red_roodee

Monday, June 12, 2006

Dilemma Perbatasan

Catatan Perjalanan
--------------------------
Dilemma Perbatasan

Berbagai masalah daerah perbatasan yang selama ini didengungkan telah menjadi masalah nasional. Bahkan, menjadi kajian dalam dinamika hubungan internasional.

Pemerintahan SBY-Kalla, dalam kebijakannya telah menetapkan bahwa pengembangan, pemberdayaan, dan pembangunan masyarakat perbatasan menjadi sesuatu yang urgen, sehingga muncul idiom yang menyatakan jika selama ini perbatasan selalu dianggap sebagai wilayah belakang NKRI, sudah selayaknya dihapuskan. Demi citra negara, maka wilayah perbatasan dalam paradigma pembangunan harus dijadikan beranda depan yang mencermin NKRI.
Namun, dalam perjalanannya kemudian, masalah perbatasan bagi Indonesia menjadi sesuatu yang cukup krusial. Ini jika dilihat dari luas wilayah perbatasan negeri ini, apalagi jika ditinjau dari sudut pandang teritorial NKRI. Berbagai kasus telah memaksa banyak pihak terhenyak. Ketika Sipadan-Ligitan lepas, blok Ambalat yang bermasalah dan berbagai wilayah terluar Indonesia lainnya yang sangat rawan diklaim oleh negara tetangga kepemilikannya.
Kalbar adalah salah satu daerah yang mempunyai perbatasan langsung baik darat maupun laut dengan negeri jiran Malaysia. Seperti daerah-daerah perbatasan lainnya, Kalbar pun mempunyai masalah yang menumpuk. Mulai dari tarik ulur soal kewenangan pengembangan daerah perbatasan, belum adanya regulasi yang mengatur tentang daerah perbatasan, maraknya penyimpangan berbentuk korupsi pembangunan, penyelundupan, ilegal logging, trafficking, ilegal trading, suap, pungli sampai persoalan pertahanan keamanan.
Uniknya Kalbar dibandingkan daerah perbatasan lainnya adalah jika Kaltim yang berbatasan langsung dengan Sabah, dari segi tingkat kesejahteraan maka tidak terlalu menyolok, karena Kaltim juga termasuk daerah yang kaya. Kalau Papua Indonesia dan Papua New Guinea juga tidak terlalu nampak. Malah mungkin lebih baik kondisi Papua Indonesia, apalagi jika dibandingkan antara Timor Leste dan NTT. Sedangkan antara Kalbar dan Sarawak, alamak ibarat pepatah antara bumi dan langit, antara tembaga dan emas, antara pungguk dan rembulan bedanya.
Pada 18-25 April, berangkatlah tim ke Sekayam dan Entikong dalam rangka melakukan survey tingkat partisipasi pembangunan dan penyimpangan daerah perbatasan. Setelah melakukan perjalanan melelahkan melalui jalan Trans Kalimantan Ambawang-Tayan, perjalanan dilanjutkan ke Balai Karangan untuk memulai survey di Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau.
Perkenalan dengan daerah perbatasan memang ditandai dengan kondisi jalan yang masih bolong-bolong meski jalan ini tergolong jalan negara dan segala pembangunan daerah perbatasan ini dibangun dengan dana APBN. Setelah sampai di Balai Karangan, keesokan harinya survey dimulai dengan perjalanan ke Dusun Segumon untuk mencari informasi. Hasil pertemuan dengan Kepala SD di Dusun Segumon mendapatkan keterangan dan keluh kesah seputar apa yang terjadi di perbatasan. Ternyata setumpuk problem ada di hadapan mata menunggu keseriusan pemerintah untuk menanganinya. Yang paling nyata seperti yang dituturkan oleh Marcellius Wedho, Kepala SD Segumon. Dia mengatakan sejak mengabdi pada tahun 1978 sampai saat ini Segumon tidak banyak berubah. Jalan masih tanah yang jika hujan menjadi becek dan banjir. Sedangkan listrik juga belum pernah ditemui tiangnya. Padahal Segumon juga merupakan jalur yang sering dilalui masyarakat jika hendak masuk ke Kampung Mungkos di kawasan Sarawak yang hanya berjarak tujuh km.
