red_roodee

Monday, January 09, 2006

Menindas Rakyat Versi Penguasa

Menindas Rakyat Versi Penguasa

MENARIK membincangkan tentang penindasan di negeri ini, terutama yang mengatasnamakan kepentingan negara. Kita telah dijejali dengan berbagai kebijakan sampah mulai dari Per-Pres 36/2005 sampai kenaikan BBM, dan berbagai kebijakan lainnya yang jelas merupakan kebijakan yang bakal dijadikan alat dan justifikasi represifitas negara untuk menindas rakyatnya seperti yang pernah terjadi sebelumnya, penggusuran dan pengusiran paksa rakyat sebagai pemilik tanah, dikalahkan oleh pemerintah, yang pastinya menurut hemat saya pasti ada kepentingan pemodal dibelakangnya. Penindasan yang sistematis dan terstruktur ini jelasnya merupakan peraturan yang menunjukkan bahwa dominasi pemerintah di atas segala-galanya, termasuk di atas kedaulatan rakyat, pemerintah berubah peran menjadi cukong tanah bagi pemilik modal nantinya meski yang dikorbankan adalah rakyat. .....Misalkan pada waktu Per pres 36 ditelorkan, seorang pejabat publik berkata..."Menurut saya, mereka tidak memahami latar belakang dikeluarkannya Per-Pres itu, Pemerintah tetap akan melaksanakan Per-Pres ini, meskipun ada penolakan oleh segelintir orang, ini terlalu di politisir, yang jelas mereka bukan rakyat...!" Kira-kira demikianlah ungkapan Menteri PU Joko Kirmanto pada Buletin Pagi SCTV, 30 Juni 2005, ketika menanggapi pertanyaan wartawan seputar efektifitas pelaksanaan Perpres 36/2005 yang berkenaan dengan pembebasan lahan/tanah oleh pemerintah, yang katanya demi (diperuntukkan) pembangunan fasilitas kepentingan umum dan pemerintahan. Dari ungkapan itu, kesan arogan tampak benar ditunjukkan oleh seorang pejabat public sekelas menteri. Karena tidak dapat berkomentar dengan argumentasi yag lebih baik, maka bahasa pembelaan kelas Preman pun keluar. Negara menganggap, bahwa yang menolak dikarenakan tidak memahami latar belakang keinginan pemerintah, terlalu di politisir, kemudian semena-mena mengatakan mereka yang menolak bukan rakyat. Jelasnya, sekarang yang perlu dipertanyakan, latar belakang apa yang memaksa dan menekan pemerintah sehingga mengeluarkan Per-Pres tersebut? Bukan rahasia umum...pemerintah ini sudah tak punya martabat dan kedaulatan, segala keputusan kebijakan tidak mencerminkan kepentingan dan pemihakan pada rakyat. Tapi jelas ini adalah kebijakan yang bernuansa kapitalistik, kepentingan apa yang ada dibelakang adanya kebijakan ini,...tak lain tak bukan, seperti yang sudah-sudah, ini rawan kepentingan pemodal. Jadi yang sebetulnya yang berdaulat bukan rakyat, yang berkuasa bukan penguasa pemerintah itu, tapi kaum kapitalis. Pemerintah setali tiga uang dengan pemodal, atau simpelnya kongkalikong ini dinamakan 'penguasa adalah alat legalitas-formal pengusaha untuk menindas rakyat'. Dengan Per-Pres ini penguasa berhak secara mutlak membebaskan tanah rakyat atas nama kepentingan umum, meskipun rakyat pemilik tanah tak menyetujuinya, kemudian tanah itu digunakan untuk pembangunan kepentingan umum atau infrastruktur seperti fasilitas umumlah. Manipulasi pembebasan tanah hanya topeng untuk fasilitas umum, kedepan, makelar tanah rakyat akan semakin gentayangan, lobby-lobby oleh pihak pemilik modal agar penguasa membebaskan tanah tertentu yang diingini sehingga pemerintah yang punya kewenangan untuk itu dengan senang hati (tentunya setelah melalui negoisasi penawaran-penawaran tertentu) melakukan pembebasan tanah, payung hukumnya yaa...Per-Pres 36/2005 ini. Ketika pemodal kapitalis berusaha meng-gol-kan