red_roodee

Monday, April 17, 2006

LOGIKA TINDAKAN

LOGIKA TINDAKAN
Membangun Sistem Nilai Religius
Ammar Fauzi Heryadi


Tidak sekedar berbuat, lalu mati
Tapi, Anda mesti tahu;
Mengapa?
Alfred Lord Tennyson (1892)

Gambar no.1

Dalam pengertian Arestotelian, logika didefinisikan dengan sejumlah kaidah yang me-ma’sum-kan manusia dalam proses berfikir. Kata “berfikir” tersebut di akhir tadi, menegaskan bahwa kaidah-kaidah logika yang dikuak Arestoteles mengatur satu dimensi kehidupan manusia, yaitu kehidupan teoritis.
Secara adil, Arestoteles menyusun logika kehidupan praktis manusia, secara lebih khusus, dalam magnum opus-nya, Nicomachian. Rangkaian kaidah-kaidah praktis dirajut dalam bingkai “The Golden Means” yang menekankan keseimbangan di antara dua titik ekstrimitas atau Jalan Tengah Emas (Via Media Aura). Tentu, teori itu bukan yang terbaru pada masanya. Guru gurunya, Sokrates, malah sibuk dan menyibukkan masyarakat Athena dengan mencari-cari kaidah praktis, ketimbang mendiskusikan arche atau isu-isu teoritis lainnya.
Dengan demikian, sudah dilakukan upaya menemukan kaidah-kaidah kehidupan praktis manusia yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah-kaidah kehidupan teoritisnya. Kalau kehidupan teoritis berkutat di permasalahan “Bagaimana menemukan kebenaran?”, maka kehidupan praktis bertawaf di permasalahan “Bagaimana menemukan kebaikan?”. Di sinilah logika praktis mendapatkan ruang geraknya.
Permasalahan awal yang muncul di sini adalah, “Apakah kehidupan praktis manusia?”. Lebih sederhana lagi, “Apakah tindakan manusia?”.
Sebuah catatan penting untuk diingat bahwa ajektif religius menekankan suatu model sistem moral yang berketuhanan dan berketauhidan sebagai belief system yang berperan selaku poslulat dalam risalah ini.
Tindakan Sengaja
Tindakan adalah proses manusia menuju tujuannya. Ada tiga anasir di dalam tindakan; proses, pelaku dan tujuan. Apakah Proses? Apakah pelaku? Apakah tujuan? adalah tiga key question yang secara berurutan akan mengarahkan penelitian ini pada lembaran terakhirnya, sementara lompatan dari satu lembaran ke lembaran lainnya akan dibantu oleh empat keyword; pengetahuan, motifasi, kehendak dan kemampuan, segera diurai setelah khatamnya paragraf di bawah ini. (Gambar no.2)
Proses ialah gerak dari satu titik sebagai awalan ke titik yang lain sebagai akhirannya. Maka, sebagai sebuah proses, tindakan mesti merangkap titik awal dan titik akhir. Kalau titik akhir tindakan identik dengan tujuan tindakan, lalu apakah titik awal tindakan? Dengan kata lain, apakah asal usul tindakan manusia?
Dalam kapasitasnya sebagai fenomena insani, tindakan manusia itu terjadi setelah melalui empat jenjang;
1. Pengetahuan, bahwa manusia -dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang tidak berarti melumpuhkan total potensi dirinya- masih mampu mengetahui sebagian kecil arti dan kesimpulan tentang realitas yang bersifat konkret atau pun abstrak. Ia selalunya mencari-cari alasan di balik setiap gejala, atau mempersiapkan alasan untuk suatu kejadian yang terkendali atau pun tidak, serta memperdiksi apa saja yang terlibat di dalam kemunculan kejadian itu. Maka itu, manusia mempunyai tujuan yang diyakininya dan mengetahui hal-hal yang mengarah kepada tujuan tersebut.
2. Motifasi. Pengetahuan itu disusul oleh motif dan hasrat (keinginan) yang mendorong dirinya secara subjektif untuk mencapai tujuan yang diketahui. Hasrat dan motif itu beragam, sebanyak sumbernya; tuntutan-tuntutan fisiologis, kecenderungan-kecenderungan instingsial, tendensi-tendensi emosional.
3. Kehendak. Tatkala manusia tahu dan termotifasi oleh cinta diri untuk bertindak, ketika itupula ia akan menghendaki tindakan itu secara puas, suka rela dan bebas.
4. Kemampuan. Tindakannya bersifat aktif, kegiatan dan usaha yang berada di bawah kendali jiwanya, sehingga memungkinkannya untuk melakukan atau meninggalkan, bukan pasif.
Sebuah kesimpulan sederhana yang bisa dibetot dari pion-poin di atas, yaitu menyangkut asal-usul tindakan manusia. Bahwa tindakan manusia bisa dilacak awal kejadiannya pada pengetahuan, motifasi, kehendak dan kemampuan. Tindakan yang didasari oleh empat elemen inilah apa yang disebut sebagai tindakan sengaja (ikhtiyari). Jadi, tindakan sengaja adalah tindakan yang disadari, diingini dan dikehendaki pelakunya serta bersifat aktif. Sementara, tindakan yang minus satu dari empat jenjang di atas adalah tindakan tak sengaja. Ngantuk, ngigau, kelepasan kentut, degupan jantung, minum secara dipaksa, terdengarnya sesuatu, adalah sebagian misal tindakan tak sengaja.
Maka, ada dua macam tindakan manusia; tindakan sengaja dan tindakan tak sengaja. (Gambar no.3)

Karakteristik Tindakan Sengaja
Mengingat bahwa tindakan tak sengaja menyimpan banyak faktor yang berada di luar kendali, kita akan melangsungkan eksplorasi dari tindakan sengaja. Untuk memulai, kita segera akan berusaha menyelidiki karateristik dan ciri-ciri khas tindakan sengaja.

1. Egoisme
Merujuk kepada empat elemen pertama di atas itu, kita temukan suatu keterkaitan yang khas setidaknya di antara dua elemen pertama. Yakni, secara berurutan manusia mula-mula tahu dan menyadari suatu kekurangan pada dirinya atau suatu kesempurnaan di luar dirinya, lalu naluri cinta dirinya membangkitkan hasrat untuk mengatasi kekurangan itu atau mengejar kesempurnaan tersebut.
Hasrat dan motif itu beragam, sebanyak sumbernya; tuntutan-tuntutan fisiologis, kecenderungan-kecenderungan instingsial, tendensi-tendensi emosional, yang semuanya serpihan-serpihan dari sebauh naluri, yaitu ingin kekal dan serba sempurna. Singkat saja, cinta diri (Hubbul al-dzat).
Maka, manusia hanya akan menginginkan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan naluri cinta diri. Dan sebaliknya, ia tidak akan terdorong untuk melakukan tindakan yang mengancam kelanggengan hidupnya, mengurangi atau menjauhkan kesempurnaan dari dirinya. Bahkan, seorang yang menelan obat pahit atau menyerahkan tubuhnya untuk dibedah, ia tidak sedang merugikan dan mencelakakan dirinya. Ia menghendaki rasa pahit dan dan nyeri karena kecintaannya pada diri sendiri untuk tetap sehat dan kembali pulih. (Al-manhajul Jadid fi Ta’limil Falsafah, M.T.Misbah Yazdi, Jamiah Mudarrisin, Qom, 1409 HQ, 2/108) Sekiranya tidak ada kekurangan dan kesempurnaan, atau ada tetapi ia tidak tahu dan tidak pula menyadarinya, niscaya ia tidak pernah akan terdorong dari dalam dirinya untuk melakukan tindakan sengaja, apapun.
Oleh karena itu, manusia secara sengaja bertindak karena cinta dirinya dan demi kepentingan diri sendiri (self-interested).
Kecenderungan mementingkan diri sendiri pada kodrat manusia merupakan manifestasi yang sedemikian nyata dari nalurinya yang esensial, yaitu cinta diri. Tidak ada manusia yang benci pada diri sendiri. Seekstrim itu pula kesadaran kita menolak manusia yang tidak cinta juga tidak benci pada diri sendiri. Sebagai sebuah kesadaran, naluri dan kecenderungan itu cukup nyata dan gamblang dari balik penghayatan dan tinjauan dari dalam lubuk.
Maka itu, manusia adalah makhluk yang cinta diri sendiri. Ia bertindak seegois ia berpikir. Kenyataan inilah yang laik untuk menuntaskan pertanyaan kedua terdahulu, “Apakah pelaku?”.
(Al-Maidah: 105, Al-Hasyr: 18)

