Selatan menduduki peringkat pertama dengan 5,1 juta dari jumlah penduduk 45 juta diikuti India 5 juta penderita HIV-AIDS, Indonesia diperkirakan menyusul 90.000 sd 130.000 penderita, angka mungkin lebih besar lagi menurut perkiraan ahli epidemiologi. Saat ini Afrika menjadi rumah dari 25,8 juta pengidap atau 64 persen dari seluruh dunia dan Asia 8,3 juta atau 20 persen.
Kenyataan saat ini, epidemi AIDS di Indonesia saat ini AIDS menyebar di seluruh propinsi dan lebih dari 50 persen kabupaten-kota, telah dilaporkan pula AIDS bertambah setiap 2 jam, di RSKO setiap hari 1 meninggal karena AIDS, di Lapas dan Rutan setiap hari meninggal terkait AIDS dan NAPZA, di RSB Budi Asih Jakarta lahir 4 bayi setiap bulan yang sero-reaktif HIV, sedangkan di RS dengan bangsal khusus merawat AIDS telah penuh dan melimpah ke bangsal lainnya, lantas hampir setiap propinsi ada informasi ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS, kemudian di Jawa Timur ada informasi suspek “Flu Burung” dan Bayi Gizi Buruk ternyata HIV positif.
Ternyata situasi HIV/AIDS di Indonesia sejak 1987 sampai September 2005 secara total dari data yang didapat bahwa jumlah tercatat di Departemen Kesehatan, AIDS berjumlah 4.186 kasus, HIV 4.065 kasus, sehingga totalnya 8.251 kasus. Untuk estimasi tahun 2003 90.000-130.000 terinfeksi HIV dan103.971 terinfeksi HIV ditahun 2004.
Sedangkan situasi HIV/AIDS di Kalbar, dari tahun 1993 sampai Februari 2006 tercatat AIDS 184 kasus, HIV 420 kasus sehingga total 604 kasus, kemudian yang meninggal tercatat 62 orang.
Untuk situasi HIV/AIDS Kota Pontianak sendiri sampai Februari 2006 telah tercatat AIDS 104 kasus, HIV 219 kasus, total 323 kasus dengan yang telah meninggal 62 orang.
Secara global, dalam rangka pencegahan penyebaran endemi ini, telah pula dilakukan Deklarasi UNGASS on HIV/AIDS pada 25-27 Juni 2001 yang diprakarsai WHO PBB dengan program bahwa pada tahun 2005 setiap negara harus mengembangkan dan menciptakan proses signifikan dalam pelaksanaan strategi perawatan komprehensif untuk mendukung perawatan keluarga, perawatan berbasis masyarakat, sistem pelayanan kesehatan untuk menyediakan dan memantau pengobatan HIV/AIDS termasuk anak.
Kemudian program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan pula dengan tujuan umum untuk mencegah penyebaran infeksi HIV yang dengan demikian akan meminimalkan beban masyarakat yang terkena dampak dan meminimalkan dampak sosio-ekonomi HIV/AIDS, sedangkan tujuan lebih spesifiknya adalah untuk menekan tingkat penularan HIV/AIDS, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memfasilitasi upaya pencegahan, pengobatan dan perawatan yang secara komprehensif bagi ODHA, meningkatkan respon dalam bidang pencegahan, pengobatan, perawatan HIV dan dukungan bagi ODHA, dan meningkatkan koordinasi dan kemitraan antara sektor pemerintah, LSM dan sektor bisnis.
Salah satu caranya adalah dengan program perawatan komprehensif berkesinambungan. perawatan komprehensif adalah perawatan yang melibatkan suatu jejaring sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA, dan keluarganya. prinsip dasar dari perawatan komprehensif berkesinambungan sendiri adalah perawatan & pencegahan terpadu, non diskriminatif, menghormati HAM dan privasi, asuhan keperawatan dan medik, konseling dan dukungan psikososial, dukungan bagi perawatan di rumah dan mobilisasi sumber daya di masyarakat.

Program VCT
Kemudian langkah strategis lainnya adalah menjalin jaringan pelayanan berkesinambungan dengan memanfaatkan program VCT sebagai pintu masuk bagi segala kegiatan dalam perawatan komprehensif.
Program VCT yang sedang diboomingkan saat ini adalah singkatan dari Voluntary artinya sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun, Counselling atau melalui konseling pre dan pasca tes, Testing, melakukan tes darah untuk memastikan apakah klien terinfeksi HIV. Intinya VCT adalah program untuk memastikan sesorang terinfeksi HIV-AIDS atau tidak berbasis dari keinginan orang itu sendiri untuk melakukan tes diiringi dengan pendampingan konseling.
Untuk itu VCT berprinsip, sukarela, tidak boleh ada tekanan apapun dari orang lain untuk melakukan tes HIV. Rahasia, hasil dari tes tersebut hanya diketahui oleh konselor dan orang yang dites (klien), kalau pun orang lain tahu, perlu mendapat persetujuan dari klien tersebut, dan keputusan di tangan klien, semua baik keputusan sebelum dan sesudah tes merupakan keputusan klien. Seperti apakah ingin meneruskan tes, ingin tahu hasil tes atau boleh dan tidaknya hasil tes ini diberitahukan ke orang lain.
Adapun tujuan VCT secara umum adalah untuk membina adanya perubahan perilaku para pasien. Sedangkan secara lebih khusus adalah untuk meningkatkan jumlah ODHA yang menyadari dirinya HIV positif, sehingga mempercepat diagnosis HIV, lantas untuk meningkatkan kepatuhan ART sehingga akhirnya meningkatkan jumlah ODHA yang berperilaku hidup sehat dan meningkatkan penggunaan layanan kesehatan.
Dari tujuan itu, manfaat yang dapat dipetik bagi individu yakni mengurangi perilaku beresiko untuk terkena HIV/AIDS, membantu seseorang menerima status HIV-nya dan mengarahkan seseorang dengan HIV kepada pelayanan tertentu (rujukan). Untuk masyarakat secara luas bermanfaat untuk memutus mata rantai penularan HIV dalam masyarakat, mengurangi reaksi takut dan mitos terhadap HIV yang bisa menjadi stigma, dan mempromosikan dukungan pada ODHA melalui mobilitas masyarakat.
Dalam rangkaian itu, program VCT melakukan konseling sebelum dan sesudah seseorang melakukan tes, Konseling Pre-Test ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil betul telah dipahami dan sukarela, menyiapkan klien akan penerimaan apapun hasil tes, negatif-positif-indeterminan, kemudian memberikan informasi untuk menguangi resiko dan strategi menghadapi tes, memberikan pilihan untuk PMTCT dan menyediakan pintu masuk untuk terapi dan perawatan
sedangkan Konseling Pasca-Test bertujuan untuk menyiapkan klien untuk dapat menerima hasil, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri akan hasil tes, menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan, lantas merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan kepada klien strategi pengurangan penularan HIV.
Masyarakat diharapkan untuk memanfaatkan program ini, karena persoalan kerahasiaan VCT dijamin dan menjadi pegangan dengan jalan bila klien dirujuk harus ada persetujuan tertulis dari klien, tentang informasi apa yang boleh dan tidak boleh untuk diberikan, segala Keputusan untuk boleh menyampaikan atau menyertakan orang lain dalam proses VCT ada di tangan klien, sedangkan Tes anonymous dapat melindungi klien dari pengenalan identitas, Tes anonymous pun tidak menggunakan nama klien tetapi menggunakan kode yang ditempelkan pada CM dan sampel darah dan Pelaporan hasil tes HIV ke pusat pencatat data juga dilakukan dengan sistem kode.
Gerakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama adalah mendorong gerakan untuk datang ke VCT melakukan konseling dan tes HIV karena diketahuinya status HIV secara dini akan lebih baik.
(Rudy Handoko)

