red_roodee

Monday, January 09, 2006

REALITAS INDONESIA: UPAYA MEMBANGUN MASYARAKAT DEMOKRATIS

REALITAS INDONESIA: UPAYA MEMBANGUN MASYARAKAT DEMOKRATIS

Jika memang kita layak disebut negara-bangsa, cobalah kita flashback kembali perjalanan sejarah perjuangan rakyat nusantara ini---hingga semangat senasib-sepenanggungan yang mengkonstruk nasionalisme muncul dan bertaut dibenak putra-putrinya, sampai terbentuknya sebuah negara baru dipentas dunia yakni Indonesia. Negara yang awalnya hanyalah merupakan gugusan kepulauan yang dinamakan nusantara, yang padanya terdapat nation-nation berupa kerajaan-kerajaan dan kesatuan-kesatuan komunal suku-bangsa. Menjadi sebuah perjalanan panjang untuk menyatukan kerangka berfikir yang dahulunya saling menganggap ‘berbeda’ menjadi ‘satu’ dalam bingkai nasionalisme negara-bangsa. Bernegara dan berbangsa--yang diharapkan banyak, mampu membawa perubahan menuju kesejahteraan bersama, tanpa membedakan latar belakang masa lalu, keagamaan, kesukuan dan kedaerahan. Bersama untuk mandiri, berdiri sendiri-berdikari, siap untuk duduk berdampingan dengan bangsa lain, dan siap dengan segenap elemen bangsa yang ada untuk menuju ke kehidupan yang lebih mapan dan madani
Boleh dikata sampai saat ini, sebuah kemadanian itu masih kerlap-kerlip dan berpendar dalam mimpi. Negara-bangsa yang di idamkan masih terpuruk dibelakang, rakyatnya menjadi korban rezim penguasanya. Kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hampir lebur, jauh dari makmur, persatuan yang di idamkan rapuh, perekonomian ambruk, tatanan kehidupan masyarakat semrawut, masyarakat terjebak anomaly atau anomi dalam pertikaian politik dan primordialisme-sectarian yang tak tahu kapan bisa berhenti. Prejudice dan stereotype--negative thinking antar sesama tertanam dibenak rakyatnya. Karena penguasa yang seharusnya mencerdaskan dan mensejahterakan juga mengajarkan demikian.
Dalam beberapa saat, kita menikmati ketenangan hidup yang semu, kemudian itu di’benyai’kan dengan meruyaknya konflik social-politik. Hegemonisasi dengan pengebirian hak asasi manusia dan kekerasan di implementasikan. Hak berdemokrasi dan partisipasi politik diredam, hak beragama diatur dan di’formalisasikan’ kebenarannya oleh penguasa, sehingga agama kehilangan progressifitas dan élan vital perjuangan profetiknya. Hak memperoleh pendidikan hanya untuk orang berpunya, pun…pendidikan dibuat hanya untuk menindas, menghasilkan manusia mesin-mekanis, cinta kekerasan bak preman dan tidak mencerdaskan, mencerahkan dan membebaskan. Sistem ekonomi kapitalis dibelai, pemodal-kapitalis dan konglomerat diberi keleluasaan mengembangkan sayap penindasan dan penjajahannya, penguasa merasa tidak ada kewajiban memakmurkan rakyat kecil yang dipimpinnya. Kemudian negara ini kehilangan kedaulatan dengan segala bentuk intervensi kebijakan yang tunduk-pasrah pada agenda neo-liberalisme. Dus…diperparah dengan virus korupsi, nepotisme, kolusi, kongkalikong, manipulasi, penjilat dan besar omong untuk menipu rakyat kadung menjadi budaya. Perubahan yang di-gema-kan ternyata hanyalah perubahan peta politik seperti papan catur, perubahan hanya pada pergantian elit-penguasa dan pemegang kekuasaan. Sekarang bukan hanya ada raja besar, tapi juga ada banyak raja-raja kecil, belum lagi preman-preman pemodal. Skor korupsi dkk tetap tak beranjak dari posisinya.