Kepentingan Pribadi
Mengulang konklusi terakhir tadi, bahwa manusia bertindak demi kepentingan diri sendiri. Kata ‘demi’ tadi menekankan bahwa apapun tindakan manusia pada akhirnya berujung pada pemenuhan kepentingan dirinya. Yakni, tujuan tindakannya adalah kepentingan diri sendiri.
Meski demikian, tidak terlalu sulit menunjukkan sejumlah kasus insani yang dengan jelas mengingkapkan kepada kita bagaimana mereka melakukan pengorbanan umur dan hidupnya demi selainnya. Dalam kasus semacam ini, jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali, begitu jarang kita temukan adanya keuntungan pada diri pelaku di balik pengorbanannya, selain kekurangan, kehilangan dan ketiadaan. Maka, tidak semua tujuan dan akhir tindakan itu identik dengan kepentingan pribadi.
Lain dari sekadar kritik, sesungguhnya catatan di atas ini cukup membantu mengarahkan kita pada aspek intensitas pelaku dalam memperjelas identisitas tujuan tindakan dan kepentingan pribadi. Artinya, pengorbanan dan tindakan semacamnya yang dilakoni seseorang karena gelinjang emosi atau romantisme idealisme pada akhirnya untuk memuaskan gelinjang itu dan mencapai idealismenya. Maka motif dasar pelaku adalah memenuhi kepentingan pribadinya dan meraih segala kebaikan untuk dirinya. Hanya saja, motif ini tidak begitu disadarinya, atau bahkan sama sekali tidak pernah terlintas pada kesadarannya. Kenyataan itu segera tergubah pada benak pikirannya ketika pelaku dihadapkan pada pertanyaan, “Mengapa anda melakukan pengorbanan demikian itu?”. Karena hatiku terpanggil, terenyuh, terbakar. Karena pengorbanan yakni keutamaan dan idealisme insani. Karena ia mendatangkan pahala dan ridha ilahi (Al-Manhajul Jadid fi Ta’limil Falsafah, M.T.Misbah Yazdi, 2/111). Semua karena ini menunjuk pada motif-motif subjektif pelaku; menenangkan hatinya, memuaskan dirinya dengan kasih sayangnya kepada selainnya, meraih keutamaan, pahala atau ridha Tuhan. Ternyata motif-motif itu hanya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.
Jadi, tujuan pengorbanan dan pembaktian diri yang dilakoni oleh banyak manusia pada hakikatnya pemenuhan kepentingan dan keuntungan pribadi, kendati pelakunya kehilangan intensitas dan kepedulian terhadap tujuan dasar ini. Tampaknya, tidak ada satu manusia yang melakukan pengorbanan memaknai tindakannya identik dengan kekurangan, kehilangan, apalagi ketiadaan.
Allamah Muhammad Husein Thabathabai mengatakan, “Kendati tujuan tindakan secara prima facie (dalam tinjauan awalnya) kadangkala memuaskan pelaku, atau objek tindakan ataupun selain keduanya. Namun, dalam tinjauan cermatnya, tujuan tindakan selalunya memberikan keuntungan dan kepuasan kepada pelakunya. Seseorang yang berbuat kebajikan kepada seorang fakir (dengan tujuan) supaya si fakir itu mendapatkan kepuasan dari perbuatan bajiknya, pada dasarnya ia merasakan kepedihan dalam dirinya dari menyaksikan kesengsaraan dan keprihatinan hidup si fakir. Maka itu, dengan perbuatan bajiknya ia ingin menghilangkan rasa pedih tersebut dari dirinya. Begitu pula, seorang musafir yang berjalan menuju suatu tempat (dengan tujuan) untuk beristirahat di sana, seseungguhnya ia ingin membebaskan dirinya dari kelelahan jasmani yang dirasakannya.” (Nihayatul Hikmah, Jamiah Mudarrisin, Qom, hal. 183).
Maka, titik akhir atau tujuan tindakan manusia adalah kepentingan dirinya sendiri.
Dengan demikian, karakter kedua ini cukup untuk menglarifikasi pertanyaan kunci terdahulu, yakni “Apakah tujuan?”.

Kebernilaian
Sebuah perbedaan penting di antara tindakan sengaja dan tindakan tak sengaja, bahwa hanya tindakan sengaja bermuatan nilai; baik atau buruk.
Kebaikan dan kejahatan atau keburukan adalah dua makna berbeda, berlawanan. Tentu, penilaian dan pengenalan atas tindakan diri pelakunya dengan dua makna itu bukanlah basa-basi. Begitu pula, rasa bangga, senang atau rasa hina dan sesal pelaku yang dinilai tidak sekadar ‘ah, perasaan anda saja’, karena penilaian tersebut bukan tanpa alasan, bukan tanpa dasar. Unsur kesengajaan pada tindakan itulah yang melandasi penilaian, yakni pengetahuan, keinginan, kehendak dan kemampuan pelakunya.
Maka dari itu, tindakan sengaja yaitu tindakan yang bernilai; baik atau buruk.

Gambar no.3

Kebernilaian ini merupakan poin signifikan yang membedakan tindakan sengaja dari tindakan tak sengaja. Ngantuk, ngigau, kelepasan kentut, degupan jantung, minum secara dipaksa, terdengarnya sesuatu adalah sebagian misal tindakan tak sengaja yang nirnilai (zero value), tidak bernilai baik atau buruk.
Permasalahan yang muncul di sini adalah “Apakah tindakan sengaja yang baik dan tindakan sengaja yang buruk?”.


1. PENGETAHUAN
Dengan pertanyaan di atas ini kami akan memulai studi atas keyword pertama, yaitu pengetahuan manusia berkenaan dengan tindakan sengaja. “Apakah tindakan sengaja yang baik dan tindakan sengaja yang buruk?”. Bisa disederhanakan menjadi, “Apakah kebaikan, apakah keburukan?”.

1.1. Esensi Kebaikan dan Keburukan
Terdapat beberapa pengertian baik dan buruk yang pernah diajukan khususnya oleh kalangan teolog muslim, hal yang menandakan keseiusan persoalan, sehingga memaksa mereka memberikan kejelian yang lebih tajam, untuk memperjelas dan mengidentifikasi topik polemik mereka berkaitan dengan Keadilan Ilahi. Setidaknya, ada tiga definisi kebaikan dan keburukan yang bertebaran dalam literatur teologi;
kebaikan yaitu sesuainya kecondongan jiwa pada sesuatu.
kebaikan yaitu sesuainya sesuatu dengan tujuan aslinya
kebaikan yaitu tersanjungnya sesuatu, dan keburukan/kejahatan yaitu terhujat dan terkutuknya sesuatu.

Tanpa harus tergesa-gesa menganalisis semua definisi di atas, kita akan menempatkan definisi terakhir itu sebagai acuan kajian, untuk dianalisis kemudian dikomparasikan dengan definsi lainnya.
Secara prima facie, sekali lagi, kebaikan adalah tindakan yang tersanjung. Dan, keburukan adalah tindakan yang terhujat. Jelas, pengertian ini tidak lebih dari syarhul ism (leksikal). Tapi juga, terlalu dini berusaha mencari pengertian yang lebih detail sebelum menuntaskan permasalahan ontologis (haliyyah basithah) berikut ini; “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”