APA YANG KITA LAKUKAN

APA YANG KITA LAKUKAN

Suatu hari, HMI Cabang Pontianak mendapat kiriman dari PB HMI dalam hal ini Bidang PA. Isi kiriman itu berupa satu bundel proposal yang berisi tentang konsepsi strategi rekrutmen anggota dan pembinaan anggota.
Setelah membaca itu, saudara Ridwansyah lantas berkata padaku, wak ini bagus ni tawaran konsep dari PB ni, boleh nanti kite diskusikan, sembari ia memberikan konsepsi itu kepada saya.
Saya hanya manggut-manggut, sambil membolak-balik dan coba memahami isi atau content dari konsepsi itu.
Saya hanya termenung sambil terus mencoba memahami content itu yang simpelnya memuat tentang pola-pola atau metode-metode yang bisa dikatakan aplikatif untuk diterapkan dalam rangka rekrutmen dan pembinaan anggota. Dapat saya pahami bahwa konsepsi itu memuat tentang gimana sih strategi memperkenalkan HMI sejak pra perguruan tinggi, semasa proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, penyambutan mahasiswa baru, masa-masa orientasi atau sebutlah opspek, rekrutmen, training sampai follow up pasca training.
Diskusi yang ditunggu-tunggu untuk membahas konsepsi itu ternyata tak kunjung hadir juga. Karena itu, saya sebagai anggota uzur di Himpunan ini mencoba urun rembug, mencoba yah... katakanlah berbagi telaahan.

***
Contentnya bagus. Setelah saya pikir-pikir n saya kenang kembali, ternyata apa yang ada dalam konsepsi ternyata juga bukan barang baru. Sering kita bicarakan, sering kita diskusikan, malah sudah ada beberapa metode praktis yang kita lakukan.
Saya inventarisir dulu.
Ingat saya, pada masa Kanda Kasiono, pernah mereka melakukan roadshow ke sekolah-sekolah dalam bentuk pelatihan siswa Islam atau apalah namanya. Nun..jauh disana di Ujung Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu. Ini secara tidak langsung telah memperkenalkan HMI kepada calon kader pada masa pra perguruan tinggi. Hasilnya, yah... itu, ada Amru, ada Dahlia, ada Dayang Asiah, yang ketika mahasiswa langsung cari HMI. Contoh yang nyata lagi adalah Wandi, yang berkenalan dengan HMI sejak ngumpul di BEM Untan, posko tsunami dan sebagainya.
Kemudian HMI Kom.KIP, dulu sekali, pernah juga mengadakan latihan dasar siswa Islam atau apapun namanya, sebagai wadah yang jika di seriusi bisa menjadi wadah sosialisasi HMI. Trus, pada waktu kegiatan hari lingkungan hidup tahun lalu, bidang PPD Cabang juga berhasil mendekati kawan-kawan SMU.
Trus...untuk masa penyambutan mahasiswa baru, persoalan perkenalan simbol atau apapun dia seperti yang ditawarkan dalam konsep bidang PA PB HMI. Sudah beberapa tahun terakhir, kawan-kawan di STAIN di susul pula di Untan telah berupaya melakukan itu baik melalui baliho, pamflet, leaflet atau pembagian profil. Jika untuk pemakaian simbol oleh para kader ketika mereka berada di kampus, juga telah dilakukan seperti pembuatan slayer, baju HMI, bikin pin, bikin kalender dan sebagainya oleh kawan-kawan Kom. FISIP, Kom.Syariah, Kom. Tarbiyah, Kom. Ekonomi dan Kom.KIP.
Kemudian untuk masa-masa orientasi mahasiswa baru, untuk di STAIN, saya pikir sudah lima tahun terakhir di dominasi oleh kawan-kawan. Di FISIP kawan-kawan komisariat juga sudah bisa bermain. Apalagi kasus pengambilan almamater di Kopma Untan, yang terkadang digunakan kawan-kawan untuk brainstoarming mahasiswa baru. Seleksi prestasi dan calon kader berkualitas, seingat saya BEM STAIN yang di dominasi HMI juga sudah melakukan melalui pemilahan data-data formulir mahasiswa baru.
Mungkin ada beberapa hal yang belum kita lakukan, misalkan inisiasi membetuk organ sayap seperti Himpunan Siswa Islam atau apalah namanya. Namun, saya dulu juga pernah mendiskusikan persoalan penetrasi ke sekolah-sekolah ini, ketika berbincang tentang fenomena kawan-kawan KAMMI dengan Rohisnya, atau dengan Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI)-nya dibeberapa daerah.
Artinya apa yang ditawarkan dalam strategi bidang PA tersebut, senyatanya telah ada dibenak dan dalam beberapa kasus telah dilakukan. Problemnya memang, lagi-lagi harus diakui, kita masih lemah pada persoalan sistematisasi kegiatan yang rapi, kejelasan tahapan-tahapan dan kontinuitas pembinaan-follow upnya, serta strategi pengembangan dan pemberdayaan pasca kegiatan seperti pengembangan jejaring yang massif baik pada masa pra perguruan tinggi maupun ketika sudah menjadi kader.
Dan tak lupa juga yang sangat urgen adalah… ada tidak semangat dan energi untuk melakukan itu. Jangan kan untuk melakukan proses di eksternal, terkadang kelemahan kita untuk konsolidasi internal saja masih keteteran dan menghabiskan waktu. Belum lagi terjebaknya pada aktivisme organisasi yang membuat kreatifitas menjadi tumpul, sehingga banyak momen-momen terlewatkan. Dan kalaupun ada ide, terkadang hanya sebatas pewacanaan yang tidak berbanding lurus dengan implementasi, habis-habis di forum diskusi, dikaji mendalam, dalam banget sampai tak ketemu ujung pangkal dan buntu.
Ada masalah-masalah yang memang benar harus dianalisis mendalam, namun banyak juga hal-hal praktis dan sederhana namun berdampak ruar biasa yang mesti praktikal dilakukan. Jika ada ungkapan berfikir besar, berbuat besar dan ke depan menjadi besar itu betul. Tapi, ketika kita hanya terpaku pada agenda besar apalagi rutinitas, maunya hanya kegiatan besar-besar saja, kalau tak besar tak mau, maka ngukur baju donk. Sehingga pola pikirnya juga harus ada penyeimbangan: berfikir besar, melakukan hal-hal yang sederhana dan kecil tapi kita mampu dan kerjanya riil, kemudian hasil dan dampaknya besar.

MASIHKAH HMI SEBAGAI ORGANISASI INTELEK, PROGRESSIF DAN BERWAWASAN PEMBAHARU

Catatan Misi Ketue tak jadi (he1001x)
---------------------------------------------------------
MASIHKAH HMI SEBAGAI ORGANISASI INTELEK, PROGRESSIF DAN BERWAWASAN PEMBAHARU

KONDISI UMMAT
Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia.
Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.
Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival.
Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

KONDISI NEGARA-BANGSA
Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya, termasuk Kalimantan Barat.
Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.

