red_roodee

Saturday, January 13, 2007

MENGAWAL APBD RAWAN KORUPSI

MENGAWAL APBD RAWAN KORUPSI

Seiring dengan program kabinet pemerintahan RI dibawah pimpinan SBY-Kalla, diantaranya tentang program memberantas korupsi, mengadili secara hukum pelakunya dan menangkal peluang baru terjadinya korupsi. Tuntutan termasuk sorotan tajam terhadap berbagai indikasi korupsi yang pernah dilakukan atau akan dilakukan oleh berbagai kalangan terutama yang menduduki posisi basah jabatan dan memegang kendali kekuasaan terus di kumandangkan dan semakin marak. Perlawanan rakyat terhadap budaya korup ini harus terus dibangun secara massif, sinergis, rapi, sistematis, sistemik dan terorganisir oleh segenap lapisan dan elemen masyarakat sipil berkedaulatan dan berkeadaban guna membangun tatanan masyarakat berperadaban, bersih dari budaya benalu KKN.
Kasus korupsi yang pernah dilakukan, jika kita mengambil lokus aras politik, maka yang menjadi sasaran utama adalah korupsi di tataran penyelenggara kekuasaan negara, yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Pada legislatif dan eksekutif, yang jelas dan nampak kentara sekali adalah pada persoalan kasus APBD baik yang telah lewat maupun indikasi penyimpangan atau rawan penyimpangan pada proses penyusunan APBD sekarang dan yang akan dating. Ini tentu saja melibatkan dua pemegang kekuasaan dalam konsep trias politica yakni legislatif dan eksekutif. Sedangkan pada tataran yudikatif, sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan aturan hukum yang masih lemah dalam upaya penegakan supremasi hukum, ditambah mental ‘mata duitan,’ maka banyak kasus korupsi yang sudah jelas bisa lewat begitu mulus tanpa memperdulikan rasa keadilan masyarakat, toh dengan berlindung dibalik jubah, bahwa kekuasaan kehakiman/yudikatif tidak dapat di intervensi dan diganggu gugat segala putusan hukumnya, termasuk oleh masyarakat sekalipun, sehingga rakyat hanya bisa mengurut dada.
Berkenaan dengan korupsi di legislatif dan sksekutif, kekuasaan eksekutif bersama legislatif yang punya otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal dan punya peluang besar dalam proses legislasi, membuat segala kebijakan mereka rawan akan kebocoran terstruktur untuk kepentingan perut pribadi. Kewenangan yang meniscayakan keleluasaan daerah (baca: Penguasa Daerah) dalam menggali dan mengalokasikan anggaran, tanpa reserve apapun dari masyarakat yang terus dibodohi, membuka peluang penyimpangan terhadap anggaran yang katanya untuk rakyat. Sehingga yang pernah terungkap adalah tindakan kejahatan berjamaah secara institusi para wakil rakyat, yang secara bersama-sama melakukan makar untuk menilep uang rakyat, kasus DPRD Sumatera Barat menjadi contohnya. Indikasi semakin meluas jika dalam proses penyusunan, terjadi tawar menawar antara eksekutif dan legislatif.