Membincangkan tentang problematika ke-Indonesiaan yang sangat besar menimpa setakat ini, tak pelak kita harus membincangkan tentang problem globalisasi dengan segenap issuenya. Globalisasi nan mundial dengan perkembangan teknologi informasi-telekomunikasi yang begitu canggih [high information technology], seakan-akan merupakan realitas yang tak terbantahkan, dengan pengaruh besarnya secara geopolitik yang menjebak kepada perkembangan negatif berwujud neo-liberalisme-neo-imperialisme-neokolonialisme, selanjutnya dinamika ekonomi dunia yang menunjukkan adanya gejala massif pemiskinan negara-negara miskin-terbelakang, ditandai dengan tidak terkontrolnya laju modal finansial yang hanya terakumulasi dan menumpuk pada negara-negara kaya, lembaga-lembaga keuangan dan perusahaan-perusahaan multinasional yang kapitalistik, sehingga mekanisme pasar tidak berjalan sehat dan terdistorsi. Gejala ini menyebabkan keadaan ekonomi menjadi tidak waras, dan yang paling terkena dampak dari scenario besar seperti ini adalah masyarakat-masyarakat dunia yang paling lemah secara politis-ekonomis. Kemudian secara sosio-kultur, dinamika-pergulatan kemanusiaan global saat inipun mengalami dekadensi dalam segala aspek kehidupan, problem kualitas lingkungan hidup, pelanggaran HAM dan demokrasi sampai pada degradasi humanisasi akibat modernisasi tanpa nilai, sehingga manusia kehilangan eksistensi hidup dan jatuh pada Social Anomaly---Homo Homini Lupus. Sehingga…
(…Sehingga) Ketika melihat Indonesia yang baru menapak-memulai menata hidup bernegaranya, kondisi yang masih belum terbangun dengan pondasi yang kuat---sistem politik yang masih amburadul, kondisi perekonomian yang masih terjajah dengan kepentingan kapitalisme global, hingga realitas sosial-empirik, bahwa masyarakat Indonesia ternyata memang masih berada dibawah standar layak minimum, kemudian problem sosio-kultural lainnya seperti ancaman konflik-kekerasan yang masih terus membayang, ternyata diperparah dengan musibah besar yang melanda anak-bangsa ini (Gempa, Tsunami, Busung Lapar, Gizi Buruk, Polio, Flu Burung dll) yang beruntun menghantui. Kemudian gejolak sosial-politik lainnya berupa pemaksaan kebijakan-kebijakan oleh penguasa yang telah memaksa menjerat rakyat bangsa ini---selanjutnya persoalan korupsi dan pelanggarn hukum yang melibatkan ‘orang-orang besar’ yang tetap hangat dibicarakan sampai saat ini, tapi masih jauh dari harapan penegakan hukumnya, meskipun gebrakan pemerintah dalam hal ini telah dilakukan, tetapi benang kusut tersebut tak pelak semakin memintal kusut. Misalkan, gebrakan penuntasannya sekedar ibarat slogan, karena masih belum menyentuh kasus-kasus yang besar-besar seperti penilep BLBI dan konglomerat hitam lainnya.
Merunut ke kondisi daerah, ketidak berpihakan kebijakan pemerintah terhadap rakyat, tetaplah menjadi suatu permasalahan yang menjadi bahan perhatian serius bagi elemen-elemen Pro-demokrasi, seperti kebijakan anggaran yang masih saja memainkan pola lama dan tak pernah melibatkan masyarakat sebagai partner partisipatif perumusan kebijakan, sehingga tidak menyentuh pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kemudian peristiwa politik yang masih bergema sampai saat ini jelaslah pada pesta pilkada yang telah dilaksanakan secara langsung. Berbagai gejolak politik local, sangat dinamis--tampak jelas pelibatan arus massa sebagai tumbal politik dan komoditas politik dilakukan oleh para pemain politik local, dan tentu saja sebagai propinsi yang rentan akan gelombang kekerasan komunal, maka dari jelang sampai pasca pilkada, kekhawatiran-kekhawatiran itu sempat muncul kembali. Phobia