Untuk itu menurut aku yang awam tentang HMI ini, HMI yang sudah kadung menganggap dan bangga dengan dirinya sebagai organisasi intelek, progressif dan berwawasan pembaharu, harus melakukan :

1. PEMBAHARUAN SISTEM NILAI (INTERNALISASI NDP)
Pembaharuan sistem nilai dimaksudkan pada internalisasi Nilai Dasar Perjuangan (NDP), tujuannya bagaimana mengembalikan NDP sebagai ideologi dan tumpuan nilai dari seluruh aktifitas kader HMI. Pengayaan nilai dan internalisasi NDP kepada kader perlu ditanamkan dalam diri setiap kader HMI, sehingga menjadi spirit of personality dalam kegiatan sehari-hari. Karena itu, internalisasi NDP dan perbaikan sistem kaderisasi menjadi agenda prioritas dari pembaharuan organisasi.
NDP yang dirumuskan di atas konteks teologis, filosofis dan sosial mesti melalui proses transformasi yang dinamik, sehingga dipandang penting untuk membuka ruang wacana dan forum untuk menemukenali dasar pijak keislaman HMI kedepan.

2. PEMBAHARUAN KELEMBAGAAN (INTERNALISASI PERAN KELEMBAGAAN)
Pembaharuan kedua kami letakkan pada pembaharuan kelembagaan yaitu bagaimana melakukan internaliasasi peran kelembagaan pada setiap diri fungsionaris menata ulang struktur, peran dan fungsi organisasi agar mampu mencerminkan orgainasi yang demokratis, efektif dan mencerminkan aspek profesionalisme organisasi. Dalam wilayah garapan kelembagaan keorganisasian ini, budaya organisasi harus berkembang menuju fungsi utamanya yakni berfungsi untuk mengikat “anak panah” aparat organisasi agar memiliki daya dobrak, skala prioritas kerja dan akurasi sasaran yang tinggi. Kemudian struktur organisasi HMI kedepan harus lebih berpihak kepada intensitas pembinaan perkaderan kepemimpinan. Input kader yang plural dan local content tiap cabang yang khas menuntut institutional building perkaderan yang mampu mengakomodasi keduanya.
Kemudian secara kelembagaan pula HMI sangat memerlukan strategi positioning kelembagaan dan komunitas HMI yang tepat di benak komponen masyarakat sipil maupun masyarakat negara. Hal ini berkait erat dengan perencanaan komprehensif terhadap pengembangan network untuk pemilahan dan pemilihan stake holders HMI menurut skala prioritas yang mengacu pada visi dasar perubahan.
Selanjutnya di abad informasi seperti ini, kemampuan organisasi nir laba dalam mengemban misinya sangat tergantung pada kemampuan manajerial yang berbasis pada tradisi riset dan informasi. Karena itu setiap aparat dipersyaratkan untuk memiliki keterampilan manajemen riset dan informasi yang baik. Diperlukan sistem informasi organisasi (pencarian, pengolahan, produksi dan distribusi) yang tertata dan terencana. Ini berkaitan dengan upaya membangun jaringan atau network, jika network menjadi andalan bagi penciptaan dan penguatan citra gerakan HMI, maka sistem informasi sebagai supporting system perkaderan dan perjuangan organisasi perlu ditata dan direncanakan secara terpadu. Network merupakan model perkaderan yang belum tertata. Dalam konteks membuka dan memelihara relasi baik secara individu maupun institusi, diperlukan character and capacity building fungsionaris HMI dan secara bertahap menjadi bagian dari proses institutional building public relation HMI.
Trus…Menindaklanjuti pula usaha pembentukan cabang-cabang baru HMI dengan tetap memprioritaskan pendampingan dan penguatan secara intensif kepada cabang-cabang baru yang telah terbentuk hingga tercapainya kemandirian perkaderan dan perjuangan oleh sub struktur pimpinan yang terkait dengan saling melakukan koordinasi diataranya.

3. PEMBAHARUAN DAN PENGAYAAN MUATAN PERKADERAN
Perkaderan ialah jantung organisasi untuk itu perkaderan mesti menjadi motor penggerak organisasi yang mendorong dan melahirkan usaha-usaha yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan menuju ke arah tercapainya tujuan organisasi. Karena perkaderan mempunyai fungsi sebagai :
1. Kesinambungan dan peningkatan kualitas perjuangan misi Islam.
2. Kesinambungan dan kedinamisan kepemimpinan HMI.
3. Kesinambungan dan pengembangan perjuangan HMI.
4. Konsistensi pemahaman perjuangan HMI.
5. Kesinambungan eksistensi HMI dan peningkatan peran-peran personal kader dan capacity building kelembagaan.
Untuk itu gerakan perkaderan HMI harus memberikan arahan dalam pengembangan sumber daya kader untuk menuju kualitas kader cita yang holistik yang mempunyai bekal-bekalantara lain:
Wawasan Ideologi yang berisi nilai-nilai ideal universal seperti keadilan, persaudaraan persamaan kebebasan, kasih sayang, kearifan dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai dasar pesan ajaran Islam. Wawasan ideologi ini menjadi peletak dasar bagi pengembangan berbagai aspek kehidupan lainnya. Termasuk asumsi-asumsi dasar mengenai Allah SWT, manusia, alam semesta, hari akhir dan sebagainya.
Kemudian bekal-bekal wawasan kepribadian dan skill profesionalitas yang melingkupi beberapa aspek yang akan membentuk kepribadian kader seperti sikap, mentalitas, intelektualitas, kebiasaan, juga pengetahuan praktis yang bersifat strategis atau pun teknis yang mampu membekali kader guna mengembangkan profesi secara profesional yang berdaya bagi pengembangan organisasi dan masa depan pribadi kader, misalnya jurnalistik, kewirausahaan, teknologi informasi dan sebagainya.
Di ikuti pula dengan wawasan epistemologi yang memuat seputar kaidah-kaidah sains sebagai muatan yang memberikan landasan keilmuan bagi kader. Karena itu, dengan muatan ini, diharapkan kader HMI mampu memiliki kerangka analisis yang jelas dan tepat dalam menyikapi, menyiasati dan mencari solusi berbagai persoalan. Dengan demikian, setiap kader HMI mampu bersikap, berpikir dan berperilaku saintifik serta mampu mengembangkan potensi intelektual dalam bentuk karya-karya ilmiah secara optimal.
Kemudian wawasan sosiologis-politis juga harus diberikan berbentuk wawasan sosiologis-politis berisi seputar berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah dan budaya. Dengan muatan ini, maka kader HMI diharapkan mampu mengembangkan wawasan sosial yang luas, kepekaan dan kepedulian social yang tinggi, apresiatif terhadap berbagai fenomena sosial kemasyarakatan (keumatan). Lebih dari itu, dengan muatan ini maka kader HMI diproyeksikan mampu melakukan sosialisasi dan berintegrasi ke tengah komunitas sosial yang pluralistik, serta mengoptimalkan peran-peran sosial-edukasi kemasyarakatannya baik secara personal maupun kelembagaan dalam melakukan perubahan sosial yang kontruktif.
Wawasan organisatoris tak pelak juga harus di internalisasikan terutama yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan seluk beluk keorganisasian HMI khususnya, misalnya mengangkat perkem-bangan dan peran-peran kesejarahan perjuangannya, dinamika organisasinya, konstitusinya, perkaderannya dan sebagainya. Dengan pemahaman muatan ini maka kader HMI diproyeksikan memiliki sense of belonging, rasa memiliki dan sadar sepenuhnya untuk berjuang lewat HMI.
Selain pengayaan dan internalisasi wawasan itu tadi, yang lebih penting juga adalah peningkatan kapasitas instruktur dan pembaharuan metode perkaderan yang lebih ideologis namun partisipatif dan demokratis, bukan perkaderan yang konvensional, monoton dan cenderung ortodoks dan doktriner.
Simplenya dalam bidang garapan perkaderan HMI dibutuhkan sistem perkaderan yang induktif-partisipatif yaitu perkaderan yang berorientasi pada proses partisipasi, pengembangan potensi dan bakat minat kader menuju kepada kondisi optimalnya. Apalagi dinamika perkaderan pada satu dasawarsa terakhir ini berjalan deduktif, sehingga dalam beberapa hal bolehlah terjadi penyeragaman atas muatan, kurikulum, metodologi danmetode. Namun di era sekarang ini, semua itu harus di imbangi dengan kreatifitas atas muatan, kurikulum, metodologi dan metode dengan orientasi penguatan regional, local content suatu cabang perlu diakomodasi dan diciptakan iklim perkaderan yang induktif dan ruang eksperimentasi yang luas kepada cabang untuk mengelaborasinya.
Pengembangan network perkaderanpun hendaknya segera dibangun. Hal ini penting karena tiap kelompok memiliki competency yang berbeda. Perlu memperbanyak hubungan personal maupun kelembagaan, melakukan kerjasama pelatihan competency kader termasuk kerjasama pemagangan.