Ketertinggalan ini dibuktikan dengan angka putus sekolah yang tinggi. Maraknya penyelundupan dan tidak dilibatkannya masyarakat dalam agenda pembangunan. Pak Marcel menuturkan untuk masalah pembangunan, dulu sejak 1982 Segumon pernah diinisiasi untuk dikembangankan sebagai wilayah lintas batas. Ini dibuktikan dengan perencanaan pembangunan perkantoran satu atap untuk imigrasi, pemerintahan dan pos lintas batas keamanan, tapi ternyata tak kunjung dibangun. Kemudian patok perbatasan pun hanya sebatas tugu batu kecil yang tingginya tak sampai 10 centimeter dari tanah.
“Segumon dan Mungkos adalah dua wilayah kekerabatan, satu nenek moyang yang terpisah geografis teritorial yang bernama negara Indonesia dan Malaysia. Namun jalinan kekerabatan antar-keduanya tetap terpelihara sehingga tak jarang hari-harinya masyarakat Segumon dan Mungkos kerap saling berkunjung. Namun, kekerabatan tetaplah kekerabatan, jika Anda ke Mungkos, jangan Anda harap Anda akan menemukan jalan lecek dan gelap gulita jika malam. Malah di sana meski hanya kampung pedalaman tapi sangat terbuka aksesnya,” Pak Marcel berkata.
Seakan ingin membuktikan ucapan Pak Marcel, ditemani seorang guru setempat yang kebetulan punya sanak saudara di Mungkos, berangkatlah kami menuju Mungkos, perjalanan ditempuh naik gunung turun gunung melalui jalan setapak, melewati hutan semak belukar diwilayah perbatasan Indonesia dan sudah menjadi kebun karet dan lada jika sudah memasuki perbatasan Malaysia. Tak perlu pakai paspor di sini jika hanya berkunjung sekejap, apalagi ada masyarakat Segumon yang menjadi pemandunya, seperti yang dijelaskan pak Marcel. Dengan meminta izin kepada petugas TNI di pos lintas batas Segumon kemudian meminta izin pula pada Polis Diraja Malaysia di Mungkos..cukuplah, kamipun memasuki Mungkos.
Benar adanya apa yang disampaikan penduduk Segumon. Mungkos, sebuah perkampungan masyarakat adat Dayak di Distrik Serian, sudah demikian tertata rapinya. Jangan Anda bayangkan anda menemui jalan rusak dan lecek, meski jalannya hanya selebar 5 meter, tapi aspalnya tergolong hotmix tebal, beda dengan aspal jalan negara di Indonesia yang jika terkena ceceran bensin atau terkena standar sepeda motor di hari panas saja sudah bisa rusak. Lagi-lagi meski hanya kampung, alat transportasinya, sudah banyak warga mungkos yang punya mobil, belum lagi rumah-rumahnya yang tertata rapi, rumah adat betangnya terpelihara dengan baik. Dan, wow ada kafe di tengah pedalaman. Yup...kafe koperasi masyarakat Kampung Mungkos. Di koperasi ini dijual barang-barang kebutuhan sehari-hari, dan bukan hanya warga Mungkos yang berbelanja tapi juga warga Segumon, karena rupiah masih bisa diterima di sini. Mungkos, memang kampung pedalaman, kampung adat yang menurut salah seorang warganya dijadikan sebagai kampung eco-pelancong atau eko-wisatalah kalo di Indonesia. Dengan menjual keeksotisan adatnya, Mungkos berkembang mendahului tetangganya Segumon