kepentingan mereka terhadap tanah-tanah rakyat, Meminjam bahasa Ichsanuddin Noorsy....Para pemilik modal berhadapan dengan apa yang disebut hak milik dan mereka tak berdaya. Karena itu memerlukan tangan negara. Para pemilik modal kemudian mengusung kepentingannya masuk ke negara, masuk ke pemerintah dan berhadapan dengan rakyat. Pemerintah secara vis a vis berhadapan dengan rakyatnya hanya karena melindungi dan memperjuangkan kepentingan pemodal, begitupun tentang kenaikan BBM, yang ternyata guna memberi ruang bebas bagi pemilik modal asing untuk berbisnis BBM sesuai harga pasar yang mereka inginkan, karena klo seandainya tetap di subsidi, tentunya mereka tak bisa bersaing dengan Pertamina. Inilah...Neo-Liberalisme yang berujung pada Neo-Imperialisme dan Pemerintah Indonesia memang tak punya marwah lagi sehingga tak berdaya, tunduk-takluk pada agenda neo-lib ini. Per-Pres 36/2005 misalnya adalah alat legitimasi perampasan tanah dan penggusuran rakyat miskin. Bahasa sederhananya adalah, negara menindas rakyatnya sendiri. Negara memang memiliki kekuatan memaksa, tapi tak selayaknya kekuatan itu digunakan untuk memiskinkan rakyat, apalagi jika memang dibelakang itu, ada motif ekonomis-kapitalis yang bermain. Dengan Per-Pres ini, rakyat tak memiliki hak privacy atas haknya, hak yang telah dimilikinya secara turun temurun. Untuk berbagai daerah, maka kerawanan yang muncul adalah pencaplokan tanah-tanah adat dan hak ulayat rakyat, termasuk penguasaan hutan-hutan dengan model baru yang berlindung dibalik jubah Per-Pres 36/2005 ini. Tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, namun ini tidak lantas menjadikan Negara sebagai dictator-otoriterianis terhadap rakyatnya, ada hak-hak rakyat yang mesti di hormati. Hak-hak yang telah ada jauh sebelum Negara ini ada, hak-hak kepemilikan rakyat yang telah ada bahkan ratusan tahun lalu, ketika Negara-bangsa inipun belum pernah terpikirkan 'ada dan berdirinya', hak-hak dari nenek-moyang kami yang tumbuh, lahir dan makan serta mati di tanah ini. Belum cukupkah penguasa berniat memiskinkan rakyat negeri ini? Kita telah dijejali dengan peraturan-peraturan yang menyesakkan dada, mulai dari privatisasi air dengan UU Sumber Daya Air yang bakal memunculkan kapitalis-kapitalis air, sehingga sebelum kita minum nantinya, kita harus bayar dulu pada sang pemilik modal, UU Ketenagakerjaan yang memarginalkan buruh, kemudian peraturan perizinan kapal dan lokasi penangkapan ikan (hasil laut) yang juga dialih-kuasa-kan oleh penguasa pada nelayan pemodal besar, laut yang dulunya merupakan sumber penghidupan yang dianugerahkan Tuhan, tak lagi kita merdeka di sana. Se-kaliber apakah penguasa saat ini...? Manusia se-kaliber Khalifah Umar bin Khathab saja, ketika ada penduduk Yahudi Mesir datang melaporkan bahwa Gubernur Amru bin Ash menggusur tanahnya maka pedang yang diacungkannya untuk menegakkan keadilan rakyat. Jika zaman bahuela yang ditakutkan oleh nelayan atau para pelaut adalah Bajak Laut atau dalam sebutan Melayu lazim dengan istilah 'Lanun', maka sekarang Lanun-nya lebih menakutkan lagi, Lanun-nya bermain dengan lebih kejam nan dilegalkan dengan peraturan penguasa. Yah...penguasa menjadi 'Bajak Laut atau Lanun', maka di darat patut dinamakan 'Perampok atau Perompak'. Teringat lagu P Ramlee, seharusnya pemerintah-penguasa mendendangkan bait lagu...'kami lah perompak di dalam negeri...dst'. Kita tak lagi memiliki kedaulatan itu. Inilah negeri para Lanun...Welcome! Wallahu'alam.

Rudy Handoko

0 Comments:

Post a Comment

<< Home