4. INTERNALISASI IDEOLOGI KEISLAMAN MELALUI FAMILY STUDIES
Family Studies adalah proses di dalam sebuah wadah (kelompok) yang menitikberatkan pada ikatan persaudaraan sesama muslim sebagai sasaran kegiatannya, dengan prinsip umum yang digunakan untuk mendinamisasi adalah :
Saling berkenalan (ta’aruf)
Saling memahami (tafahum)
Saling bermitra dan tolong menolong secara sederajat (takafful, ta’awwun)
Hal ini bermanfaat dalam proses penanaman nilai ke-Islaman dan ideologisasi terhadap paa kader dan bertujuan pula untuk meningkatkan hubungan emosional sesama kader HMI khususnya dan sesama muslim pada umumnya dalam semangat persaudaraan, sehingga terbangun sikap kebersamaan dan solidaritas yang tinggi.
Kegiatan ini adalah aktivitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan potensi diri kader baik secara sendiri maupun bersama. Model kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bentuk alternatif aktivitas sebagai bagian dari perkaderan yang secara strategis memberikan peluang dan kesempatan bagi anggota untuk mengembangkan dirinya dalam skala yang lebih luas.

5. INTELEKTUAL MAPPING AND INTELEKTUAL MOVING
HMI mempunyai ciri sebagai entitas gerakan pemikiran dan pembaharuan dengan karateristik intelektualitas para kadernya. Namun memang harus diakui, sekarang kondisi itu berada pada titik nadir yang mesti dibenahi, HMI tengah mengalami HMI Culdesac yang mesti diretas. Untuk itu, HMI harus menggiatlkan kadernya untuk menggerakan kembali gerbong pemikiran intelektualnya, selain melalui tradisi baca tulis dan diskusi yang telah ada, juga perlu mentradisikan tradisi riset di tubuh HMI agar formulasi intelektual dan formulasi analisis masalah kedepan dimotori oleh eksplorasi metode ilmiah dan technical ability untuk menerjemahkan kepekaan terhadap realitas sosial-politik yang ada.
Kemudian hal lain yang perlu juga dilakukan, meminjam misinya salah satu kandidat PB pada Kongres Makassar kemarin, yakni ide cantik untuk melakukan Intelektual Booming yang saya bahasakan dengan istilah Intelektual Mapping dan Intelektual Moving di HMI dengan melalui gerakan jalur struktur formal yang ada maupun melalui penguatan, pembinaan dan pemberdayaan family studies dan organ basis atau kantong yang dibentuk.

6. PENGUATAN, PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN JARINGAN GERAKAN
Pembaharuan gerakan dan perjuangan kami letakkan arah perjuangannya adalah bagaimana mengawal demokratisasi yang sedang bergulir baik demokratisasi politik, maupun demokratisasi sosial dan ekonomi. Pola gerakan HMI selama ini juga perlu untuk kita timbang secara serius. Untuk keberhasilan perjuangan, pola gerakan perlu mengalami transformasi yang lebih intelek. Perubahan struktur politik yang relatif lebih demokratis membuat HMI perlu mengemas perjuangannya secara intelek, bukan hanya ekstra parlementer tapi juga melalui jalur parlementer dengan memanfaatkan latar belakang keilmuan dan jaringan yang telah terbangun
Jaringan atau kemitraan adalah kegiatan yang dilakukan secara kelembagaan dalam kaitannya dengan lembaga lain yang diproyeksikan sebagai media sosialisasi visi dan misi HMI dengan mengembangkan strategi organisasi sebagai implementasi atas pemahaman pluralitas dan inklusifitas organisasi HMI.
Penguatan jaringan merupakan bentuk kegiatan organisasi yang dilakukan kader untuk mewujudkan tujuan perkaderan HMI, sehingga hubungan kader HMI dengan lembaga lain, organisasi kemasyarakatan, organisasi kemahasiswaan terjalin erat dan sinergis.
Tujuan adanya pembinaan jaringan adalah untuk mempertegas keberadaan kader–kader HMI khususnya dan organisasi HMI pada umumnya, di tengah pluralitas lembaga-lembaga lain dan mengakses informasi yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pemberdayaan jaringan juga mempunyai nilai strategis yang sama dengan model perkaderan yang lain. Dalam pengelolaan jaringan dibutuhkan mekanisme yang jelas dan memadai bagi bentuk peningkatan kualitas kader HMI karena erat hubungannya dengan wilayah yang riil yang akan ditemukan oleh kader HMI
Model jaringan yang dapat dikembangkan melalui pendelegasian kader, pembentukan organ basis atau kantong dan kerja sama dengan lembaga/organisasi lain. Pendelegasian kader HMI merupakan salah satu bentuk dari model jaringan yang cukup strategis. Namun demikian bentuk tersebut harus memuat visi dan misi HMI secara jelas, apabila pendelegasian kader ke dalam organisasi lain tersebut bersifat formal.
Pembentukan organ basis atau kantong adalah upaya HMI memberdayakan kadernya dengan mendirikan organ basis atau kantong yang merupakan model jaringan yang tidak mempunyai kaitan struktural dengan HMI tetapi memiliki ikatan moral, sehingga sistem yang dikembangkan lebih merupakan kreatifitas kader HMI, dan ini sangat bermanfaat terutama bagi kader-kader yang secara formal tidak berada dalam struktur HMI tapi memerlukan wadah berkreatifitas.
Organ basis atau kantong yang dibentuk oleh para kader HMI mempunyai wilayah kerja yang strategis dalam bentuk study dan partisipasi memecahkan persoalan kemasyarakatan dalam bidang politik, ekonomi budaya, agama, sosial dan lain-lain. kekuatan organ basis atau kantong ini mempunyai nilai strategis apabila dijalin komunikasi yang intensif sehingga memunculkan sinergi.
Adapun kerjasama dengan lembaga/organisasi lainnya, perlu mendapat perhatian serius, karena HMI bukan satu-satunya lembaga atau organisasi anak bangsa yang eksistensinya ada dan bergerak demi negara bangsa ini, untuk itu dalam gerakan-gerakan keummatan dan kebangsaan yang strategis, HMI perlu untuk menjalin sinergisitas gerakan dengan lembaga/organisasi yang lain.

Red_Roodee de Gentille
site : redroodee.blogspot.com
e-mail : red_roodee@yahoo.com


Notes :
Adakah...aktivis-aktivis yang masih mampu menulis disini?