Merebaknya kejahatan berjamaah yang melibatkan anggota legislatif dan eksekutif karena secara etis, memang mereka betul-betul jeli memanfaatkan jabatan dan kekuasaan yang mereka sandang, sehingga eksekutif dan legislatif bias dikatakan tidak punya moral (tidak ada semangat/ruh moralitas) untuk membuat kebijakan publik. Kebijakan publik yang seharusnya diperuntukkan dan diproyeksikanuntuk kesejahteraan rakyat terdistorsi untuk kesejahteraan jamaah eksekutif-legislatif. Kejahatan para mafia anggaran yang dipraktekkan dengan sempurna dan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif, berdampak besar bagi kehidupan rakyat secara umum, karena kebijakan yang mereka buat menyangkut hajat hidup rakyat secara totalitas. Legislatif berfungsi mengontrol eksekutif justru setali tiga uang bekerjasama untuk melakukan perbuatan illegal/menilep uang rakyat dengan cara yang ‘di-legal-kan’ melalui legitimasi keputusan institusional atas nama/berkedok APBD.
Yang paling kentara adalah manipulasi anggaran melalui pembengkakan dan penghamburan uang rakyat untuk tujuan yang tidak jelas skala prioritasnya. Pos anggaran dibagi tidak berimbang dan tidak berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat, cenderung dihabiskan percuma untuk pengayaan segelintir orang, lewat pos-pos yang memakan dana besar di anggaran birokrasi legislatif dan eksekutif, bukan pada anggaran yang diperuntukkan pada pelayanan rakyat. legislatif dan eksekutif seakan putus urat malu untuk menebalkan kocek melalui pembengkakan uang perjalanan, uang representasi, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan komisi, rehab rumah atau sewa rumah dinas, mobil dinas, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, uang pakaian sampai hal-hal yang paling privacypun kalau bisa dibiayai oleh dana anggaran, yang kalau dikomparasikan dengan anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat dan bersifat jangka panjang, maka sangat jauh berbeda.
Titip menitip atau pesanan dalam anggaran biasa terjadi, legislatif menitip pada pos-pos eksekutif, begitupun sebaliknya legislatif harus menggolkan usulan anggaran eksekutif, meskipun usulan tersebut sangat kelewatan dan sangat fantastis alias mubazir. Niat untuk mensejahterakan rakyat menjadi kabur dan yang paling utama adalah mensejahterakan dulu diri sendiri, mumpung masih menjabat, kapan lagi dapat kesempatan emas ini, mungkin itu yang ada dibenak dan sudah berurat berakar. Implikasi paling nyata dari kebijakan seperti ini adalah rakyat yang menanggung beban anggaran, diperas untuk memenuhi hasrat ingin cepat kaya legislatif dan eksekutif dengan dalih APBD untuk pembangunan.
Toh, rakyat dikaburkan dengan ‘tak usah tau lah dengan urusan anggaran’, itu hak-urusan anggota Dewan dan Pemerintah. Hanya orang pintarlah yang mengerti, karena sangat sophisticated (rumit) dan berkas-berkas tersebut bukanlah berkas yang dapat sembarang orang untuk menjamahnya, hanya orang-orang tertentu yang punya akses kesana. Keterlibatan publik dibatasi dan dihalang-halangi, transparansi cukuplah menjadi slogan, kalaupun ada proses hearing dan sebagainya untuk menjaring aspirasi, hanya sekedar pelengkap penderita dan justifikasi memenuhi ritual slogan yang bernama transparansi, untuk korupsi yang makin subur dan pelakunya yang makin makmur.