1.2. Realitas Kebaikan dan Keburukan
Dari pengertian di atas tadi jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah nilai praktis bagi tindakan. Jika dituangkan ke dalam bentuk statemen, kebaikan dan keburukan akan merebut posisi predikat. Misalnya, menolong adalah baik, keadilan adalah baik. Sikap acuh adalah buruk, kedzaliman adalah buruk.
Masalahnya, “Bagaimana manusia mengetahui tindakan ini baik dan tindakan itu buruk?”. Jelasnya, “Mengapa keadilan itu dinilai baik, sementara kedzaliman itu dinilai buruk?”. Di sini, baru saja kita menyimak cikal bakal satu polemik menarik di kalangan teolog dan filsuf moral. Masalah ini pula yang sanggup membantu kita mengklarifikasi permasalahan ontologis itu.
Ada yang memandang bahwa kebaikan adalah tindakan yang dikehendaki dan diperintah oleh si suatu pihak. Sedangkan keburukan adalah tindakan yang tidak dikehendaki atau dilarangnya. Jadi, keadilan itu baik karena sesuai dengan kehendak dan selera pribadi pihak, begitupula kedzaliman itu buruk karena tidak sesuai dengan kehendak dan seleranya. Baik atau buruk hanya produk selera dan kehendak subjektif. Kedua nilai ini tidak ada kaitannya dengan realitas objektif, tetapi bergantung kepada selera subjektif. Dan, manusia, dengan perangkat pengetahuan yang dimilikinya, tidak bisa mengetahui kebaikan atau keburukan suatu tindakan. Oleh karena itu, ‘keadilan adalah baik’ atau ‘kedzaliman adalah buruk’ adalah dua statemen deklaratif (khabariyah)[1] yang tidak berfakta, dan tentunya tidak pula bisa dinilai benar atau salah. Karena itu pula, statemen di atas semestinya diungkapkan ke dalam bentuk normatif (insyaiyah); “Bersikap adillah!” dan “Jangan berlaku dzalim!”.
Dengan pendekatan ini, pandangan yang dalam tradisi teologi Islam dikenal dengan nadzariyah “Al-husnu wal-qubhus Syar’i” meyakinkan kepada kita bahwa kebaikan dan keburukan tidak ada objektifitasnya, tidak ada fakta riel di luar, dan akal manusia tidak bisa mengetahuinya secara objektif, karena kebaikan dan keburukan bergantung pada kehendak dan selera subjektif. Pandangan ini menjawab negatif atas pertanyaan “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”.
Siapakah pihak otoriter itu? Kehendak dan selera siapakah yang berhak menentukan nilai tindakan? Adalah pertanyaan singkat yang membedah-bedah tubuh pandangan Nonkognitifisme di atas. Kaburnya personifikasi pihak otoriter melahirkan friksi-friksi, mulai dari Imperativisme, Preskriptivisme, hingga Volunterisme teologis, belum lagi yang berkembang di dunia teologi umat muslim seperti tersebut salah satunya di atas tadi.
Kekaburan itu lebih mengalutkan lagi tatkala kehendak dan hasrat penyampai tidak atau belum tertangkap audeins (pelaku). Selama pihak otoriter itu tidak berkehendak atau tidak menerangkan kehendaknya, selama itu pula manusia tidak tahu akan nilai dan penilaian. Tentunya, tidak ada tindakan yang bisa dinilai baik buruknya oleh si pelaku (?!).
Akhirnya, pandangan ini secara naif menyelaraskan dirinya dengan relatifitas nilai. ketika kebaikan dan keburukan ditentukan oleh kehendak dan hasrat penyampai, ketika itu pula kedua nilai tindakan itu menjadi tidak menentu dengan beragamnya penyampai dan berubah-ubahnya kehendak dan hasrat. Ini artinya memberangus nilai-nilai itu sendiri.
Sebagai lampiran saja, dengan dasar apa harus dipatuhi kehendak subjektifnya?
Yang perlu disadari di sini adalah bahwa kalimat normatif itu bisa kompromi dengan kalimat informatif. Ambil sebuah misal dari anjuran dokter! “Pak! Minumlah obat ini supaya sembuh!”. Kalimat normatif ini hendak menjelaskan hubungan kasualitas (dzarurah bilqiyas; keniscayaan saling) antara meminum obat dengan kesembuhan pasien. Artinya, selama tindakan meminum (sebab) itu tidak dilakukan, niscaya akibatnya (kesembuhan) tidak akan terjadi. Maka, tindakan meminum mesti dan harus dilakukan pasien untuk mendapatkan kesembuhan.
Jadi, dokter itu tidak begitu saja memberikan anjuran, tanpa alasan objektif mengeluarkan perintah dan penekanan. Dokter tidak sedang basa basi atau melakoni formalitas dalam memeriksa dan mendiagnosa pasien. Sesungguhnya, dengan kalimat normatif itu ia hendak menunjukkan suatu fakta, yaitu hubungan riel dan objektif yang ada dan ia temukan di antara tindakan meminum obat dan kesembuhan pasien. Tentunya, kalimat itu juga bermuatan nilai benar dan salah, yaitu sesuai atau tidaknya kalimat tersebut dengan fakta di luar.
Dengan pendekatan di atas, maka “Berbuat-adillah!”, “Jangan berbuat dzalim!” dan kalimat normatif senada ini menyingkapkan fakta, yakni hubungan kausalitas yang khas, riel dan objektif antara tindakan-tindakan itu dengan dampak-dampaknya sebagai tujuan pelaku. ‘Berbuat-adillah!’ menjelaskan bahwa keadilan adalah tindakan yang berdampak positif, yaitu mengarahkan pelaku kepada tujuannya. Tindakan yang berdampak positif inilah sebagai kebaikan. Maka, ‘Berbuat-adillah!” ungkapan lain dari ‘Keadilan adalah baik’.[2] Tentu, sebagaimana ‘keadilan adalah baik’ berfakta; bermuatan nilai teoritis (benar; sesuai dengan realitas objektifnya, dan salah; tidak sesuai dengan realitas objektif), ‘Berbuat-adillah’ juga berfakta. Fakta atau realitas objektif kedua ungkapan itu adalah relasi kausalitas (dharurah bilqiyas) yang ada di antara dampak positif keadilan dan tujuan pelakunya.
Jadi, analisis semantik ini menjawab positif atas pertanyaan “Adakah kebaikan”. Kebaikan itu ada, ia tidak punya ketergantungan kepada hasrat dan kehendak subjektif. Dikehendaki atau dibenci, kebaikan itu ada, yaitu relasi keniscayaan antara tindakan dengan dampak/tujuan yang diinginkan pelaku. Manusia hanya berusaha menemukan fakta yang ada.
Demikian itu mendekatkan cara penanganan yang didasari pada uraian-uraian terdahulu atas pemasalahan. Yakni, merujuk kepada poin kedua dan ketiga di pembahasan tindakan sengaja, bahwa manusia bertindak karena cinta dirinya (egoisme) dan demi keuntungan diri sendiri (self-interest), dan bahwa keuntungan pribadi itu adalah tujuan tindakan sengaja. Keuntungan atau tujuan adalah sesuatu yang dapat memenuhi tuntutan naluri cinta diri. Di sini, ada relasi khas di antara naluri cinta diri dan sesuatu itu. Akal bisa mempersepsi relasi khas itu dengan cara komparasi. Jika relasi itu berupa pemenuhan dan pemuasan sesuatu atas naluri cinta diri, maka tindakan yang mengarahkan si pelaku kepada sesuatu yang memuaskan itu adalah tindakan baik. Namun, jika relasi itu berupa pengurangan dan pengecewaan, maka tindakan yang mengarahkan pelaku kepada sesuatu yang mengurangkan dan mengecewakan itu adalah tindakan buruk.
Misalnya, keadilan pasti baik (kalimat informatif), karena dampak tindakan ini positif; membawa pelaku kepada tujuan dan keuntungan pribadinya, yaitu sesuatu yang memuaskan naluri cinta diri. Di sini, tampak jelas adanya kompromi di antara kalimat informatif dan kalimat normatif. “Berbuat-adillah!” bisa diungkapkan secara afimatif menjadi “Keadilan adalah baik”, begitupula sebaliknya. Maka, sekali lagi, akal menjawab positif atas pertanyaan “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”.[3]
Dengan uraian ini, jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah konsep yang ditemukan akal dari komparasi dan pengamatannya terhadap hubungan khas antara tindakan manusia dan dampak atau tujuannya. Manusia, dengan akalnya, mampu mengetahui, secara objektif, baik atau buruknya suatu tindakan lewat komparasi dan pengamatan tersebut. Demikianlah uraian-uraian terdahulu itu menjawab permasalahan “Bagaimana manusia mampu mengetahui baik buruknya tindakan?”.
Permasalahan selanjutnya adalah, “Apakah tujuan manusia?”, “Apakah keuntungan yang diharapkan manusia di balik tindakannya?