MEMULAI, BERGERAK DAN JANGAN ANGGAP KECIL

Catatan Pikiran
-------------------------
MEMULAI, BERGERAK DAN JANGAN ANGGAP KECIL

Telah menjadi suatu historis, bahwa perubahan selalu dimulai oleh kaum minoritas kreatif, dan sebagaimana adagium perubahan, selalu kaum muda menjadi inti dari minoritas kreatif tersebut. Karena padanya terdapat spirit idealisme yang menafasi dalam rongga gerak dinamis yang berjalan.
Tak pelak gerakan perubahan itu selalu dikawal oleh gerakan inti kaum muda itu sendiri, yakni kaum muda terpelajar (baca: Mahasiswa dan Pelajar). Sebagai gerakan pembaharu yang selalu mengedepankan idealisme dengan menyuarakan nilai-nilai moral sebagai semangat dasar perubahan itu sendiri, maka secara kasuistik dapat terlihat memang bahwa gerakan mahasiswa yang muncul adalah gerakan-gerakan yang pada dasarnya merupakan gerakan penyelamatan negara-bangsa, apalagi jika kondisi negara-bangsa telah sampai pada titik nadir kekacauan. Acapkali gerakan mahasiswa muncul ibarat Sang Messiah, sehingga dalam momentum seperti ini gerakan mahasiswa mendapat dukungan penuh dari rakyat, ibarat mendapat mandat secara tidak langsung untuk mewakili suara rakyat.
Namun ketika berbicara tentang polarisasi, bermacam perbedaan ideologi antar organ gerakan adalah realitas tak terbantahkan, dan terkadang karena perbedaan yang dianggap ‘mendasar’ seperti inilah, maka ketika telah memasuki dalam ranah politik, membuat keberpihakan semakin berbeda, ‘kepentingan’ bisa jadi berbeda, dan berkaca pada itu maka simpulannya adalah bahwa dalam konstalasinya, gerakan mahasiswa hanya akan menyatu jika ada satu momentum bersama atau secara deklamasi dikatakan bahwa ‘mahasiswa akan turun bersama jika itu menyangkut penggusuran satu rezim yang memang sudah dianggap dzalim secara bersama-sama’. So…ketika berbicara tentang follow up bagaimana harus menyusun konfigurasi sistem tatanan kehidupan bersama, terutama yang mesti diatur dalam bentuk penyelenggaraan negara dan para penyelenggaranya di supra-struktur sistem politik yakni pemerintahan, maka tak pelak binar-binar kekuasaan akan membuat kepentingan yang berbeda tadi kembali muncul kepermukaan dan dengan lebih tegas memisahkan antar organ-organ tersebut kedalam fragmentasi yang lebih tajam dan mengerucut. Makanya dalam berbagai kasus, ketika sudah berbicara tentang hal itu, sedianya gerakan mahasiswa tetap tidak akan bisa menyatu. Secara periodik dapat terlihat fragmetasi itu dalam dunia gerakan, dan lazim memang begitu adanya.
Namun begitu, tetap saja dipundak gerakan kemahasiswaan itu terpikul beban untuk tetap memposisikan diri sebagai agent of control-moral force ditengah kehidupanakhirnya dengan cara-cara seperti itu merupakan bentuk keterlibatan aktif untuk mendidik warga negara yang lain agar menjalani hak dan kewajibannya selaku warga negara, dan bagi kalangan terdidik, inilah merupakan bagian dari proses pengembangan diri menuju kematangan dan pendewasaan, karena kedepan mereka adalah pemimpin. Oleh karenanya, bagi kawan-kawan aktivis mahasiswa, tiada kata lain selain terus menggali dan mengembangkan potensi, membina dan menempa diri, mempersiapkan diri untuk menjadi generasi pejuang yang selalu meneriakan kata ‘LAWAN’ jika melihat penindasan, dan sebagai calon pemimpin dimasa mendatang maka yang perlu dilakukan juga adalah upaya-upaya berproses dan memposisikan diri sebagai generasi yang senantiasa kritis didasarkan pada landasan ilmiah-intelektual dan obyektifitas. Bahwa para aktivis adalah generasi yang kreatif, kritis dan korektif, merupakan ide yang harus terus di implementasikan dalam gerak dinamis yang dilakukan.
Memang dalam rangka pengembangan idea-idea, wacana-wacana, konseptualisasi dan praksis aktivitas berkenaan dengan perjuangan itu tak lah mungkin dalam dinamikanya merupakan sesuatu yang sempurna (perfect), meski begitu tetap saja harus ada yang terus melakukannya, diniatkanlah itu sebagai suatu gerakan yang harus dilakukan dengan segala kemampuan maksimal dan coba dioptimalisasikan, sehingga dapat menjadi ajang transformasi wawasan dan pengetahuan baik bagi diri sendiri juga masyarakat. Dan jika proses yang terjadi mencapai kesuksesan, tentunya merupakan kebahagiaan dan kedepan akan menjadi….meminjam bahasa hukum yakni yuriprudensi bagi kawan-kawan generasi yang lahir kemudian untuk terus melanjutkannya, tentunya dengan improvisasi ekspresi dan modifikasi pola dan keterpaduan sistem sebagai respon apresiatif terhadap dinamika zaman, sehingga selalu up to date.
Akhirnya, bagi yang masih pingin bergerak dan selalu melakukan gerakan, ‘Mungkin apa yang kita ideakan, fikirkan, konseptualisasikan dan yang kita perbuat saat ini, kita anggap suatu hal yang biasa-biasa saja. Namun, bisa jadi, semua itu menjadi suatu hal yang fenomenal dan insipirasi bagi generasi di masa hadapan.’

Red_Roodee de Gentille
site : redroodee.blogspot.com
e-mail : red_roodee@yahoo.com

Seputar Keyakinan

Seputar Keyakinan

Di suatu hari yang indah. Di suatu warung kopi, dua orang teman saya sedang berdialog tentang claim kebenaran atau yang lebih nyentrik dikenal dengan the claim of truth.
Teman yang satu menyatakan bahwa harusnya hidup itu menghindari saling klaim agar tak terjadi lagi benturan-benturan karena saling membela panji kebenaran yang dalam beberapa kasus berakhir dengan memanggul panji kekerasan. Teman yang lain sepakat, namun ia tetap berujar...bahwa klaim tetap dibutuhkan dalam rangka menjaga komitmen dan konsistensi keyakinan. Jika semua sudah dianggap sama, untuk apa kita mesti memanggul suatu keyakinan dan tetap hidup didalamnya. Jika klaim sudah tidak ada, maka juga akan berbahaya, karena akan menghancurkan sendi-sendi keyakinan beragama.
Saya mendengarkan dengan seksama, menunggu giliran saya untuk berkata. Ketika sampai masa itu, saya kebingungan harus ngomong apa, ditengah kebingungan itu saya bergumam antara kedengaran dan tidak.
...Kawan-kawan pernahkah kalian merasakan kita selalu di doktrin, bahwa keyakinan kita paling benar. Keyakinan bahwa agama kita benar itu dibangun dengan memperbandingkan dan menunjukkan kejelekan alias kelemahan dari keyakinan yang lain. Pertanyaan sederhana yang perlu kita tanya lagi pada diri kita adalah "Apakah kita baru yakin bahwa keyakinan kita benar setelah kita mempersalahkan keyakinan yang lain? Jika keyakinan yang lain itu tidak ada, tetapkah kita yakin bahwa keyakinan kita yang benar?"
Jika keyakinan yang kita miliki itu baru kita yakini benar setelah mempersalahkan keyakinan yang lain, berarti sesungguhnya kita belum yakin dengan apa yang kita yakini benar, sehingga memerlukan sesuatu yang mesti dikorbankan untuk membenarkan keyakinan kita (Kasar sekali khan proses kita membangun keyakinan didalam diri). Dan jika terus begitu, selamanya kita hidup dalam ketidak yakinan alias keraguan, apakah keyakinan kita saat ini benar atau tidak. Jangan sok ideologis denganku!


