red_roodee

Monday, April 17, 2006

CATATAN KAKI UNTUK PEMIMPIN IDEAL

CATATAN KAKI UNTUK PEMIMPIN IDEAL
Dalam Filsafat Politik Plato dan Imam Khomeini
Ammar Fauzi Heryadi

Rakyat di alam demokrasi Athena seperti tuan kapal. Sialnya, mereka tidak punya kecakapan yang memadai. Untungnya, di sekeliling mereka ada awak-awak kapal (baca: elit politik). Sialnya atau untungnya, masing-masing berusaha tampil; menganggap dirinyalah yang mesti jadi kapten. Kendati tak penah menjalani pendidikan perkapalan, mereka memaksa sang tuan agar menyerahkan nasib penumpang dan kapal ke tangan mereka. Manakala sekelompok dari mereka berhasil merebut kendali, muncul kelompok lain yang akan mendepak mereka sampai terhempas dari kapal. Akhirnya, hanya ada suatu kelompok yang mengendalikan kapal, sambil meraup perbekalan dan penumpang. Seketika itu pula pelayaran berlangsung tak ubahnya pesta pora. Dan, penumpang yang membantu tingkah mereka disanjung sebagai pelaut paling ulung di dalamnya. Mereka tak pernah menyadari bahwa melaut semacam pengalaman; memerlukan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang pergerakan bintang, perubahan cuaca, angin dan musim.[1]
Sebuah parodi yang tidak asing lagi dari Socrates. Sengaja ia tuturkan setidaknya dalam upaya mewanti-wanti bahwa sistem demokrasi di Athena sama sekali tidak layak memerintah. Parodi ini pula yang sejatinya menyingkapkan perjalanan politik sampai Abad Modern dan bahkan dunia kontemporer ini, bahwa kekuasaan akan tampil layaknya si raksasa laut Leviathan yang akan membebaskan manusia hobbessian dari kegelisahan dirinya, dan membubarkan kesepakatan manusia rousseouian untuk lalu menguasai kekayaan manusia lockian.[2]
Seperti biasa, Socrates melengkapi parodi di atas dengan umpan dialektisnya, “Di dalam kapal yang berlayar dengan kendali demikian itu, tidakkah kapten yang sesungguhnya dituding peramal dan sampah?”.
Saya tidak begitu yakin apakah pertanyaan ini mampu mengganggu pikiran kebanyakan kita. Tapi, barangkali ini justru kuat memprovokasi kebanyakan orang zaman itu. Bahkan, lewat pertanyaan inilah Socrates sebenarnya telah menyelundupkan filsafat dan semangat hidupnya; masuk tepat ke sumsum pemikiran muridnya yang setia, tuan Plato. Menurut R.J. Hollingdale, hazanah filsafat sang murid terpendam di bawah hujaman pertanyaan sang guru.[3]

Mengapa Plato?
Siapakah kapten kapal yang sesungguhnya? Adalah pertanyaan filosofis berikutnya yang merupakan bagian kegelisahan Plato yang paling mendasar. Dari sanalah ia dikenal sebagai filsuf pertama yang –masih kata Hollingdale- wujud konkret yang seutuhnya dari kata filsuf.[4]
Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa berfilsafat dan menjadi filsuf bukanlah titik akhir kegiatan intelektual Plato. Meminjam nada adagium Ibnu Sina tentang Irfan, maka berfilsafat untuk filsafat bukanlah filsafat. Masih senada dengan kaidah Irfan, bahwa filsafat berpijak pada Geometrika untuk menjalani Realisme demi membangun kehidupan politik. Dalam Republica, Plato mengakui bahwa filsafat hanyalah perangkat guna mencapai suatu pola politik yang mendasari kehidupan manusia.[5]
Dalam rangka itu, Plato menginfestasikan sisa-sisa modal hidupnya guna mendirikan pusat pendidikan Akademia di Athena. Kata Geometrika dipampangnya di atas gerbang sebagai ongkos masuk bagi calon mahasiswa. Akademia itu lebih tepat disebut pusat pelatihan dan pengkaderan, mengingat raison d'etre pendiriannya, yakni memperbaiki kehidupan politik melalui pendidikan yang unggul yang mengajari perundang-undangan dan ketatanegaraan. Maka itu, Plato mengarahkan filsafatnya guna melahirkan pemimpin-pemimpin negara yang unggul dan kompeten.
Plato menjawab pertanyaan di atas itu, bahwa kapten kapal yang sesungguhnya ialah pemimpin ideal bangsa.