1.2. Sebuah Pandangan
Sebagaimana yang telah ditegaskan bahwa tujuan tindakan sengaja manusia adalah egoisme; yaitu keuntungan diri sendiri. Laksananya, tujuan dan keuntungan adalah domain yang membuka lebar site-site pemaknaan, seiring dengan sekian hasrat manusia yang berbeda-beda, sebanyak tampilan naluri cinta diri pada setiap kepala. Kendati demikian, semua tujuan atau keuntungan bisa disederhanakan dalam satu kata; kesempurnaan. Maka, segala tujuan yang diharapkan manusia pasti kesempurnaan.
Tiga abad silam, situs emotivisme telah diluncurkan Adam Smith. Di dalamnya, ia menekankan tenggang rasa atau cinta sesama sebagai motifasi bertindak. Motifasi inilah yang bisa memuaskan dan menjaga perasaan sesama. Maka, kepuasan orang lain adalah kesempurnaan dan tujuan tindakan manusia.
Jadi, tindakan yang bermotifasi cinta sesama adalah tersanjung, karena tindakan yang demikian membantu pelaku untuk mencapai tujuannya, yaitu perasaan orang lain. Kasih sayang, menghormati, tolong menolong, berbuat baik, adalah tindakan-tindakan baik, karena dapat memuaskan orang. Sebaliknya, tindakan yang bermotifasi cinta diri (egois) pasti terhujat, karena dengan motifasi ini, ia tidak akan bisa menjaga perasaan orang. Ini artinya menentang tujuan pelaku.
Smith menegaskan bahwa tindakan sengaja ini mesti bersifat sosial, pelakunya di dalam interaksi sosial. Maka, tindakan dan kehidupan individual manusia kekosongan nilai, tidak ada kebaikan atau keburukan di dalamnya. Lalu, logika apa yang diterapkan dalam kehidupan individual? Mungkin anak-anak Smith yang menuntaskannya.[4]
Sayangnya, ia tidak menjelaskan alasan memilih motif emosional (tenggang rasa, kasih sayang, dll.) diangkat sebagai norma pencapaian tujuan, sementara ada motif-motif lain seperti insting dan naluri pada diri manusia. Bahkan, iapun tidak menuturkan alasannya mengklaim kepuasan orang lain sebagai tujuan pelaku.
Ajaibnya, ia malah menganjurkan tindakan yang bermotif tengang rasa, padahal Ridhonnaas ghoyatun la tudrok. Ketika Bertrand Russell membedakan manusia dengan binatang berdasarkan hasrat batinnya yang tak terbatas,[5] Smith masih ‘berkhayal’ sanggup mengisi hasrat demikian itu dengan kemampuannya yang, tentunya, terbatas. Ingat! Hasrat itu bukan satu warna tok! Banyaknya sejumlah sidik jari manusia. Kalau tenggang rasa itu masih mungkin di hadapan merah dan orange (?!), maka ia menjadi mustahil di hadapan hitam dan putih, untuk tidak bersikap munafik.
Konyolnya, ia bahkan memandang motif naluri cinta diri, yang merupakan induk motif-motif lain, termasuk motif cinta sesama, sebagai awal keburukan. Jika anak-anak Smith itu ditanya “Mengapa anda berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrim?” ia tangkas menjawab, “Karena cinta sesama, menjaga perasaannya supaya tidak terlukai.” Romantis sekali! Namun, jika dicecar, “Mengapa perasaannya tidak boleh terlukai?”, mungkin sebagian mereka akan berbisik-bisik satu sama lain, “Ya, kalau perasaan dia terluka, perasaan-ku juga terluka, .” Sementara sebagian lainnya tampil intetektualis, “Bukan itu, tapi karena kemanusiaan, setiap manusia (termasuk aku) ingin perasaan dirinya terjaga”. Yang lebih anggun lagi, penampilan agamis; “bukan itu, tapi karena agama-Ku, mazhab-Ku, atau akhlak-Ku menganjurkannya”. Ternyata, mereka semua terjerat kata ‘ingin diri’ dan ku itu. Sedangkan kata kemanusiaan tidak berarti tatkala induk ayam mengurung anak-anaknya dengan kedua sayapnya dari intaian elang. Cinta sesama masih bisa kita lihat pada binatang.
Akhirnya, pada titik yang paling mengenaskan, tidak ada satupun dari mereka yang boleh mengomentari kritik apapun, dari siapapun, apalagi mengulangi ayat-ayat sang bapak, karena akan melukai semua orang yang berbeda pandangan. Mereka hanya punya dua pilihan, satu dari Apicurus, sang skeptis sejati, untuk bungkam mulut sambil esktasi dalam ataraxia, dan satu lagi dari mutasawwif untuk mengeram di menara gading sambil menanti nirvana.

Macam Tujuan
Dari kesadaran di atas, kita temukan bahwa cinta sesama dan kepuasan selain tidak bisa dipatok jadi norma nilai tindakan. Cinta diri masih lebih pantas untuk diangkat sebagai norma dan tujuan, karena ia menjadi landasan, bukan hanya untuk cinta sesama, tetapi untuk emosi dan insting lainnya. Aljam’ mahma amkan aula. Cinta sesama hanya mampu menempatkan dirinya sebagai media-tujuan.
Dengan demikian, ada dua macam tujuan; pertama, aditujuan, yaitu tujuan akhir yang sejati dan sesungguhnya di balik semua tindakan sengaja, dan kedua, media-tujuan, yaitu tindakan sengaja yang mendekatkan pelaku kepada aditujuan.
Maka, pertanyaan yang mesti dicermati adalah “Apakah aditujuan hidup manusia?”. (Gambar no.4)

Aditujuan
Tidak syak lagi, bahwa akal manusia mampu mengetahui baik buruknya suatu tindakan lewat komparasi dan pengamatannya terhadap relasi tindakan tersebut dengan tujuan (baca: aditujuan) pelakunya.
Tanpa lutayya wallati, aditujuan itu –sekali lagi- ialah kesempurnaan terbesar. Lagi-lagi, kesempurnaan adalah kata yang memberikan peluang pemaknaan beragam. Manakah pemaknaan yang benar? Manakah kesempurnaan terbesar manusia? Pertanyaan ini bukan lagi praktis, tapi lebih merupakan teoritis. Di sinilah kita temukan garis sambung antara tindakan dengan pemikiran, atau -meminjam istilah Syariati- antara ideologi dengan pandangan dunia.[6]
Merujuk kepada data-data teologis yang berketuhanan dan berketauhidan, bahwa kesempurnaan yang hakiki, mutlak dan tak terbatas adalah Tuhan (Q. 22/64). Dialah dzat yang maha esa, maha kaya, dan pemurah wujud kepada makhluk-Nya (Q.35/15). Dialah rabbul alamiin, maha pengatur , maha pemelihara, pemilik mutlak, penguasa dan pemerintah mutlak. Maka, kedekatan diri dan perjumpaan dengan Tuhan adalah kesempurnaan terbesar manusia (Q.53/42-Q.84/6). (lihat Nihayatul hikmah p.185)
Merujuk kembali ke kesimpulan-kesimpulan terdahulu, bahwa secara subjektif manusia selalunya cinta diri sendiri. Cinta diri adalah naluri induk bagi kecenderungan dan tendensi batin lainnya. Ia adalah sumber hasrat, keinginan dan dorongan batin lainnya untuk bertindak.
Pada karakternya paling menonjol, naluri ini tidak pernah puas dengan kenikmatan terbatas (QS.70:19-21). Ia selalu menuntut yang lebih dari kepuasaan terakhir yang digenggamnya. Seabrek kenikmatan yang diraih tidak membuatnya tuwuk. Tuntutannya malah semakin menjadi-jadi,[7] hingga menembus langit-langit keterbatasan. Ia membangkitkan penantian dan hasrat yang tak terhingga. Ia cenderung kepada kesempurnaan yang absolut (QS.100:8). Maka, perjumpaan dengan kesempuranaan demikian itu adalah kepuasaan terbesar bagi naluri cinta diri setiap manusia.
Jadi, manusia secara objektif dan subjektif, dapat melacak kesempurnaan terbesarnya, yaitu perjumpaan dengan sumber wujudnya.
Permasalahannya adalah bisakah manusia merealisasikan perjumpaan itu? Bisakah ia meraih kepuasan dan kesempurnaan terbesar yang diketahuinya itu?