Gradasi Baik-Buruk

Sering saya ketemu dengan beberap orang yang kemudian bertanya tentang baik-buruk itu apa sih? karena saya bukan seorang ustadz, saya sebenarnya merasa tak punya legitimasi untuk menjelaskan persoalan ini dari sudut pandang agama, baik dari sudut pandang aqidah, ushul fiqh dan fiqh. Karena memang takut salah yang akhirnya menimbulkan fitnah, juga karena selama ini khawatir mengambil tugas ke-ustadz-an yang menurut banyak pihak adalah hak prerogatif klan para ustadz dan ulama. Ketika saya menolak berdialog dengannya, dia malah mengajari saya...sampaikanlah olehmu, walaupun satu ayat. Saya jadi miris juga, orang ini maksa pakai ayat lagi, dan saya pun sempat curiga, jangan-jangan ni orang sekedar menguji saya. Untuk menjawab sudut pandang filosofi-ilmiah pun saya kebingungan juga, karena saya belum sampai pada maqam filosof yang dibenaknya carut-marut memikirkan masalah-masalah seperti ini.
Namun, dipikir-pikir, tak ada ruginya kalau saya juga angkat bicara. Biarin deh, apapun tanggapannya nanti. Dengan ke-mumet-an kepala, saya beranikan diri dengan memaparkan suatu percontohan :

Jika anda melihat seorang anak kecil kencing ditempat kita yang nongkrong ini, apakah anda akan menyatakan itu perbuatan baik atau buruk?
Dia bilang bahwa itu perbuatan buruk tapi tak bisa dipersalahkan.
Jika saya kencing ditempat ini apakah anda akan menyatakan itu perbuatan baik atau buruk?
Dia jawab itu perbuatan yang sudah pasti buruk dan akan saya gebuk!

Kemudian, jika anak kecil itu memberi anda bunga, apakah itu perbuatan baik atau buruk?
dia berseru, itu baik!
Klo saya yang memberikan bunga itu pada anda, apakah itu perbuatan baik atau buruk?
Itu baik. Namun bedanya, klo anak kecil dia memberi bukan karena sepenuhnya dorongan sadar dari dalam dirinya, bisa jadi hanya menuruti perintah atau disuruh atau mungkin dalam proses belajar melakukan sesuatu yang baik yang diajarkan oleh orang tuanya. Sedangkan anda, tentunya ada sesuatu keinginan yang memotivasi didalam diri anda sehingga anda memberi saya bunga, ujarnya panjang lebar.

Jadi intinya apa? tanyanya.
Intinya kelapa dan gula merah! Jawabku

Ada keinginan yang memotivasi, ada pengetahuan, ada tindakan, ada nilai dibalik semua tindakan. Ada...akal anda yang menjadi barometer semua itu.
Tindakan yang dilakukan anak kecil, meski itu baik atau buruk, nilainya tidak sama dengan tindakan yang anda lakukan. Ada gradasi/tingkatan baik-buruk yang berlaku. Sehingga dalam bahasa keyakinan, orang yang tidak sadar, yang tidak dan belum maksimal menggunakan potensi akalnya seperti anak kecil, orang tidur, orang hilang kesadaran dan gila meski mereka melakukan perbuatan baik dan buruk, gradasi nilainya berbeda dengan kita yang waras, sepenuhnya sadar dan mampu memaksimalkan potensi akal.