Partisipasi Publik dalam penyusunan Anggaran
Proses penyusunan anggaran tahunan (Rakorbang, RAPBD dan APBD) selama ini eksklusif menjadi milik eksekutif dan legislatif. Apakah keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder sudah diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam mengawal prosesnya. Karena, sudah lumrah bahwa anggaran tidak berpihak rakyat, legislatif sebagai yang diamanahi menjadi wakil rakyat yang berkewenangan membahas RAPBD yang diajukan eksekutifpun, dipertanyakan apakah mempunyai komitmen dan mau memperjuangkan aspirasi rakyat? Adakah jaminan aspirasi rakyat akan diperjuangkan oleh legislatif? Bukankah selama ini legislatif sudah bangga jika memperjuangkan kepentingannya sendiri? Apakah aturan yang ada cukup menjamin hal ini?
Kepmendagri No. 29 Thn 2002 yang menyatakan penyusunan APBD harus melakukan penjaringan aspirasi masyarakat, telah menjadi payung hukum bagi rakyat banyak untuk terlibat dalam proses penyusunan APBD. Namun bagaimana impementasinya?
Adanya apresiasi dan ruang publik yang luas pada rakyat untuk berpartisipasi dalam penyusunan RAPBD, adalah dengan tujuan agar apa yang direncanakan dalam RAPBD menjadi realistis dengan semangat berdasarkan kepentingan, pelayanan dan kebutuhan usaha membangun kesejahteraan rakyat. Bukan sekedar monopoli eksekutif dan legislatif yang berdasar pada kepentingan pribadi dan pesanan para kontraktor atau broker politik.
Mekanisme partisipasi publik ini menjadi penting dan items sentral dalam penyususnan RAPBD, jika legislatif itu mempunyai moralitas untuk menjaga amanah akan kewajibannya, eksekutif sadar akan tanggung jawab dan kewajibannya. Tapi, mungkin ini sekedar harapan yang harus kerap diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat secara massif.
Perencanaan anggaran tentang penyusunan APBD haruslah berbasis masyarakat dengan mekanisme penjaringan penganggaran mulai pada tingkat pemerintahan terkecil yakni desa dan kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota, sehingga masyarakat mudah mengaksesnya. Untuk itu perlu dibuatkan lagi peraturan teknis menyangkut pengejawantahan partisipasi publik dalam penyusunan RAPBD, yang itu dapat memayungi agar usulan kegiatan pada RAPBD yang telah dibuat oleh masyarakat tidak mudah dimentahkan oleh kepentingan dinas yang bersangkutan yang merasa tidak dapat ‘can’ dari usulan tersebut. Karena biasanya usulan program dan anggaran dinas lebih banyak unsure kepentingan proyek dan copy-paste dari program terdahulu yang tidak mencerminkan kepentingan rakyat banyak. Kemudian anggaran berbasis kinerja seperti yang termaktub dalam Kep-Mendagri No. 29 tahun 2000 juga tidak banyak di pahami dengan baik oleh legislatif, eksekutif dan dinas-dinas daerah, dikarenakan tidak ada profesionalisme pada tubuh birokrasi eksekutif dan legislatif sebagai lembaga politik selalu mencampuri kepentingan politisnya kedalam birokrasi, pada akhirnya terjadi ketimpangan/korupsi pada jalannya proyek.
Kemudian rakyat harus terlibat dalam penyusunan APBD sampai tuntas, karena acapkali proses tarik-menarik kepentingan kerap terjadi pada panitia anggaran di legislatif dengan eksekutif daerah, sehingga rawan permainan politik yang bernuansa korupsi.
APBD adalah milik rakyat, dan rakyat berhak terlibat dan tahu, karena menyangkut hajat hidup mereka sebagai warga negara. Keterlibatan/partisipasi dalam menyusun anggaran oleh masyarakat adalah keharusan dan ini harus diperjuangkan. Amin.