Pencapaian Aditujuan
Adalah percuma mencari dan menentukan sesuatu sebagai aditujuan kalau ternyata tidak bisa diraih. Tidak realistis. Jelas, bahwa mengetahui saja, tanpa bisa menikmati hanya akan menyisakan penantian merana, hasrat buta dan putus asa.
Kemahabijaksanaan dan kemahapedulian Tuhan tidak melazimkan naluri cinta diri sebagai sarana vital kehidupan manusia menjadi sia-sia, fungsinya menjadi sumber penderitaan mendalam. Sebaliknya, sebagai amanah Tuhan yang disisipkan dalam diri manusia, ia adalah anugerah dan sumber berkah dam hidupnya.
Maka, Hikmah dan Inayah ilahi memungkinkan manusia memenuhi tuntutan egonya yang paling besar, sehingga bisa menemukan dan menggenggam kesempurnaan terbesar yang dikuaknya. Dengan kata lain, ia dapat meraih kesempurnaan terbesar dan perjumpaannya dengan sumber wujud.
Jadi, manusia tahu aditujuannya, dan ada naluri yang memotifasi pencapaian aditujuan, serta mampu merealisasikannya. Jelas, bahwa pencapaian demikian ini adalah tindakan sengaja yang bernilai baik dan tersanjung.
Dengan demikian, perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan (liqoo-ulloh) adalah aditujuan dan kesempurnaan nec plus ultra wujudnya. Dan, tindakan sengaja yang dampaknya mendongkrak pelaku menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan Tuhan, adalah tindakan baik. Sebaliknya, tindakan sengaja yang dampaknya menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan buruk. [8] (Gambar no.5)
Permasalahannya adalah bagaimana manusia berjumpa dengan kesempurnaan terbesarnya?

Kehidupan Egoistis
Mengamati cinta diri pada tataran fungsional dan aplikatifnya, naluri ini menjadi sumber pergesekan dan benturan, sebanyak komponen umat manusia. Cinta diri menciptakan tuntutan, hasrat, kebutuhan, kebebasan yang seluas-luasnya pada image manusia. Cinta diri mendorong setiap empunya melibatkan apa saja di sekitarnya yang bisa memenuhi kebutuhan dan memuaskan tututannya. Sehingga, menjadi mustahil bertahan hidup dalam kesendirian. Kodratnya menghukum dirinya sebagai political animal, sehingga ia terpaksa mengadakan kontrak sosial dengan selainnya, dan tak segan-segan melibatkan sesamanya demi kepentingan cinta diri sendiri. Dari cara yang paling sopan sampai modus yang paling sadis, layaknya Hanibalisme, Vandalisme, hingga Homo momini lupus dalam bentuknya yang transparan seperti Macheavellisme, atau bentuk yang licik dan terselubung semisal Demokrasi, Liberal, Perdamaian, HAM, dll. Maka, ada perebutan kepentingan yang mau tidak mau mesti dijalani umat manusia, dimanapun, kapanpun.
Perebutan itu bukan hanya antarkomponen umat, tetapi antarumat dan komponennya sendiri. Jelas, ada adu dua kepentingan hidup; kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Berkorban demi kepentingan umum menjadi tidak berarti, karena naluri cinta dirinya tidak membiarkan kehilangan kesempurnaan sedikitpun dari dirinya.
Berdasarkan cinta diri, setiap manusia selalunya mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.
Dilema sosial dan egosentrisme ini tidak akan bisa diselesaikan oleh atau dipercayakan kepada institusi sosial atau perangkat kekuasaan, karena keduanya produk sekawanan manusia yang masing-masing juga cinta diri. Segala chaos yang terjadi di dunia ini adalah berkah kekuatan dan kebebasan egoisme, sebuah naluri yang terpatri dalam kodrat manusia.[9] Sejarah peradabannya tidak pernah memberikan laporan yang bisa menekan tensi anxiety, selain manipulasi dan pembodohan fakta. Ketika Demokrasi, Modernitas dan Globalisasi dianggap peradaban manusia terunggul, umat manusia, secara sadar atau terpaksa, tengah menyimak fariabel pemalsuan riwayat hidup mutakhirnya.

Cinta Diri dan Agama
Apakah manusia ditakdirkan menjalani sepanjang hidupnya di atas garis kesengsaraan yang disebabkan cinta dirinya sendiri? Adalah standar ganda alami yang mengistimewakan semut, lebah atau bahkan serigala di atas manusia? Haruskah manusia hancur karena kodrat dan nalurinya sendiri?
Adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggeledah naluri cinta diri itu sendiri, untuk segera sadar dan mengekang tuntutan, hasrat, kebutuhan dan kebebasannya sampai pada batas yang bisa mempertahankan eksistensinya, sebelum memutuskan memilih Nihilisme. Artinya, manusia dengan naluri cinta dirinya didudukkan pada tiga pilihan; mengulur tuntutan, hasrat dan kebebasan nalurinya tanpa batas yang berarti pemberangusan diri sendiri, atau membuang tuntutan dan hasrat itu dengan mencerabut naluri sebersih-bersihnya dari dalam kodrat manusiawi, atau menariknya sampai pada dinding-dinding (baca: Kapitalisme, Sosialisme, dll.) yang bisa melindungi diri dari benturan dan kehancuran.
Mungkin bukan kegegabahan membiarkan naluri cinta diri mengarahkan kecenderungannya kepada pilihan ketiga. Naluri ini masih terpuaskan di bawah bayangan teduh dinding itu, kendati harus menahan gelinjang sekian hasrat dan ledakan sejumlah tuntutannya.
Namun, kalau hanya terpuaskan secara temporal dan terbatas, maka segala kepuasan yang didapatkan naluri di balik dinding itu tak ubahnya crack. Sitir Maulana Rumi, betapa banyak yang mencapai harapannya, seketika itu mereka sadar dengan kesulitan lain. Bagaimanapun dinding itu, dibangun sekokoh, seindah dan semegah mungkin, kalau konsrtuktornya adalah manusia yang cinta diri dan hanya untuk di dunia yang serba terbatas ini, niscaya dinding itu keropos, rapuh dan pasti roboh. Bayangannya tidak akan lama menaungi, keteduhannya segera pudar. Keindahan dan kemegahannya jadi nihil dan tidak berarti bagi naluri yang cenderung mengejar kepuasan yang tak terbatas; yaitu sebuah kepuasan yang realistis yang bisa direalisasikannya.
Di sini, tampak kegegabahan membiarkan naluri cinta diri mengarahkan kecenderungannya kepada pilihan ketiga, apalagi kepada dua pilihan konyol sebelumnya. Lalu, di manakah kepuasan tak terbatas yang bisa diraih itu?, sampai kapan naluri berlindung di balik dinding rapuh? Haruskah manusia hancur karena hancurnya dinding itu?[10]
Untuk kedua kalinya kita temukan kembali benang sambung antara pandangan dunia sebagai pandangan dunia sebagai sistem keyakinan (belief system) dan ideologi sebagai sistem nilai (value system).
Tuhan yang maha bijaksana, Rabbul aalamiin, maha pemelihara dan pengatur semata, tidak akan menyia-nyiakan kehidupan makhluknya. Dialah dzat yang maha peduli. Dia turunkan agama untuk manusia, tanpa melecehkan atau membasmi naluri cinta dirinya.
Bahkan, Agama mengembangkan naluri itu dengan memaknai kepentingan secara lebih luas; kepentingan dunia dan akhirat.[11] Addunya mazro’atul akhiroh; dunia adalah ladang, dan akhirat adalah hasil. Dunia adalah pabrik, dan akhirat adalah produk.
Agama menekankan bahwa kepentingan akhirat adalah khoirun wa abqo. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak berkorban demi masyarakat. Tidak ada alasan lagi untuk tidak menghormati dan berperilaku baik dengan sesama. Karena, pengorbanan dan penghormatannya itu bukan lagi kehilangan, tetapi demi keuntungan dirinya yang besar, waridhwaanulllohi akbar.
Agama memberikan konsep tentang untung dan rugi dalam porsinya yang tak terhingga besarnya ketimbang ukuran materi dan perhitungan bisnis.
Di dalamnya, kesulitan jadi jalan kemudahan, kerugian demi sesama kaum muslim, sesama umat beragama, sesama masyarakat, semua itu jadi jalan keuntungan, dan peduli terhadap kepentingan orang lain adalah jaminan kepentingan dirinya sendiri di kehidupan yang lebih sempurna dan unggul.
Agama menggugah naluri; “janganlah kau mengira mati mereka yang mengorbankan nyawa di jalan Allah, mereka bahkan hidup di sisi Tuhan sambil menikmati (limpahan) rejeki-Nya”.
Agama mampu membuka cakrawala kehidupan yang bisa ditatap naluri lebih tajam, lebih dalam, lebih luas, sejauh jangkauan tatapannya. Agama mampu mengoptimalkan tuntutan cinta diri yang tak terbatas, meledakkan hulu hasrat dan mengebor habis motifasi dari dalam jiwa untuk bertindak enerjik dan mengejar keuntungan yang tak terhingga. Kata Syahid Baqir Shadr ra.: Risalatul Islam stauriyyatul fikroh.[12] (Gambar no.6)
Di sinilah puncak keindahan. Ada ijma di antara akal, naluri dan agama.[13] Ada selisih kecil, agama mengganti motif itu dengan sebutan ‘niat’. La musyahata fil ishthilaah.