Lain Segumon, lain pula Mungkos. Apatah lagi cerita Entikong, PPLB resmi yang selalu dipadati pelintas batas setiap harinya. Di Entikonglah, kami menemukan berbagai keanehan pembangunan dan dampaknya yang memang Pure Indonesian Style, seperti praktek percaloan, pungutan liar ala lintas batas oleh oknum aparat keamanan dan pemerintah di lintas batas.
Seperti tahu saja, atau memang insting yang sangat tajam, para oknum ini dengan jeli memungut upeti dari para pelaku ilegal. Seperti sudah kenal saja dengan para agen TKI, mereka meminta tip, atau meski perdagangan gula misalnya sudah dilarang tapi tetap saja truk-truk lolos, tapi sepanjang jalan diiringi dengan pungutan, paling ringan sekali mengulurkan tangan merogoh kocek sekitar Rp20 ribuan.
Kantor Imigrasi, tak ada bedanya di tempat lain di seluruh wilayah di negeri ini. Sebuah wilayah basah bagi para oknum. Penyelundupan TKI contohnya, modusnya sederhana. Para calo atawa agen mencari mangsa TKI yang ingin diberangkatkan ke Sarawak. Mereka didatangkan dari Jawa, Sambas dan juga di beberapa daerah di Kab. Landak dan Kab. Pontianak. Mereka ditampung oleh para calo, lantas dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga si calo. Kemudian mereka dibuatkan KTP Entikong untuk selanjutnya membuat paspor.
Karena memang Pure Indonesian Style dengan cara ‘tembak’, maka pihak keimigrasian melipatgandakan biaya pembuatan paspor yang biasanya hanya berkisar Rp300-400 ribu melejit hingga Rp800 hingga Rp1 jutaan. Bagaimana tidak makmur tuh! Cilakanya memang, TKI yang kebanyakan juga pada tak ngerti, masuk legal dengan paspor visa kunjungan ke Sarawak, dan bukan visa kerja. Di sana mereka telah ditunggu oleh para agen penyalurnya yang telah setali tiga uang dengan calo di Indonesia.
Nah, persoalannya adalah ketika masa berlakunya habis, mereka tidak memperpanjang, maka jadilah mereka pendatang haram yang selalu diuber-uber. Mereka bekerja keras di sana di rumah tangga, di perkebunan, malah juga di klub-klub malam atau menjadi korban dijual sebagai perempuan pemuas nafsu. Lebih parah jika mereka mendapat majikan atau bos yang tidak menghargai mereka. Jika ada masalah dengan majikan atau bos, maka si majikan bisa saja melaporkan mereka ke Polis Diraja Malaysia dan akhirnya diciduk. Sedangkan para calo/agen sudah lepas tangan.
Anda jangan tanya tentang prostitusi di sini, karena di tempat ini adalah sarangnya juga dan masih banyak yang lain termasuk persoalan pembangunan fisik yang tidak melibatkan masyarakat, tata ruang wilayah yang amburadul, pembebasan lahan masyarakat yang bermasalah dan sebagainya. Perbatasan oh... perbatasan!
Sejenak di Tebedu
Berkunjung ke Tebedu, perbedaan antara Entikong dan Tebedu sama halnya jika membandingkan antara Segumon dan Mungkos. Selangkah kaki memasuki Sarawak Malaysia, hawanya sudah laen. Tiada sampah dibuang sembarangan, tiada bangunan-bangunan liar yang tak teratur, jalanannya mulus, lingkungan sangat bersih dan penataan gedung perkantoran dan pasar dibangun sangat berwawasan. Nah ini dia, balai pejabat daerah kecila dan balai polisnya, jika dibandingkan bisa jadi paling tidak setara dengan luas gedung kantor Walikota dan Poltabes, tapi rapi dan bersihnya jangan ditanya.
Padahal Tebedu hanyalah setingkat daerah kecamatan pembantu jika di Indonesia, makanya disebut pejabat daerah kecil. Saya kira saya telah berada bukan di bumi Borneo lagi, tapi ternyata tetap di Borneo, Borneo-Sarawak.
Catatan perjalanan bukan untuk membanding-bandingkan dan mencari kesalahan tanah air sendiri, tapi pertanyaannya kapan negeri ini menjadi negeri berwawasan peradaban? Tetangga sebelah bisa, kenapa kita tidak! Ai...ape pasal lah! Nasibmu oh... Indon.* (Rudy Handoko)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home