red_roodee

Sunday, November 05, 2006

REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Catatan Pikiran
---------------------
REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Bencana lagi, bencana lagi. Kelaparan lagi, eh kelaparan lagi. Berita-berita miris nan menggetarkan selalu akrab di panca indra kita akhir-akhir ini. Dimanakah terjadinya? Lokusnya...ditanah yang dulu sekali dijuluki Jamrud Khatulistiwa nan Gemah Ripah Loh Jinawi. Dulu sekali, tanah ini pernah subur-makmur, rakyatnya hidup berkecukupan meski tak lantas itu diartikan mewah. Yah..berkecukupanlah, cukup makan, sandang dan pangan. Itu dulu...mungkin dalam dongeng.
Disuatu berita surat kabar, seorang selebritis komedian yang punya ciri khas aksen Tegal-nya yang medog, Cici Tegal protes dan ‘marah’ kepada pemerintah. Marah...karena dia menilai bahwa pemerintah lamban dalam mengurusi masalah dan dampak dari gempa yang melanda Jogja-Jateng, padahal menurutnya gempa Jogja-Jateng termasuk yang kedua terhebat setelah tsunami yang melanda Aceh-Sumut.
Marahnya seorang Cici, memang tak akan mengubah keadaan apalagi ketidak-becusan penguasa negeri ini dalam persoalan kesigapan menangani bencana. Mengurusi Aceh yang telah setahun lebih berlalu saja masih belum genah, masih banyak ketidak-beresan disana-sini, apalagi menyangkut masalah dana dan profesionalisme badan yang dibentuk pemerintah untuk menangani rekonstruksi Aceh-Sumut yakni Badan Rehabilitasi dan Rekosntruksi (BRR) Aceh-Sumut, berbagai keluhan dialamatkan, pertanda banyaknya permasalahan-permasalahan akibat ketidak profesionalan terutama ketidak-tranparanan lembaga satu ini.
Jangankan hanya marahnya seorang Cici, sebagian besar rakyat negeri ini marah sekalipun, belum tentu akan membuat merah telinga penguasa, ibarat pepatah muka tembok- telinga gajah-kulit badak, mereka telah mati rasa terhadap penderitaan rakyat negeri yang telah memilih mereka untuk jadi pemimpin.
Untuk kasus Jogja-Jateng, lambannya pendistribusian bantuan misalnya, banyak yang beranggapan karena prosedur birokrasi yang mengurusinya terlalu berbelit, padahal ini kondisi darurat atau sebutlah tanggap darurat yang tidak seharusnya diterapkan sama seperti kondisi normal. Kearifan dan kebijaksanaan serta sensitifitas mengatasi bencana diperlukan, bukan sekedar catat-mencatat, karena ini menyangkut jiwa manusia, menyangkut kehidupan dan kematian, bukan hal yang main-main.
Lambannya penanganan ini selalu saja terbukti dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah bencana, koordinasi yang terlalu panjang akhirnya juga menyebabkan koordinasi tidak efektif, bukan malah mempercepat. Untuk mengatasi bencana saja, sedikit-sedikit kita perlu koordinasi yang matang dulu, koordinasi kayak apaan, sementara yang tertimpa musibah sudah klenger duluan. Ini bukan kasus yang pertama, menyibak kebelakang, kita lihat kasus Yahukimo, keterlambatan penanganannya karena kekurangan sarana transportasi untuk mencapai Yahukimo yang terpencil, orang keburu mati kita masih berfikir alias telat mikir. Menarik membaca tulisan di Kompas dengan judul “Serba Salah dan Serba benar,” terkadang orang yang mau membantu juga jadi kebingungan dengan prosedur penanganan yang diberlakukan. Sehingga analoginya untuk bencana Yahukimo, --datang bawa beras salah, karena orang Papua tak makan beras, bawa ubi salah, karena masak datang jauh-jauh cuma bawa ubi, bawa duit juga tak berguna, kalau datang tak bawa apa-apa lebih salah lagi malah keterlaluan. Jadi yang benar gimana, siapa yang bertanggung jawab, semua bertanggung jawab, tapi yang makan gaji untuk menentukan kira-kira prioritas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat harusnya bertanggung jawab lebih besar.
Banyak hal yang sama dalam kasus Jogja-Jateng, meski tak mirip persis. Saking telatnya bantuan datang, malah ada yang dapat jatah mi satu kardus dibagi satu desa, makan apa! Meski Sulthan telah menandaskan agar jangan terlalu panjang birokrasi pendistribusiannya, eh ternyata masih telat.
Persoalannya masih banyak daerah yang tak terjangkau. Yahukimo sama saja, karena daerahnya terpencil, orang mampus pun dibiarkan saja. Trus, kalaupun karena ketiadaan sarana transportasi yang mampu menjangkau, itu terus dijadikan alasan, sampai kapan? Memangnya setiap terjadi bencana alasan itu terus yang dijadikan argumen pembenaran. Kemana saja helikopter yang dimiliki oleh pemerintah, tidakkah bisa dipergunakan? Sedangkan untuk jalan-jalan dinas saja bisa, kenapa untuk rakyat terus jadi mandeg?