Jean Roodee de Gentille

REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Catatan Pikiran
---------------------
REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Bencana lagi, bencana lagi. Kelaparan lagi, eh kelaparan lagi. Berita-berita miris nan menggetarkan selalu akrab di panca indra kita akhir-akhir ini. Dimanakah terjadinya? Lokusnya...ditanah yang dulu sekali dijuluki Jamrud Khatulistiwa nan Gemah Ripah Loh Jinawi. Dulu sekali, tanah ini pernah subur-makmur, rakyatnya hidup berkecukupan meski tak lantas itu diartikan mewah. Yah..berkecukupanlah, cukup makan, sandang dan pangan. Itu dulu...mungkin dalam dongeng.
Disuatu berita surat kabar, seorang selebritis komedian yang punya ciri khas aksen Tegal-nya yang medog, Cici Tegal protes dan ‘marah’ kepada pemerintah. Marah...karena dia menilai bahwa pemerintah lamban dalam mengurusi masalah dan dampak dari gempa yang melanda Jogja-Jateng, padahal menurutnya gempa Jogja-Jateng termasuk yang kedua terhebat setelah tsunami yang melanda Aceh-Sumut.
Marahnya seorang Cici, memang tak akan mengubah keadaan apalagi ketidak-becusan penguasa negeri ini dalam persoalan kesigapan menangani bencana. Mengurusi Aceh yang telah setahun lebih berlalu saja masih belum genah, masih banyak ketidak-beresan disana-sini, apalagi menyangkut masalah dana dan profesionalisme badan yang dibentuk pemerintah untuk menangani rekonstruksi Aceh-Sumut yakni Badan Rehabilitasi dan Rekosntruksi (BRR) Aceh-Sumut, berbagai keluhan dialamatkan, pertanda banyaknya permasalahan-permasalahan akibat ketidak profesionalan terutama ketidak-tranparanan lembaga satu ini.
Jangankan hanya marahnya seorang Cici, sebagian besar rakyat negeri ini marah sekalipun, belum tentu akan membuat merah telinga penguasa, ibarat pepatah muka tembok- telinga gajah-kulit badak, mereka telah mati rasa terhadap penderitaan rakyat negeri yang telah memilih mereka untuk jadi pemimpin.
Untuk kasus Jogja-Jateng, lambannya pendistribusian bantuan misalnya, banyak yang beranggapan karena prosedur birokrasi yang mengurusinya terlalu berbelit, padahal ini kondisi darurat atau sebutlah tanggap darurat yang tidak seharusnya diterapkan sama seperti kondisi normal. Kearifan dan kebijaksanaan serta sensitifitas mengatasi bencana diperlukan, bukan sekedar catat-mencatat, karena ini menyangkut jiwa manusia, menyangkut kehidupan dan kematian, bukan hal yang main-main.
Lambannya penanganan ini selalu saja terbukti dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah bencana, koordinasi yang terlalu panjang akhirnya juga menyebabkan koordinasi tidak efektif, bukan malah mempercepat. Untuk mengatasi bencana saja, sedikit-sedikit kita perlu koordinasi yang matang dulu, koordinasi kayak apaan, sementara yang tertimpa musibah sudah klenger duluan. Ini bukan kasus yang pertama, menyibak kebelakang, kita lihat kasus Yahukimo, keterlambatan penanganannya karena kekurangan sarana transportasi untuk mencapai Yahukimo yang terpencil, orang keburu mati kita masih berfikir alias telat mikir. Menarik membaca tulisan di Kompas dengan judul “Serba Salah dan Serba benar,” terkadang orang yang mau membantu juga jadi kebingungan dengan prosedur penanganan yang diberlakukan. Sehingga analoginya untuk bencana Yahukimo, --datang bawa beras salah, karena orang Papua tak makan beras, bawa ubi salah, karena masak datang jauh-jauh cuma bawa ubi, bawa duit juga tak berguna, kalau datang tak bawa apa-apa lebih salah lagi malah keterlaluan. Jadi yang benar gimana, siapa yang bertanggung jawab, semua bertanggung jawab, tapi yang makan gaji untuk menentukan kira-kira prioritas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat harusnya bertanggung jawab lebih besar.
Banyak hal yang sama dalam kasus Jogja-Jateng, meski tak mirip persis. Saking telatnya bantuan datang, malah ada yang dapat jatah mi satu kardus dibagi satu desa, makan apa! Meski Sulthan telah menandaskan agar jangan terlalu panjang birokrasi pendistribusiannya, eh ternyata masih telat.
Persoalannya masih banyak daerah yang tak terjangkau. Yahukimo sama saja, karena daerahnya terpencil, orang mampus pun dibiarkan saja. Trus, kalaupun karena ketiadaan sarana transportasi yang mampu menjangkau, itu terus dijadikan alasan, sampai kapan? Memangnya setiap terjadi bencana alasan itu terus yang dijadikan argumen pembenaran. Kemana saja helikopter yang dimiliki oleh pemerintah, tidakkah bisa dipergunakan? Sedangkan untuk jalan-jalan dinas saja bisa, kenapa untuk rakyat terus jadi mandeg?
Itu satu hal. Lain hal lagi dengan, tingkah laku sebagian kita yang datang bak penyelamat, tapi ternyata sekedar mempertontonkan ‘parade kebesaran’ dan atau pamer kemewahan ditengah bencana, pamer bendera dan labeling, bukan ikhlas membantu. Datang diharapkan bersama serta empati dan simpati, terpenting lagi bantuan yang meringankan, bukan malah petantang-petenteng dengan atribut keduniaan yang tak bakal dipertanyakan oleh malaikat maut nantinya. Sehingga wajar saja, rakyat Jogja-Jateng sampai-sampai dengan miris menuliskan kalimat, ‘kami perlu dibantu bukan untuk ditonton,’ ‘selamat datang wisata bencana,’ atau ‘bosan mengemis.’ Ini karena apa? Karena tingkat kohesi sosial dan terutama kepercayaan terhadap yang berkuasa untuk membantu menanggulangi dampak akibat bencana telah semakin rapuh.
Kasus Jogja-Jatengpun satu lagi, lain itu ada lagi kasus Kabupaten Sikka di Propinsi NTT yang dilanda bencana kelaparan. Meski telah diketahui sejak lama, malah sejak tahun 2005 telah diprediksi bakal terjadi bencana kelaparan jika tak ada...lagi-lagi bahasanya penanganan dari yang berwenang. Tapi apa dinyana, sampai terjadi kelaparan hingga telah diberitakanpun oleh media, belum ada yang serius dan tanggap mempersoalkan apalagi menanganinya. Apa yang salah? Secara sosial, akibat otonomi kita melihat bahwa etno-primordial kedaerahan ternyata menyebabkan kita tidak saling peduli pada tetangga kita yang kebetulan berbeda daerah, meski mereka mati kelaparan. Lebih besar lagi, tanggung jawab sosial negara untuk mensejahterakan rakyat terbengkalai begitu saja, tak seperti cita-cita dan kontrak sosial menuju welfare state.
Anehnya, untuk hal ini,...di Indosiar pernah diberitakan, bahwa pemerintah pusat telah menurunkan tim survey ke daerah bencana untuk mensurvey tentang bencana tersebut, dan hasilnya akan dipergunakan sebagai bahan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan penanggulangan. Anehkan...!?
Setelah hasil survey merekomendasikan, maka baru pemerintah bertindak, dan ternyata hasil survey memberikan info memang telah terjadi bencana dan direkomendasikan agar pemerintah segera melakukan langkah-langkah penanganannya. Sedemikian panjangnya jalur penanganan ini, sehingga ibarat kata pepatah ‘sudah terantuk baru tengadah,’ orang sudah sekarat baru ditangani. Lagi-lagi telat, telat mikir telat bertindak. Pertanyaannya, apa gunanya jalur koordinasi dan informasi antara daerah dan pemerintah nasional, apakah gara-gara otonomi, koordinasi itu tersendat, apakah karena itu informasi yang disampaikan daerah harus di chek dulu, sehingga pake acara survey dari pemerintah pusat segala. Apa gunanya pemerintah daerah, apakah mereka tidak menginformasikan dan mengkoordinasikan itu semua, terus apa informasi dari media yang ada juga telah tidak difahami bahwa ini gawat darurat gitu lho!
Ethiopia...Ethiopia! Demikian judul dan lirik lagu Iwan Fals, sebagai bentuk keperihannya melihat derita kemanusiaan yang menimpa negara Ethiopia di Afrika akibat bencana kelaparan dan tentunya peperangan, sehingga rakyatnya banyak yang mati dan bangkainya dimakan burung pemangsa bangkai. Untuk saat ini, Indonesia memang belum separah itu, tapi bukan mustahil suatu hari nanti kita kan mengalami hal yang serupa, mungkin lebih mengerikan lagi, karena bukan hanya bencana kelaparan tapi juga bencana-bencana yang lain yang lebih kompleks. Ada bencana alam, ada bencana kemanusiaan akibat konflik, ada bencana akibat kebijakan politik, bencana akibat kebijakan ekonomi yang mendorong pemiskinan de el el. Sehingga akhirnya di hari nanti, kita akan mengganti judul lagu itu bukan lagi Ethiopia tapi Indonesia...Indonesia, dan kita akan menyanyi dengan lirih pedih lirik lagu itu.
***
Cu...dulu negeri kita ini, negeri yang subur-makmur, hutan masih hijau membentang dan udaranya segar karena belum ditebang dan dirusak oleh perusahaan-perusahaan, sejauh mata memandang sawah terbentang luas, kalau musim panen kita bisa lihat padi menguning dan petani bergembira menyambut musim panennya, masa itu sawah belum berganti pemilik, masih milik petani, belum digusur ‘pembangunan’. Sungai-sungai juga mengalir dengan airnya yang bening bermuara kelaut lepas nan biru dan banyak ikannya lagi. Jika nelayan pergi ke sungai dan laut, hasil tangkapannya cukuplah buat makan sekeluarga, karena sungai dan lautpun belum tercemar. Cerita sang kakek kepada cucunya di suatu beranda rumah reot. Kapan itu kek? Tanya sang cucu kepada kakek. Itu dulu...dulu sekali. Jawab sang kakek. Bisa jadi hanya ada dalam khayalan. Its our dream. Wallahu A’lam.*

Rudy Handoko
Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kalbar

Monday, June 12, 2006

Perkemahan Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat

Catatan Kegiatan
--------------------------
Perkemahan Pemuda, Mahasiswa dan LSM Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat

Kita memang beda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Oh...alangkah indahnya persaudaraan dan persahabatan,…Indahnya hidup bergandengan tangan, berdampingan dalam kedamaian.