Dua Pilar Tindakan Baik
Sekadar mengulang, bahwa motif atau niat tindakan yang sesungguhnya adalah meraih keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri, yaitu liqo-ullah. Dan tindakan sengaja yang dilakukan dengan motifasi selain perjumpaan dengan Tuhan, bukanlah kebaikan yang baik dan tersanjung, kendati tindakan itu dinyatakan oleh akal sebagai kebaikan. Hipokrasi, dalam bentuk riya atau penghianatan, adalah keburukan yang terhujat, kendati dzahir tindakan itu (solat, sedekah, setia kawan, dll) dinilai akal sebagai kebaikan. Secara dzahir, infak dan sogok adalah sama. Yang membedakan keduanya adalah motifasi/niat.
Tidaklah pantas kaum kafir itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui kekafiran mereka sendiri, itulah orang-orang yang sia-sia tindakannya dan mereka kekal di neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah merekalah yang beriman kepada Allah dan akherat, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah oang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat hidayah. Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada para panunai haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan akherat serta berjuang di jalan Allah? Sungguh mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak akan memberikan hidayah kepada kaum dzalim. (At-Taubah 9:17-19)[14]
Maka, tindakan yang baik terdiri atas dua pilar: pertama, secara objektif, diketahui akal dapat mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya, dan kedua, secara subjektif, dimotifasi oleh cinta diri yang tak terbatas, yaitu liqo-ulloh.
Dengan ungkapan lain, tindakan itu menjadi tersanjung, tatkala akal menilainya baik (husn fi’li: baiknya tindakan), dan dilakukan berdasarkan motifasi perjumpaan dengan Tuhan sebagai penyaluran naluri cinta dirinya yang tak terbatas (hus fa’ili: baiknya pelaku).

Esensi Kebaikan dan Keburukan
Tentu, di sini perlu dibubuhkan unsur motifasi ke dalam pengertian tindakan baik dan tersanjung atau buruk dan terhujat yang tersebut sebelum dua tema di atas. Maka, tindakan baik dan tersanjung adalah tindakan sengaja yang lahir dari motifasi ‘liqo-ullah’ dan yang dampaknya dapat mengangkat pelakunya menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan Tuhan. Sebaliknya, tindakan sengaja yang lahir tidak dari motifasi itu atau dampaknya menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan terhujat.
Agama menyebut pilar objektif tindakan dengan amilus-sholihat, yang selalu membuntuti Amanuu sebagai ungkapan dari pilar subjektif tindakan. Ini menegaskan kesimpulan bahwa kedua pilar itu tidak bisa dipisahkan dari tindakan yang baik dan tersanjung. Kehilangan satu pilar adalah ketiadaan nilai tindakan sengaja.
Pilar objektif adalah dimensi dzahir tindakan sengaja, dan pilar subjektif adalah dimensi batin. Memilih salah satunya, misalnya mendahulukan motifasi cinta sesama dan tenggang rasa tanpa peduli dengan dimensi dzahir dan implementasinya, ini sama artinya memisahkan kedua pilar itu, yang pada gilirannya tindakan sengaja itu kehilangan nilai positifnya. Dimensi lahir tindakan adalah perlu, seperlu dimensi batin.[15]

Keserasian Dua Pilar
Baru saja ditegaskan bahwa tindakan baik dan pelaku baik adalah dua pilar tindakan baik yang tersanjung; yang mendekatkan pelaku kepada aditujuannya. Keduanya selalu bersanding dan intim. Tentu harus ada kesesuaian di antara mereka. Kata orang Latin, “Non omnis fert omnio tellus”. Tidak semua tanah menghasilkan segala sesuatu. Padi tidak akan tumbuh di padang pasir. Begitupula, tidak semua tindakan baik akan terjadi dengan segala niat dan motif untuk mencapai aditujuan. Juga sebaliknya, tidak semua motifasi baik jadi alasan melakukan segala tindakan. Katanya filsuf, mesti ada sinkhiyyah (koherensi).
Maka, belajar dengan motifasi persaingan duniawi, misalnya, adalah tindakan buruk. Atau, motifasi pengalaman ruhani dengan sungkem kepada arca Humanisme, misalnya, juga tindakan buruk. Annatijah tabiah liakhasshil muqoddimah. Rumah panggung akan ambruk hanya dengan keropos satu tiangnya.
Jadi, hanya tindakan baik (pilar objektif) dengan motifasi baik (pilar subjektif) yang tersanjung, yaitu punya dampak mendekatkan pelaku kepada aditujuan.
Permasalahannya adalah “Apakah dampak (mendekatkan) setiap tindakan baik dan setiap motifasi itu satu?”. Atau, “Apakah setiap tindakan baik dan motifasi baik melahirkan satu kebaikan ataukah beragam?”.

Gradasi Nilai dan Peran Motifasi
Kebaikan dan keburukan adalah dua makna yang menyimpan gradasi (kebertanggaan). Oleh karena itu, ada yang baik, lebih baik, lebih lebih baik, hingga yang terbaik. Ada yang buruk, lebih buruk, lebih lebih buruk, hingga yang terburuk. Perbedaan tingkat ini berpangkal dari perbedaan pilar subjektif (tindakan-tindakan baik) juga dari perbedaan pilar objektif (motifasi/niat) .
Dalam misal pilar subjektif, sedekah seratus rupiah menjadi lebih bernilai ketimbang sedekah seribu rupiah, karena kualitas motifasi dan niat pelaku sedekah pertama itu lebih tinggi, lebih tulus dan lebih ikhlas dari niat pelaku kedua. Begitupula, menentang kebenaran yang bermotif angkuh menjadi lebih terhujat daripada penentangan dengan motifasi gurau, karena pengaruh motif angkuh lebih kuat dalam menjauhkan pelakunya dari aditujuan.
Imam Ali as. Pernah membagi muslimin di hadapan Tuhan kepada tiga kelompok, budak, pedagang dan pecinta. Pembagian ini lebih mengacu kepada motif-motif mereka dalam beribadah; budak dengan motif takut (neraka), pedagang dengan motif salary (surga), dan pecinta dengan motif kerinduan, inilah motif yang termulia.

Gradasi Nilai dan Peran Tindakan Baik
Peran pilar objektif (tindakan-tindakan baik), tidak kurang pentingnya dengan peran pilar subjektif atau motifasi/niat pelaku. Misalnya, solat wajib. Ia tidak sama nilainya dengan solat nafilah, kendati dilakukan oleh satu pelaku dengan satu kualitas motifasi (niat qurbatan lillah), karena kewajiban lebih besar pengaruhnya dalam pencapaian aditujuan. Sebaliknya, nilai keburukan fitnah lebih besar daripada keburukan pembunuhan, karena efeknya lebih besar dalam menjauhkan pelakunya dari aditujuan.

Tambahan
Dalam asumsi bahwa suatu tindakan baik yang tidak bermotif ilahi, tidak pula bermotif iblis, yang tidak berpengaruh positif ataupun negatif terhadap pencapaian aditujuan pelakunya, maka tindakan tersebut nirnilai (zero value), ia tidak berpredikat baik dan buruk, seperti; makan karena lapar saja, minum karena haus saja, tidur karena ngantuk saja.
Permasalahannya adalah “apakah garis merah antara tindakan yang bernilai baik dan tersanjung dengan tindakan yang kosong nilai?”. Atau, “hal apa yang bisa mengatrol suatu tindakan baik dari titik nol ke titik satu?”