Itu satu hal. Lain hal lagi dengan, tingkah laku sebagian kita yang datang bak penyelamat, tapi ternyata sekedar mempertontonkan ‘parade kebesaran’ dan atau pamer kemewahan ditengah bencana, pamer bendera dan labeling, bukan ikhlas membantu. Datang diharapkan bersama serta empati dan simpati, terpenting lagi bantuan yang meringankan, bukan malah petantang-petenteng dengan atribut keduniaan yang tak bakal dipertanyakan oleh malaikat maut nantinya. Sehingga wajar saja, rakyat Jogja-Jateng sampai-sampai dengan miris menuliskan kalimat, ‘kami perlu dibantu bukan untuk ditonton,’ ‘selamat datang wisata bencana,’ atau ‘bosan mengemis.’ Ini karena apa? Karena tingkat kohesi sosial dan terutama kepercayaan terhadap yang berkuasa untuk membantu menanggulangi dampak akibat bencana telah semakin rapuh.
Kasus Jogja-Jatengpun satu lagi, lain itu ada lagi kasus Kabupaten Sikka di Propinsi NTT yang dilanda bencana kelaparan. Meski telah diketahui sejak lama, malah sejak tahun 2005 telah diprediksi bakal terjadi bencana kelaparan jika tak ada...lagi-lagi bahasanya penanganan dari yang berwenang. Tapi apa dinyana, sampai terjadi kelaparan hingga telah diberitakanpun oleh media, belum ada yang serius dan tanggap mempersoalkan apalagi menanganinya. Apa yang salah? Secara sosial, akibat otonomi kita melihat bahwa etno-primordial kedaerahan ternyata menyebabkan kita tidak saling peduli pada tetangga kita yang kebetulan berbeda daerah, meski mereka mati kelaparan. Lebih besar lagi, tanggung jawab sosial negara untuk mensejahterakan rakyat terbengkalai begitu saja, tak seperti cita-cita dan kontrak sosial menuju welfare state.
Anehnya, untuk hal ini,...di Indosiar pernah diberitakan, bahwa pemerintah pusat telah menurunkan tim survey ke daerah bencana untuk mensurvey tentang bencana tersebut, dan hasilnya akan dipergunakan sebagai bahan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan penanggulangan. Anehkan...!?
Setelah hasil survey merekomendasikan, maka baru pemerintah bertindak, dan ternyata hasil survey memberikan info memang telah terjadi bencana dan direkomendasikan agar pemerintah segera melakukan langkah-langkah penanganannya. Sedemikian panjangnya jalur penanganan ini, sehingga ibarat kata pepatah ‘sudah terantuk baru tengadah,’ orang sudah sekarat baru ditangani. Lagi-lagi telat, telat mikir telat bertindak. Pertanyaannya, apa gunanya jalur koordinasi dan informasi antara daerah dan pemerintah nasional, apakah gara-gara otonomi, koordinasi itu tersendat, apakah karena itu informasi yang disampaikan daerah harus di chek dulu, sehingga pake acara survey dari pemerintah pusat segala. Apa gunanya pemerintah daerah, apakah mereka tidak menginformasikan dan mengkoordinasikan itu semua, terus apa informasi dari media yang ada juga telah tidak difahami bahwa ini gawat darurat gitu lho!
Ethiopia...Ethiopia! Demikian judul dan lirik lagu Iwan Fals, sebagai bentuk keperihannya melihat derita kemanusiaan yang menimpa negara Ethiopia di Afrika akibat bencana kelaparan dan tentunya peperangan, sehingga rakyatnya banyak yang mati dan bangkainya dimakan burung pemangsa bangkai. Untuk saat ini, Indonesia memang belum separah itu, tapi bukan mustahil suatu hari nanti kita kan mengalami hal yang serupa, mungkin lebih mengerikan lagi, karena bukan hanya bencana kelaparan tapi juga bencana-bencana yang lain yang lebih kompleks. Ada bencana alam, ada bencana kemanusiaan akibat konflik, ada bencana akibat kebijakan politik, bencana akibat kebijakan ekonomi yang mendorong pemiskinan de el el. Sehingga akhirnya di hari nanti, kita akan mengganti judul lagu itu bukan lagi Ethiopia tapi Indonesia...Indonesia, dan kita akan menyanyi dengan lirih pedih lirik lagu itu.
***
Cu...dulu negeri kita ini, negeri yang subur-makmur, hutan masih hijau membentang dan udaranya segar karena belum ditebang dan dirusak oleh perusahaan-perusahaan, sejauh mata memandang sawah terbentang luas, kalau musim panen kita bisa lihat padi menguning dan petani bergembira menyambut musim panennya, masa itu sawah belum berganti pemilik, masih milik petani, belum digusur ‘pembangunan’. Sungai-sungai juga mengalir dengan airnya yang bening bermuara kelaut lepas nan biru dan banyak ikannya lagi. Jika nelayan pergi ke sungai dan laut, hasil tangkapannya cukuplah buat makan sekeluarga, karena sungai dan lautpun belum tercemar. Cerita sang kakek kepada cucunya di suatu beranda rumah reot. Kapan itu kek? Tanya sang cucu kepada kakek. Itu dulu...dulu sekali. Jawab sang kakek. Bisa jadi hanya ada dalam khayalan. Its our dream. Wallahu A’lam.*

Rudy Handoko
Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kalbar

0 Comments:

Post a Comment

<< Home