kekerasan yang bakal melibatkan massa grass root pada pilkada menjadi topik yang masih hangat dibicarakan, karena ditengah kultur politik yang berlandaskan patrimonial culture seperti ini, terlebih lagi efek psikologis pemilih dan elit sangat intens, dalam lokalitas yang sama serta saling bersentuhan. Maka jelas, permainan tingkat emosional massa pendukung akan dipertaruhkan sebagai komoditas politik, tentunya sebagai pelengkap, pastilah ditambah dengan bumbu SARA sebagai pembangkit sentimentalisme..dan ini baru awal, apalagi menjelang 2007, menuju puncak KB-1.
Untuk Indonesia, dalam lintasan sejarah menata bangsa menuju sebuah idealita kedemokratisan yang dicita-citakan, kita telah kerap kali merasakan penyimpangan-penyimpangan demokrasi yang berujung pada otoriterianisme rezim. Menurut Juan Huiz (1975), jika kita ingin membangun kedemokratisan, maka ukuran kedemokratisan suatu system politik adalah: Pertama, memberikan kebebasan pada masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Kedua, memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur melalui cara-cara damai. Ketiga, tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.
Nah, dalam kerangka membangun perubahan sosial, paradigma kritis kita diperlukan untuk menganalisis dan membedah realitas demi mewujudkan sebuah system yang lebih adil, demokratis dan penciptaan public sphere yang lebih baik, atau bahasa Mansour Faqihnya adalah Penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil. Dengan struktur yang demikian, akan lebih memungkinkan bagi rakyat untuk berdaulat.
Kemudian, mendewasakan diri dan masyarakat untuk menjadi individu dan masyarakat yang terbuka, toleran, inklusif, multicultural, adaptif, menghargai-menghormati perbedaan dan pluralitas, menjadikan pluralitas sebagai sumber kekuatan untuk bersatu dan mengokohkan kemandirian sebagai suatu system masyarakat dan negara-bangsa adalah proses yang harus kita jalani dan terus kita usahakan--secara implementatif di kedepankan. Sesuai gambaran masyarakat cita tentang Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur, maka untuk menghindari perkosaan atas nilai-nilai dasar kemanusiaan, berupa penumpahan darah yang sia-sia, penghisapan dan penindasan secara politis dan ekonomis, menjadi perjuangan kita untuk membentuk masyarakat yang terbuka, inklusifis dan bersifat pluralis-multikulturalis, yang secara filosofis menurut Karl Popper bahwa…masyarakat terbuka merupakan kebalikan dari masyarakat tertutup yang berbasis ideology totaliterian.--Atau bisa ditambah, masyarakat yang eksklusif-dogmatis.
MT Zen (1998) menjelaskan, untuk membangun masyarakat terbuka, maka: Pertama, harus adanya kehidupan demokrasi/kedaulatan rakyat. Kedua, prinsip demokrasi tidak berfungsi dan tidak berani jika tidak disertai kebebasan dan keterbukaan, karena kedua hal tersebut membuka bagi pengawasan antar setiap elemen masyarakat. Ketiga, hak asasi manusia adalah hak manusia yang mendasar yang harus diakui dan dihormati. Untuk itu perlu adanya demokrasi disertai kebebasan dan keterbukaan. Keempat, ketiga hal tersebut hanya dapat berlangsung jika ada jaminan dan keadilan hukum. Kelima, kelestarian lingkungan hidup, karena menjadi kewajiban masyarakat dunia untuk membangun suatu dunia yang adil secara sosial dan secara ekologik dapat berlanjut.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Semoga Allah Azza Wajalla meridhai. Amiiin.
Billahittauufiq Walhidayah.

RUDY HANDOKO

0 Comments:

Post a Comment

<< Home