Banyak kata dan kalimat nan indah terungkap, menggambarkan betapa perbedaan bukanlah halangan untuk kita menjadi saudara, menjalin tali kasih dan persahabatan, bekerjasama membangun kehidupan yang penuh harmoni, perdamaian dan kesejahteraan. Perbedaan adalah sesuatu yang lumrah dan tak bisa disangkal, cukup sudah selama ini karena perbedaan kita dikotak-kotak-kan, saling curiga dan hidup didalam prejudice yang terkadang berakhir dengan saling bermusuhan, padahal kita adalah sesama anak manusia yang merindukan indahnya hidup berdampingan.
Memang benar perbedaan bisa menimbulkan friksi dan pertentangan yang bisa berujung konflik jika kita tak waspada dan dewasa dengan perbedaan yang ada, tapi sesungguhnya perbedaan akan lebih bermakna dan menjadi berkah bagi kita untuk hidup berdampingan. Karena Tuhan memang menciptakan kita berbeda, berbeda --bukan untuk diseragamkan-- tapi berbeda untuk saling dihormati dan saling menghargai antar sesama makhluk Tuhan yang merindukan kedamaian. Berbeda itu indah, kedamaian itu indah, sehingga damai di hati, damai di bumi, damai untuk semesta dan damai untuk semua.
Dalam rangka menjalinkan tali kasih kerukunan antar ummat beragama, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Departemen Agama RI melimpahkan amanah kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalimantan Barat untuk mengadakan program kegiatan Perkemahan Pemuda, Mahasiswa dan LSM Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat di areal SMUN 8 Jalan Ampera Kotabaru Pontianak. Kegiatan yang untuk pertama kalinya dilaksanakan di Kalbar ini dihadiri 78 orang peserta dari 100 peserta yang di undang. Para peserta berasal unsur Ormas dan OKP yang mewakili 6 agama. Yah…enam agama, karena selain melibatkan unsur agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha, pada perkemahan ini untuk pertama kalinya di Kalbar bahkan di Indonesia melibatkan pula unsur agama Khonghucu, seperti yang dipaparkan oleh Drs. Rasmi Sattar, Kakanwil Depag Provinsi Kalbar. Khusus untuk ummat Khonghucu, hal ini menjadi kehormatan, karena meski telah ada undang-undang yang mengatur tentang keabsahan agama Khonghucu, namun selama ini Depag sebagai aparatur pemerintahan belum bisa melakukan pembinaan dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan keagamaan dikarenakan undang-undang tersebut di judicial review. Namun, pada tahun 2006 ini, ummat Khonghucu mendapat kado yang istimewa, karena Mahkamah Konstitusi telah kembali menguatkan undang-undang yang mengakui eksistensi agama Khonghucu tersebut. Sehingga ummat Khonghucu tidak perlu khawatir lagi akan pengakuan negara terhadap eksistensi mereka.
Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 05 sampai 09 Juni 2006 ini berlangsung meriah, di tandai dengan antusiasme peserta dalam mengikutinya. Dengan background agama yang berbeda, mereka (para peserta) berkumpul bersama mengikuti segala kegiatan perkemahan dalam kerangka mempererat kerukunan antar umat beragama, meski harus tidur didalam tenda beralaskan terpal, namun pembauran yang diupayakan antar pemuda-mahasiswa ini tampak akrab terjalin.
Acara yang dibuka secara resmi oleh Kakanwil Depag Provinsi Kalbar, dalam sambutannya menandaskan harapan agar perkemahan dapat membina para generasi muda lintas agama, selain dapat memahami ajaran agamanya masing-masing dengan benar, meningkatkan implementasinya secara konsisten untuk membentuk moralitas-integritas yang luhur bagi pemuda dan mahasiswa, juga agar mampu membawa perubahan atau rekayasa sosial bagi perdamaian dan kerukunan antar sesama, sehingga menjadi tauladan sosial bagi kerukunan antar ummat beragama.
Perkemahan ini merupakan salah satu metode yang ditempuh sebagai upaya memberikan wawasan terhadap generasi muda lintas agama tentang makna-kesadaran multikulturalisme, pluralisme, toleransi dan kesetaraan dalam perbedaan sehingga para peserta dapat mentransformasikan pada lingkungan sosialnya, dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang rukun, berdampingan dengan damai. Karena bagaimanapun para generasi muda mempunyai peran strategis ditengah masyarakat mengingat potensi progressifitas dan idealisme yang dimilikinya terutama bagi penanaman nilai-nilai tersebut dalam masyarakat.
Selama mengikuti perkemahan peserta diberikan materi seperti pendidikan multikultural, pluralisme dalam perspektif agama-agama, sosialisasi peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Kerukunan Ummat beragama dan Pendirian tempat Ibadah, Mengurai Konflik perspektif Lingkungan Keamanan dan Teritorial, Trauma Healing, dan berbagai kegiatan lapangan atau out-bond yang diharapkan dapat meningkatkan dan membina kemampuan-potensi peserta dan tentunya dapat diapresiasikan dan di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Para pemateri yang hadir untuk mempresentasikanpun cukup memadai seperti Drs. Abdul Fattah (Kepala Pusat PKUB Depag RI), Dra. Zahrotun Nihayah, M.Psi (Dosen Psikologi UIN Ciputat-Jakarta), Drs. Haitami Salim, M.Ag (Ketua STAIN Pontianak), Perwakilan Pem-Prov Kalbar, Perwakilan Polda Kalbar, Perwakilan Korem ABW dan lainnya. Selain itu para instrukturpun dengan siap sedia memberikan games-games atraktif sehingga para peserta cukup merasa enjoy didalam perkemahan.
Dalam dialog-dialog yang terbangun pada perkemahan ini, terungkaplah bahwa dengan menumbuhkan semangat multikulturalisme, generasi muda diharapkan dapat membina diri dan masyarakatnya untuk hidup saling menghormati, menghargai, toleran dan demokratis. Dengan multikulturalisme, kita harus menyadari bahwa kita hidup tidak sendiri, memerlukan orang lain, melakukan interaksi sosial dan untuk itu maka perdamaian harus menjadi acuannya. Karena pada dasarnya, substansi semua agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih bukan kekerasan yang dapat menimbulkan radikalisme dan primordialisme sempit. Bahwa Multikulturalisme adalah, selain kita mengakui adanya perbedaan tapi juga bagaimana kita mampu meletakkan perbedaan dalam kesederajatan, pada ruang publik-kehidupan.
Pendidikan multikultural menjadi amat penting untuk ditanam dan dibina sedari dini bagi generasi bangsa, hal ini bermanfaat untuk melahirkan generasi-generasi cinta damai, generasi-generasi yang menggunakan nalar rasional, dialogis-komunikatif, generasi-generasi yang toleran dan mampu bekerjasama tanpa terpasung dengan prejudice dan stereotype yang primordialis, generasi-generasi yang sepenuhnya sadar bahwa mereka meski berbeda tapi harus saling menghormati dan menghargai dalam kesetaraan itu. Bukan generasi-generasi yang mengibarkan panji-panji kekerasan dan radikalisme sebagai jalan penyelesaian atau generasi-generasi yang selalu mem-kotak-kan dirinya antara kelompok kami (our) dan kalian (them).
Selain itu, sebagaimana yang terekam dalam proses dialog multi arah peserta, maka muncullah kesepahaman bahwa : apa yang telah dibina dalam forum perkemahan ini tidak lantas cukup dan berhenti pada habisnya kegiatan, namun harus dipertegas dengan selalu mengembangkan dan memberdayakan jejaring yang telah terbangun antar peserta dan ke depan kegiatan-kegiatan pertemuan dan dialog yang membincangkan tentang perdamaian-kerukunan terus dapat di inisiasi. Khusus untuk perkemahan ini, diharapkan supaya bisa dilaksanakan dalam skala yang lebih luas dengan melibatkan para peserta dari kabupaten-kota. Kemudian untuk pelaksanaan perkemahan yang sama pada tingkat nasional, harus selalu ada perwakilan dari Kalbar.
Pada hari terakhir, para peserta perkemahan juga melakukan kegiatan survivor yang diakhiri dengan Perjalanan Religi ke rumah ibadah untuk melakukan bakti sosial.
Malam penutupan acara perkemahan ditutup oleh Kabag Tata Usaha Kanwil Depag Prov. Kalbar mewakili Kakanwil Depag Prov. Kalbar dan selanjutnya di ikuti dengan acara api unggun yang dirangkai dengan pentas seni dari peserta dan untuk peserta, seperti penampilan barongsai, pembacaan pantun dan puisi, pertunjukan koor lagu di iringi musik.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada segala sesuatu yang kita lakukan yang tak meninggalkan kekurangan. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, perkemahan ini teramat berarti dan berharga sebagai noktah sejarah untuk membina perdamaian dan kerukunan.* (Rudy Handoko)