Anak Tangga Pertama
Telah disebutkan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang mendekatkan pelaku kepada aditujuan dan dilakukan dengan motifasi qorbatan ilallah. Sementara, perjumpaan dengan Tuhan melazimkan -pada tahapan belief system sebelumnya- penerimaan kalbu akan realitas Tuhan sebagai kesempurnaan mutlak, dzat yang maha esa, yang maha bijaksana, maha peduli, maha pemelihara, maha pengatur, maha pemilik, maha penguasa, maha pemerintah mutlak. Inilah iman. Adalah mustahil motifasi qurbatan ilallah itu muncul dari luar iman.
Iman bukan pengetahuan. Iman adalah produk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang demonstratif. Pengetahuan tanpa dalil masih perlu diproses akal atau piranti kognitif lainnya. Hanya pengetahuan yang terbuktikan yang siap hadir di kalbu. Namun, kesiapan (objektif) pengetahuan ini tidak cukup membuat kalbu menyambut kehadirannya. Ada sebagian dokter jantung yang merokok dan tahu dampak buruk tindakan itu. Hanya kalbu yang tulus dan insaf yang bisa menerima kehadiran pengetahuan argumentatif. Ketika itulah lahir iman di haribaan kalbu.
Maka, iman itu di kalbu. Ia akan lahir dari dua kesiapan; satu, kesiapan objektif berupa pengetahuan demonstratif, dan kedua, kesiapan subjektif berupa ketulusan kalbu.
Dengan pengertian iman diatas, naluri cinta diri yang tak terbatas itu hanya akan menyemburkan motifasi/niat qurbatan ilallah jika disertai oleh iman. Tanpa iman, akan terjadi kemandulan pada naluri itu; ia tidak bisa melahirkan niat demikian itu. Si dokter itu akan menahan nafasnya hanya dengan ketulusan hati untuk menerima pembuktian ilmiahnya atas dampak buruk rokok.
Maka, iman merupakan garis merah antara tindakan baik yang tersanjung dan tindakan zero value. Dan, seseorang bisa mengisi kekosongan nilai pada makannya dengan seduhan niat qurbatan ilallah yang didasari oleh iman.
“Tindakan-tindakan mereka yang kafir (tidak beriman) kepada Tuhan ibarat fatamorgana di padang pasir, orang yang kehausan menduganya oase, tatkala mendatanginya, ia tidak mendapatkan setetes airpun.... (Nur,39)
Jadi, boleh saja derma, senyum manis, atau menghormati perasaan sesama dan kasih sayang kepada orang lain adalah tindakan-tindakan baik bagi sebagian orang, namun semua itu sia-sia bila tidak dimotifasi oleh iman dan qurbatan ilallah. Atau, berfikir, diam, tidur dan tindakan individual lainnya dianggap bebas nilai, tapi itu semua jadi berarti dengan sepuhan, sekali lagi, iman.

Tangga Iman
Dalam padanannya dengan pengetahuan yang menyimpan makna gradual, perlu ditegaskan bahwa Imanpun berderajat, bertingkat-tingkat, dari yang terlemah sampai yang terkuat. Derajat minimal iman adalah menerima dengan kepuasan kalbu bahwa Laa ilaha illallah; tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Adalah kalimat tauhid yang mencakup rangkaian keyakinan kepada Tuhan sebagai Rabul aalamiin, hanya Dia yang memelihara, mengatur, memiliki, menguasai dan memerintah alam.[16]
Seseorang yang mengimani Tuhan dan memandangnya sebagai sumber siksa dan keperkasaan, ia akan menundukkan diri di hadapan pemerintahan-Nya dengan motifasi takut dan kuatir. Nilai ketundukkannya jelas berbeda dengan seseorang yang mengimani Tuhan dan mengharapkan balasan pahala, ia akan tunduk di bawah kepemerintahan-Nya dengan motifasi keberuntungan. Dan, nilai terbesar ketundukkan tampak dari seorang hamba yang mengimani Tuhan tanpa mempertimbangkan lagi siksa atau pahala, surga atau neraka. Ketundukkannya kepada-Nya didasari oleh cinta dan rindu kepada dzat yang maha sempurna.[17]
Imam Ali as. Mengumpamakan orang pertama itu dengan budak, dan orang kedua itu dengan pedagang, serta orang ketiga dengan pecinta. Inilah tiga tangga iman yang masing-masing bergradasi, sebayak gradasi makna takut, harap dan cinta (borderline cases).
Permasalahannya, “manakah tindakan-tindakan sengaja yang mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya?”. Pendeknya, “manakah tindakan yang baik dan tersanjung?”

Akal dan Agama
Di atas tadi, kita cukup mencermati pilar subjektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan pelaku. Bahwa derajat kebaikan pelaku itu banyak. kadar minimalnya adalah iman, yaitu kepada rububiyyah takwiniyah (Kepengaturan cipta) dan Rububiyyah Tasyri’iyyah (Kepengaturan tinta) Tuhan yang terbingkai di dalam kalimat tauhid; bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Di sini, kita akan menuntaskan pilar objektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan tindakan.
Di sepanjang pembahasan kita selalu menekankan bahwa akal mampu mengetahui, secara objektif, dan melaporkan kepada manusia akan kebaikan tindakan-tindakan. Permasalahannya, “manakah tindakan-tindakan sengaja yang benar-benar mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya?”, “manakah tindakan yang dinilai baik oleh akal?”. Lebih jelas lagi, “mampukah manusia –dengan akal dan indera- mengetahui seluruh tindakan baik, yang mengantarkan kepada aditujuannya?”
Tidak syak lagi bahwa akal dengan tegas menunjukkan sejumlah tindakan yang baik, seperti: kerja sama, memilih pemimpin yang adil, mendirikan pemerintahan yang bersih sebagai sarana penyempurnaan.
Dibantu oleh indera, akal tak segan menjalani trial and error dan check and balance untuk menemukan tindakan yang benar-benar baik; yang mengarahkan manusia kepada aditujuannya.
Naif, jika menanti dari akal lebih dari itu. Akal tidak ma’sum. Kesimpulam dan keputusannya bisa disusupi kepentingan pribadi, angan-angan dan penantian-penantian manusia. Akal tidak enggan untuk menebarkan perselisihan produk-produknya.
Satu lagi yang perlu disadari, bahwa akal dan empiris itu terbatas. Ia terlalu lemah untuk menyelidiki seluruh efek material dan ma’nawi serta dampak duniawi dan ukhrawi, individual dan sosial dari seluruh tindakan sengaja.
Mengatasi kekurangan dan keterbatasannya, akal membutuhkan uluran tangan dzat yang maha tahu, maha peduli dan maha bijaksana. Aantum a’lamu amillah. “Kalian yang lebih tahu ataukah Kami?” Di sini, agama lagi-lagi hadir ditengah kehidupan praksis manusia.
Di sini tampak jelas fungsi agama. Ia adalah pelengkap dan penggugah akal, sebagaimana ia dalam kaitannya dengan naluri.[18] Maka, relasi antara akal dan agama tidak mungkin pertentangan (tabayun). Agama bukan lawan akal. Ia adalah kawan akal yang diperlukannya. Sebagai pelengkap, agama mampu menunjukkan hal-hal di luar sentuhan akal dan indera. Maka, sebagian arahan agama bersifat suprasensional dan suprarasional.


Media-tujuan, Sebuah Jalan
Jadi, manusia pada aspek subjektif dan aspek objektifnya lemah. Dari dua aspek itu ia membutuhkan instrumen tambahan yang mesti adanya untuk menutupi kelemahan dan kekurangannya. Jika ia tidak menemukannya dari dalam dirinya, ia harus mencarinya dari luar. Itulah wahyu dan agama.
Agama adalah penyempurna fungsi akal dalam menunjukkan tindakan-tindakan baik yang mendekatkan manusia kepada aditujuan. Agama adalah hujjah atas manusia untuk memilih dan melakukan tindakan-tindakan baik. Wama kunna muadzzibina hatta nab’atsa rosula. Selama tidak ada arahan lengkap sebagai hujah yang cukup pada manusia, selama itu pula tindakannya bebas nilai, maka iapun bebas tanggungjawab dan siksa.
Tentunya, tindakan–tindakan itu menjadi bernilai baik dan dapat mendekatkan pelaku kepada aditujuannya jika disertai motifasi iman atau niat qurbatan ilallah. Agama menyebut tindakan-tindakan demikian ini sebagai ibadah.
Maka, ibadah merupakan media-tujuan, sebagai sebuah jalan menuju aditujuan manusia. Wa ani’buduunii, haadza shirootum-mustaqiim.
Ibadah berarti segala tindakan yang dilandasi oleh pengetahuan akan pebuatan yang baik (menurut akal dan atau wahyu) dan keyakinan akan hak ketersembahan Tuhan semata. Sebagai sebuah media-tujuan, agama menyebut ibadah dengan shiroth mushtaqim. Ia adalah sebuah jalan yang lurus. Ihdinash shiraathol mustaqim. Ya Allah ! Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus! Amin!