Mengapa Imam Khomeini?
Jawaban singkat ini diusahakan dalam risalah ini sebagai pokok persoalan. Jelas bahwa usaha ini adalah ulangan entah yang keberapa ribu kalinya dari yang didiskusikan sepanjang sejarah. Persoalan pemimpin ideal adalah bagian dari topik-topik terpenting dan menentukan dalam filsafat politik, bukan hanya pada tataran teori, tapi juga pada tataran praksis dengan tingkat resiko yang jauh lebih tinggi.
Pada sosok Imam Khomeini, barangkali tataran aplikasi persoalan itu begitu menonjol. Dengan latar belakang sejarah, lingkungan dan pendidikan agama yang khas, dia tumbuh sebagai muslim yang taat. Keputusannya menjadi mulla (ulama) bukanlah final, karena "Menjadi mulla betapa sulitnya, menjadi manusia begitu mustahilnya". Ia Mengawali keputusannya itu dari kitab-kitab kuning fiqih tradisional di Hauzah Ilmiyah; yang tidak membuatnya kolot, tidak mau tahu dunia, tidak pula sekadar wacana atau polemik yang berlarut-larut, karena "Fiqih adalah filsafat praktis yang dibumikan oleh pemerintahan dalam segenap aspek hidup manusia".[6] Kata wajib dan haram tidak dipahaminya sebatas riba, karena "Islam mengisi segala kebutuhan manusia". Ia berusaha meyakinkan kita bahwa memperjuangkan keadilan itu adalah kewajiban, membebaskan diri dari kedzaliman adalah kewajiban,[7] dan "Perkara pemerintahan adalah salah satu kewajiban agama yang paling wajib".[8]
Nyaris tidak perlu dirujukkan lagi, bahwa Imam Khomeini adalah ulama pertama yang mampu mendirikan negara Islam setelah menggulingkan kerajaan di Iran yang didukung kekuatan dunia. Kemenangan Revolusi Islam-nya disambut hangat oleh kunjungan Yaser Arafat ke Tehran sambil mengulang-ulang ucapan Menakhim Begin, bahwa "Revolusi di sana telah mengoncang bumi Israel di sini"[9]. Masih oleh Revolusi Islam-nya, "Revolusi akan memakan anak-anaknya" terlalu dini terbantahkan sebelum diangkat sebagai hukum sejarah. Kata Theda Skocpol, "Revolusi ini menuntut revisi atas hasil-hasil studi komparatif yang selama ini dilakukan terhadap tiga revolusi Prancis, Rusia dan Cina".[10] Tuntutan yang sebelum diperdengarkan telah disambut secara lebih peka oleh Michael Foucoult melalui beberapa artikel, yang di antaranya berjudul: "Khomeini, Pemimpin Besar".
Bersama rakyat di sana, Imam Khomeini menolak dua kutub adidaya; La Syarqiyyah wa la Gharbiyyah. Dia yakin bahwa negara Islamnya bisa mengubah peta politik dunia dan bertahan mandiri sebagai salah satu adidaya. Kiranya yang terakhir ini cukup menunjukkan bahwa persoalan pemimpin ideal bangsa dan kepemimpinan politik amat gamblang dalam pemikiran, kepercayaan dan pergerakan Imam Khomeini.
Sejalan dengan itu, Imam Khomeini telah mengajukan banyak isu dan konsep politik yang begitu canggih. Konsep Wilayatul Faqih adalah adikarya dalam usahanya menggagas pemerintahan Islam secara argumentatif dan aplikatif. Di dalamnya, baiat, legitimasi dan demokrasi menemukan makna yang lebih inovatif. Konsep ini telah menjadi titik balik yang amat menukik, menghentak dan menantang. "Masalah kami dengan Iran hanya karena Wilayatul Faqih"[11] adalah pernyataan William Cohen, Menteri Pertahanan kabinet Clinton, yang menegaskan bahwa konsep itu diuji kekuatannya bahkan pada level politik dunia secara serius dan terus.

