red_roodee

Monday, November 13, 2006

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

Wacana pemekaran telah booming pasca tahun 1999 dan marak pasca 2000-an. Maraknya aspirasi berbagai daerah untuk memekarkan diri, seiring pula dengan dorongan implementasi otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi kewenangan politik-kebijakan publik dan perimbangan keuangan pusat daerah dalam upaya pendekatan pelayanan publik yang lebih efektif-efisien, transparan dan akuntabel menuju kesejahteraan. Di Kalbar pun wacana pemekaran telah terbukti konkrit dengan hadirnya beberapa daerah kabupaten/kota baru.
Konteks Ketapang, wacana pemekaran bukan hanya bergulir semata pada scope pemekaran kabupaten, tapi demikian dinamis menjadi isu pemekaran provinsi. Dengan berbagai pertimbangan wilayah geografis yang sangat luas, kemudian demi aksebilitas pelayanan publik dan rentang kendali pemerintahan. Karena wilayah kabupaten terbesar di Kalbar ini memang seakan-akan terisolir dan menyendiri dibanding dengan daerah-daerah lainnya.
Bergulirlah wacana pemekaran Provinsi Tanjungpura, lepas dari provinsi induk Kalbar, kenyataannya terbentur pada regulasi UU 32/2004 yang mensyaratkan lima daerah otonom untuk membentuk satu provinsi. Sedangkan Ketapang hanyalah satu kabupaten.
Seiring itu, booming pula wacana pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Kayong Utara yang pembahasannya seperti diberitakan di Harian Kompas dan di internet telah masuk dalam daftar inventarisasi RUU daerah pemekaran.
Wacana ini menjadi pemicu munculnya keinginan membentuk Kabupaten Kayong Timur atau Kabupaten Sandai, Kabupaten Kayong Selatan, dan seperti yang diwacanakan yakni Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Barat, dan satu daerah otonom kota yakni Kota Ketapang.
Belajar dari wacana-wacana yang telah bermunculan, saya berpendapat, bahwa ide-ide yang selama ini disampaikan tidak akan bergerak massif. Karena meski telah mewacana, namun kurang begitu mendapat tanggapan di grass root, hanya menjadi konsumsi terbatas bagi mereka-mereka yang memahami dan peduli. Jika seperti ini biasanya wacana akan patah arang alias tenggelam timbul saja, lantaran setting pemekaran yang dikembangkan juga terlalu top down, hanya melibatkan arus kepentingan tingkat elit, terlalu banyak pemainnya (aktor politiknya) dengan berbagai kepentingan, tidak disertai gerakan massif sosialisasi dan pengembangan wacana serta pemberdayaan ditingkat grass root. Sehingga kurang legitimate, karena tingkat partisipasi dan penyertaan masyarakat atau pemangku kepentingan masyarakat dari tingkat yang paling bawah tidak signifikan.
Kemudian, faktor data dan fakta yang berkenaan dan dapat dijadikan argumentasi tentang kenapa suatu wilayah harus dimekarkan, ini juga lemah. Semua keinginan dikonstruk berdasarkan asumsi-asumsi sehingga tidak valid dan ilmiah. Misalkan, pemekaran harus dilakukan karena persoalan acces to justice pembangunan yang mestinya harus merata dan seimbang, kemudian harus adanya mapping/pemetaan potensi wilayah yang menjadi pertimbangan seberapa besar PAD, selama ini juga tidak bisa ditampilkan riil. Belum lagi jika bicara seberapa besar prospek investasi yang bakal terserap, tingkat penyebaran penduduk/demografis, tingkat pendapatan termasuk angka riil kemiskinan yang harusnya juga dipresentasikan, karena ini menjadi pertimbangan ke depan terkait dengan DAU dan DAK. Ini semua mesti di-manage dalam gerakan mendorong pemekaran, bukan asal teriak pemekaran, namun ketika ditanya tentang hal-hal yang terkait tentang pemekaran hanya bisa ber-asumsi atau lebih celakanya hanya bisa diam.
Terlebih lagi, kelemahan mengelola isu dan wacana pemekaran belajar dari pengalaman Kayong Utara adalah persoalan tingkat representasi rakyat yang menghendaki pemekaran itu. Ada memang panitia pemekaran, pertanyaannya… apakah itu merupakan representasi dari rakyat disuatu wilayah? Misalkan representasi wilayah terkecil setingkat desa, yang baik secara formal dan informal diakui sebagai representasi seperti kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda atau yang lainnya. Kecenderungan pemikiran masyarakat sekarang adalah kekhawatiran, bahwa kepanitiaan itu hanya dipenuhi orang-orang yang justru bukan representasi dari masyarakat.
Dari sisi dokumentasi dan sosialisasi, gerakan pemekaran yang ada di Kabupaten Ketapang juga lemah. Harusnya, di zaman teknologi informasi, segala kegiatan mendorong pemekaran seperti aspirasi-aspirasi warga, pertemuan-pertemuan warga, pertemuan-pertemuan dengan pihak pemerintah dan sebagainya, itu bisa dipublikasi dan dipresentasikan melalui media secara visual dan audio visual kepada masyarakat dan pemerintah. Sehingga bisa menjadi bukti bahwa gerakan pemekaran itu riil dukungannya. Dengan begitu, tampak bahwa pemekaran memang muncul dan merupakan dorongan dari arus bawah atau bottom up, bukan politisasi.
Substansi dari pemekaran adalah pengembangan dan pemberdayaan wilayah yang lebih sejahtera dan mandiri, sekaligus proses pendidikan dan pendewasaan politik masyarakat, bahwa perubahan itu tidak harus selalu didorong oleh elit, tapi bisa melalui grass root.
Selain itu, pemekaran tidak selesai pada menggiring ke arah mekarnya wilayah, tapi juga yang paling penting adalah penyiapan infrastruktur untuk menuju kedemokratisan. Melalui gerakan grass root itu nantinya, pemberdayaan terjadi dan sebetulnya proses demokratisasi berjalan melalui stake holder yang paling berkepentingan yakni rakyat.*

Rudy Handoko
Pegiat Himpunan Mahasiswa Kayong Utara (HIMAKATRA) dan Komunitas Kajian Lintas Kayong (KKLK)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home