Akhirnya, “Sampaikanlah (wahai Muhammad)! Tahukah kalian akan orang-orang yang paling rugi perbuatannya? Merekalah yang sia-sia jerih payahnya di dunia, sementara dirinya mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi, 103-104).





[1]Kalimat afirmatif menjelaskan realitas objektif atau fakta. Ada muatan nilai teoritis di dalamnya, yaitu benar jika sesuai dengan fakta, dan salah jika tidak sesuai dengan fakta. Adapun kalimat normatif, ia tidak menjelaskan realitas objektif, apapun. Begitupula, ia tidak punya nilai teoritis. Pada dasarnya, kalimat normatif hanya menjelaskan kehendak subjektif si penyampai.

[2]Rasionalitas baiknya keadilan tidak berarti menafikan kecondongan naluri manusia atau intuisitasnya. Betul bahwa naluri selalunya condong pada keadilan dan secara spontan menyatakannnya sebagai kebaikan. Apa yang diupayakan dalam risalah ini ialah mencoba memahami, menyadari dan mengkonsepsikan kecondongan, spontanitas dan pernyataan naluri batin manusia, pada gilirannya berusaha menerangkan apakah kecondongan fitriah itu sekadar perasaan subjektif dan arahan batin belaka ataukah sebih dari itu bahkan seseungguhnya ia berkaitan dengan realitas objektif dan berbasis pada fakta riel di luar.
[3] Sebagai perangkat cognitif, akal berfungsi sebagai penyingkap dan pelapor. Ia melaporkan apa yang ada yang dilihatnya secara objektif. Maka, ia tidak akan menetapkan, karena fakta objektif sudah ada dan tetap, sehingga tidak perlu lagi penetapan. Salibah bin-tiufaail mawdhu’.
[4] Sebagian menyatakan bahwa kawasan privat itu diisi agama; sejumlah arahan yang mengatur dan menata kehidupan pribadi manusia.
[5] The power, Bertrand Russell, hal 4. edisi parsi.
[6] Pada titik yang berlawanan, Naturalisme menolak campur tangan pandangan dunia (metafisika) dalam membangun sistem dan landasan nilai tindakan manusia. Ada beberapa catatan yang harus dituntaskan, pertama: sangat mungkin terjadi tindakan yang merugikan masyarakat luas, tanpa pernah ditanggung pelakunya, sedikitpun. Kalaupun pelaku itu turut menanggung dampak tersebut, ia tidak akan jera dan masih punya nyali untuk mengulangi tindakan itu, dengan pertimbangan bahwa keuntungan yang didapatkannya dari tindakan itu lebih besar dari kerugian yang diterimanya.
Kedua: kendati sanjungan dan hujatan sosial –pada batas-batas tertentu- berpengaruh positif, secara preventif atau agresif, atas kehendak pelaku, dimana setiap orang ingin dihormati, dipercaya dan aman, namun banyak tindakan yang bisa dilakukan secara rahasia dan terselubung dari pandangan. Seseorang menjadi miskin motifasi dalam berfikir positif, berprasangka baik, bertulus hati. Sementara yang lain dengan lenggang melakukan profokasi, korupsi, fitnah, bohong, iri, kesumat, tanpa ada hujatan atau resiko buruk sosial.
Ketiga: sangat mungkin stick kontrol sosial jatuh di tangan sekawanan manusia. Merekalah yang mengendalikan opini dan menciptakan nilai-nilai, sehingga keputusan dan prilaku mereka tampak baik-baik saja. Tidak aneh bila pelaku-pelaku KKN sebuah negeri disambut dan dilantik, tanpa ada protes berarti dari arus manapun. Meraka akan banting godam di hadapan sebagian komponen yang memahami retorika gambit. Mereka hanya butuh akseptabilitas dan popularitas. Di sini, jelas sekali rapuhnya moral dialektik Yunani yang menempatkan opini publik sebagai referensi nilai dan penilaian.
Jadi, melucuti nilai tindakan manusia dari pandangan dunia sama artinya menon-aktifkan kekuatan eksekusi arahan-arahannya. Kaum naturalis tahu benar 'keadilan adalah baik' untuk kemudian merumuskan 'berbuat-adillah!'. Masalahnya, antara rumus dan aplikasi ada jarak yang cukup rentang, di dalamnya banyak hambatan, termasuk tiga catatan aplikatif di atas tadi.
[7] Hal yang diisyaratkan Graham Maslow dalam hirarki kebutuhan-nya atau grumble theory.
[8] Berdasarkan pengertian ini, kejujuran tidak bisa dinilai baik oleh akal secara terpisah dari aditujuan pelakunya. Ia bisa berpredikat buruk ketika menjauhkan pelaku dari aditujuan. “kejujuran adalah baik” bukan kaidah akal praktis yang mutlak, sebagaimana yang dianut Kant. Ia hanya akan dipandang akal sebagai kebaikan tatkala berdampak positif menjumpakan pelaku kepada aditujuan. Wa qis ala hadza! Kata Kant, akal mengetahui kebaikan seuatu tindakan secara apodeictic (badihi awwali).
[9] Dhoharol fasaada fil barri wal bahri bimaa kasabat aydinnaas.
[10] Manusia dalam kehidupan dunia diumpamakan riwayat dengan penumpang kapal di tengah samudra. Ada angin silih menghempas, ada gelombang ombak menampar kapal silih berganti, akhirnya hancur dilibas badai, tenggelam ditelan laut. Sementara pemunpang itu, kemanakah ia lemparkan sisa harapannya? Ketika akal pasrah, ketika tidak ada lagi kawan, ketika alam mejadi lawan. Hanya dia dan fitrah. Akanakah ia tangkap isyaratnya? Kemanakah ia lepaskan ronta kecenderungannya?
[11] Syahid M. Muthahari mengatakan: agama sanggup menempati posisi eksekutor, menyuplai daya tarik dan tolak ke dalam jiwa manusia (Azadi-e Ma’navi, hal. 141-142).
[12] Pemikiran Islam adalah revolusioner. Pergerakan Islam? Kondisional. (Risalatuna, Bagir Shadr, hal. 101)
[13] Wa yasta’duuhum miistaaqo fithrotih.
[14] Dalam asbabun nuzul ayat ini diriwatkan di dalam tafsir at-tabari bahwa Talhah, al-Abbas, Ibn Syaibah dan Ali bin Abu Thalib saling membanggakan diri. Talhah berkata: Akulah pengurus Ka’bah, akulah yang memegang kuncinya. Al-abbas berkata: Akulah penjamu para penunai haji. Akhirnya Ali berkata: Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian katakan. Aku telah shalat menghadap kiblat enam bulan lebih dahulu dari kaum muslim, dan akulah yang selalu berjihad. Lalu Allah menurunkan ayat 19 dari surat At-taubah. (al-Mizan, 19/210)
[15] demikian ini tampak jelas dalam hukum-hukum fikih Islam. Para ulama ushuli (pakar ilmu usul fikih) membagi tindakan wajib kepada dua macam; tawassuli, yaitu tindakan yang harus dilakukan tanpa disyarati niat qurbatan ilallah, dan ta’abbudi; yaitu tindakan yang harus dilakukan dengan niat qurbatan ilallah. Tawassuli seperti amar makruf nahi munkar. Tindakan ini tidak memerlukan keikhlasan dan niat qurbah. Dalam Tahrir Wasilah 1/427 ditegaskan bahwa amar makruf dan nahi munkar yang dilakukan dengan niat qurbah akan membawa pahala sebagai dampak positif yang medekatkan pelakunya kepada kesempurnaan mutlak; Allah swt.
[16] be suye khudsozi, M.T. misbah yazdi, hal.313.
[17] sedemikian besarnya cinta dan rindu sang hamba kepada tuhan nya, sehingga ia buta, tidak bisa lagi melihat kecuali dia. Ia fana dalam Tuhan. Dirinya lenyap. Ketika itulah egonya sudah tidak lagi berarti, karena hasrat dan tututan terbesarnya sudah terpenuhi di haribaan-Nya. .
[18] Wa yasta’duuhum miitsaaqo fithrotih, Wa yustiiru lahum dafainal ‘uquul. Merekalah para rosul yang membongkar ikrar-ikrar fitrah manusia, dan yang menggali kandungan-kandungan akal mereka. (Imam Ali a.s.).

1 Comments:

Post a Comment

<< Home