Antara Plato dan Imam Khomeini
Kalau Plato mengajarkan secara teoretikal konsep-konsep politiknya di sebelah kebun-nya Akademus, Imam Khomeini mengajarkan secara praktikal konsep-konsep politiknya di antara kutub-kutub kekuatan dunia serbacanggih. Kalau Plato akhirnya bekerja sebatas think tank, Imam Khomeini bekerja sebagai pemikir sekaligus pekerja yang gigih. Perbedaan zaman, kondisi dan syarat-syarat yang melingkupi keduanya mungkin lebih dapat menafsirkan perbedaan peran dan kerja praktis mereka ketimbang mengukur keunggulan satu dengan lainnya.
Uniknya, ada sejumlah titik yang mempertemukan mereka. Baik filsafat Plato maupun filsafat Imam Khomeini, keduanya menyimpan hasrat dan anasir Irfan yang sedemikian kental. Ditambah kondisi dan situasi yang turut memadukan mereka. Paling tidak, bahwa dunia zaman Imam Khomeini -di samping kebobrokan Sosialisme Komunis- tengah menyaksikan krisis besar dan dampak buruk Demokrasi, sebuah kenyataan yang kekejamannya sudah dialami Plato sejak dua puluh lima abad lalu.
Jika dianggap benar penilaian Bertrand Russell, bahwa seni karsa Plato –seperti dalam Republika- sedemikian indah menata usulan-usulannya yang melawan prinsip-prinsip kebebasan hingga sanggup memperdaya orang selama berabad-abad[12], kita masih layak tampil optimis dengan ungkapan gurunya, Alfred N. Whitehead, yang lebih banyak didengar, bahwa pemikiran Plato telah menjadi teks yang menempatkan pemikiran para filsuf yang datang setelahnya sekedar catatan kaki. Dan kalaulah nama Kant dan Hegel yang ia sebut untuk menunjukkan mana filsafat Barat sebagai sebuah sistem yang utuh, maka untuk kedua kalinya kita optimis dengan usaha sejawatnya, Ferderick Copleston, yang memetakan konstruk filsafat Plato tampak begitu apik dan koheren.[13] Keutuhan dan koherensi sistem ini pada pemikiran Imam Khomeini, dengan segenap muatan unit-unit Irfan, Filsafat, Kalam dan Filsafat Fiqih di dalamnya, sekurang-kurangnya akan dapat kita simak di sini. "Ada pelukis yang mengubah matahari menjadi bulatan kuning, ada pula pelukis yang mengubah titik kining menjadi matahari", kata akhir ungkapan P. Picasso ini begitu tepat melukiskan kerja keras Imam Khomeini dalam menurunkan sistemnya sampai ke dalam bentuk faktual sebuah negara bersama rakyatnya.
Bukan keterlaluan bila studi perbandingan antara pemikiran Plato dan pemikiran Imam Khomeini sama artinya berusaha mempelajari pandangan dua mujtahid mutlak politik pertama dan terakhir, setidaknya dalam sejarah yang sempat dilaporkan sampai sekarang. Atau malah sebuah kelumrahan tatkala ditilik kedekatan di antara mereka yang begitu tipis beririsan. Ala kulli hal, keterlaluan benar-benar diakui sepenuhnya bahkan saat "Catatan Kaki" dimaknai sebagai representasi studi ini, apalagi untuk berdiri di atas titik perbandingan yang menuntut keadilan yang selazimnya. Akan tampak jelas bagaimana ceceran permohonan maaf saya atas apa yang akan dikerjakan ini mengganjal di setiap ruas keterbatasan dan kekurangan saya. Wa ma taufiqi illa bil-Lah!.