By. Rudy Handoko

AWASI REBOISASI LAHAN

AWASI REBOISASI LAHAN

Masalah kerusakan hutan bagi Indonesia telah menjadi momok. Saat ini, kondisi hutan tropis di Indonesia tengah mengalami proses deforestisasi yang luar biasa, sehingga ada perumpamaan yang pas untuk menggambarkan kondisi laju kerusakan hutan itu adalah bahwa dalam satu jam, Indonesia kehilanagn wilayah hutannya seluas tiga kali lapangan bola.
Hutan bagi masyarakat sekitar hutan atau masyarakat yang secara kultural terikat dengan hutan sebagai bagian dari kehidupan mereka, difahami bukan hanya sebagai sumber kayu semata, tetapi merupakan potensi alam yang luar biasa, yakni sebagai tempat serapan air yang tentunya menjadi sumber air untuk kebutuhan hidup, buah-buahan, umbi-umbian, madu, damar, rotan dan potensi lainnya yang bernilai ekonomis. Terlebih dari itu, hutan adalah benteng alam pelindung dari bencana alam dan ekosistem bagi makhluk hidup dan keanekaragaman hayati lain.
Setelah rusak, setelah banjir bandang, erosi mengikis dan longsor menghadang, bencana silih berganti datang. Pertanyaannya adalah... Apakah kita masih belum menyadari akibat dari perilaku hidup yang merusak muka bumi, apakah kita belum bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri? Lalu apakah kita tidak memikirkan bahwa hutan adalah jaminan bagi keberlangsungan hidup di masa mendatang. Bukan hanya untuk kita tapi buat generasi setelah kita.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi hutan, trilyunan rupiah telah dihamburkan sebagai bagian dari upaya untuk tetap melestarikan hutan. Gerakan reboisasi telah bertahun-tahun dicanangkan dan berbagai programnya juga telah dilaksanakan. Ternyata sampai saat ini, hal itu sekedar proyek yang terus ada, namun habis di modal/ongkos, tanpa suatu hasil maksimal yang bisa dibanggakan. Malah..., gerakan itu tiada apa-apanya meski telah menghabiskan dana yang tidak sedikit dibandingkan dengan gerakan yang dilakukan para peraih penghargaan kalpataru, yang meski tidak digaji dan tanpa urunan dana pemerintah tapi memberi bukti, mereka berhasil menjaga kelestarian alam.
Apanya yang salah? Apakah uang itu benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, untuk pelestarian hutan sehingga menjadi lebih baik atau ternyata banyak penyimpangan yang membuat dana trilyunan itu menetes kemana-mana tanpa juntrungan yang jelas. Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab!
Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reboisasi lahan. Sekarang ini kita sering mendengar tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), ada GERHAN dan lain-lain. Untuk masalah pendanaanpun tidak sedikit dipagukan dalam APBN yang dikucurkan melalui dana dekonsentrasi program GN-RHL dan GERHAN itu, belum lagi yang bersumber dari Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR). Namun lagi-lagi..., ternyata lebih banyak penyimpangannya. Dengan kasat mata terlihat lebih banyak yang nihil hasilnya dan tentunya bermasalah.
Kemungkinan penyimpangan terjadi dalam program-program seperti itu sehingga tidak menyentuh apalagi menyelesaikan persoalan, karena program-program yang cenderung terselubung proses pelaksanaannya dan tidak transparan, hingga membuka peluang terjadinya penyimpangan karena akses publik terhadap kegiatan itu lemah serta peran publik pun relatif rendah. Sederhananya, terkadang masyarakat di sekitar lokasi tidak mengetahui adanya program-program itu, kalau sudah begitu, keterlibatan mereka pun tidak ada, sehingga secara tidak langsung mereka dipaksa hanya tahu terima jadi. Tentunya mereka juga tidak bakalan mengetahui apakah terjadi pemotongan misalnya dan juga tidak mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam program-program itu.
Kemudian adanya kecenderungan tidak profesional menangani program, misalkan pelibatan orang-orang yang mengerjakan program adalah orang-orang dekat atau seleksi yang asal-asalan dalam memilih orang yang bakal berperan sebagai pendamping program, padahal dia tidak mampu dan tak punya kompetensi untuk itu. Belum lagi adanya yang meminta bagian program alias minta jatah proyek dan sebagainya.
Hal lain yang menyebabkan program-program ini tidak tepat sasaran adalah dari segi pelaksanaan yang asal kejar target, sehingga pemilihan lahan tidak melalui survey yang benar, lahan yang hendak direboisasi bukan lahan yang sesungguhnya. Kalaupun lahan yang dipilih adalah lahan kritis sesungguhnya, namun terkadang dengan gaya yang asal proyek itu, maka lahan itu ditanami tanpa melalui proses pengolahan yang benar, karena untuk memudahkan pekerjaan dan mengurangi biaya sehingga kelebihan biaya bisa masuk kantong.
Bahaya selanjutnya misalkan pada pemilihan bibit yang ditanam, apakah telah sesuai dengan jenis tanah? Banyak sekali data di lapangan yang menunjukkan bahwa bibit yang disediakan adalah bibit asal-asalan, bukan bibit yang berkualitas dan tidak sesuai dengan standar sebenarnya. Ditambah lagi dengan perlakuan yang diberikan/perawatan terhadap tanaman tidak baik, sehingga setelah tanam sebulan kemudian mati. Hal-hal ini sering terjadi, yaa... karena itu tadi, untuk mengurangi biaya dan memudahkan pekerjaan. Wajar jika program itu habis-habis di program saja, selesai program tamat juga riwayat tanaman.
Untuk itu, seluruh elemen masyarakat harus ikut memantau dan melaporkan jika terjadi kecurangan/penyimpangan. Karena dana-dana yang dikeluarkan untuk itu semua adalah uang rakyat, dan tentunya kita semua tidak rela jika dana-dana tersebut hanya dihambur-hamburkan mubazir dan/atau hanya dinikmati/untuk kepentingan segelintir orang saja.

Rudy Handoko