Pemimpin menurut Plato
Secara konseptual maupun faktual, bahwasanya pemimpin tidak bisa dipisahkan dari yang dipimpin. Yakni, ada semacam hubungan yang begitu kuat di antara keduanya. Ia adalah hubungan kepemimpinan. Dalam wacana politik, kepemimpinan bangsa kerap dengan kepemerintahannya.
Seorang pemimpin dalam kepemerintahannya menggunakan suatu pola atau cara kepemerintahan. Yang belakangan ini hanya akan menemukan arti yang sesungguhnya tatkala ia memegang kekuasaan atas kehendak orang. Dengan demikian, pemimpin merupakan bagian dasar pemerintahan. Posisinya di tengah masyarakat ialah sebagai salah satu kekuatan kehendak atau hukum.
Berpijak pada unsur tersebut, Plato mendata pemerintahan bangsa-bangsa lewat petualangan dan pengalaman yang panjang. Di dalam daftarnya, ada lima macam pemerintahan. Plato yakin bahwa riwayat umat manusia, dari sisi penataan politik, melalui urutan yang khas. Tatanan pemerintahan di Athena, Sparta dan dataran lainnya pada masa itu berkembang sesuai urutan berikut ini: Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi, dan Tirani.
Dengan menentang kelima macam pemerintahan di atas, sesungguhnya Plato juga menolak setiap pemimpin yang duduk di atas masing-masing pemerintahan itu. Mulai dari sinilah kita mengikuti sejauhmana Plato mampu mengajukan tesisnya mengenai pemimpin ideal.

Keadilan
Emerson menuturkan, bahwa nama Plato identik dengan filsafat dan, filsafat identik dengan Plato.[14] Emile Brehier menambahkan, pemisahan filsafatnya dari politik tidaklah tepat.[15] Hasilnya, Plato bukan sekadar identik dengan filsafat, tetapi juga identik dengan politik. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ia adalah pemikir etika sebelum menjadi ahli politik. Pendirian etisnya amat tegas terhadap aktifis-aktifis muda yang berpolitik dengan penuh gairah dan ambisi, tapi miskin kesiapan dan moralitas.[16] Tak pelak lagi, konsep keadilan pun menempati titik sentral dalam diskusi-diskusi etika Plato. Kebanyakan dialog yang tercatat dalam Republika berkisar pada konsep itu. Dalam analisis Guthrie, Republika itu sendiri adalah kata Yunani yang berarti manusia adil atau perihal keadilan.[17]
Keadilan adalah keutamaan (arete) yang membangun kepribadian manusia secara utuh, pada saat yang sama menghidupkannya aktif dalam pergaulan sosial. Poin ini, yakni memandang citra keadilan pada pembinaan jiwa individu sama dengan citranya pada pembinaan pergaulan sosialnya, adalah bagian lapisan paling dasar dalam filsafat politik Plato.
Ketika para peserta dialog mendiskusikan hakikat keadilan, Socrates mengusulkan supaya pertama-tama mengkaji keadilan dan ketidakadilan pada tingkat negara, kemudian mengkajinya pada tingkat individu; menelusurinya dari yang besar ke yang kecil lalu membandingkannya.[18] Gloucon, salah satu peserta, malah memuji usul ini sembari sepakat dengan kesimpulan Socrates, bahwa "Tidak ada bedanya antara seorang yang adil dan masyarakat yang adil, maka keduanya sama, karena sama-sama membawa hakikat keadilan".[19] Masalahnya, apakah hakikat keadilan? Dengan kata Copleston, apakah prinsip-prinsip keadilan individu dan keadilan sosial?
Keadilan menjalani definisasi yang beragam di sepanjang diskusi. Mulai dari "memenuhi hak orang lain"[20] melalui "kepentingan orang yang lebih kuat"[21] sampai "menjalankan tugas masing-masing dan tidak campur tangan dalam tugas selainnya"[22]. Definisi terakhir dikontraskan dengan penerjangan atau pemerkosaan politis,[23] yang pada gilirannya menimbulkan kekacauan sebelum dapat membubarkan kehidupan bernegara. Dari sinilah Plato meyakinkan kita bahwa keadilan -menurut definisi ketiga- merupakan landasan kehidupan bermasyarakat.[24]
Dalam rangka itu, diperlukan spesialisasi. Yakni, setiap anggota memerlukan keahlian dalam menjalankan tugasnya, kecil ataupun besar, sekalipun ia tukang kayu atau pengesol sepatu. Plato menyatakan bahwa perkara pengelolaan masyarakat memerlukan lebih dari sekadar keahlian. 'Lebih dari sekadar keahlian' memperingatkan aksioma yang berlaku bahwa pemerintahan bukan hanya bekerja guna memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga menyediakan lahan-lahan pengembangan spiritual dan moral masyarakat. "Oleh karena ini", tutur Socrates, "kamu hanya akan menyerahkan kendali masyarakatmu ke tangan orang-orang yang dari satu sisi mengetahui syarat-syarat kebajikan hakiki masyarakat lebih dari yang lain, dan dari sisi lain mereka berwenang menerima kehormatan di atas posisi memerintah".[25] Lalu, siapakah mereka itu?

Pemimpin Ideal
Adapun definisi kedua, seperti yang ditawarkan Thrasymachus, ialah kepentingan orang yang lebih kuat. Atas dasar ini, pertanyaan di atas tadi bisa diperjelas menjadi, siapakah orang yang kuat itu?
Brehier menyimpulkan bahwa hakikat keadilan berpijak pada hubungan-hubungan yang diatur oleh kekuatan. Maka, siapa saja yang lebih kuat, dialah yang berkuasa. Tetapi, kekuatan tidak hanya bersifat fisikal atau material seperti halnya dalam pandangan orang awam. Manusia kuat yaitu manusia yang pandai mempelajari hukum dan perundang-undangan. Jadi, kekuatan yang sesungguhnya ialah yang seutuh dengan 'kebijakan' mengenai politik, dengan syarat bahwa ada 'keberanian' dalam melaksanakannya. Hanya saja keberanian, yang dengannya kita bisa menundukkan orang lain, juga harus bisa kita terapkan dalam menyikapi diri kita, yakni 'menguasai diri'. Pada karakter yang terakhir ini kita bisa menyeimbangkan keputusan serta tindakan.[26]
Keseimbangan adalah keutamaan yang menciptakan keharmonisan antara itikad, nafsu dan akal. Dan, keutamaan mutlak hanya akan tercapai tatkala setiap unsur jiwa melakukan fungsinya masing-masing secara harmonis.[27] Inilah keadilan individu. Sebagaimana di dalamnya terdapat tiga karakter, dalam masyarakat yang adil pun harus ada tiga karakter yang sepadan, yaitu pegawai sipil, prajurit dan pemimpin. Maka, hakikat keadilan itu sama, dalam tingkat perseorangan maupun dalam kehidupan bernegara.
Menjawab pertanyaan di atas, Plato mengatakan bahwa mereka yang berhak mendapatkan kehormatan lebih dari sekadar memimpin dan memerintah ialah manusia-manusia adil dan berkeutamaan; yang sempurna dari segala sisi.[28] Sembari mengidentikkan keutamaan dengan kebijakan (pengetahuan hakiki), Plato hendak menunjukkan dalam Republika bahwasanya seseorang hanya mampu mengajarkan keutamaan tatkala ia memiliki kebijakan dan pengetahuan yang sesungguhnya (episteme) tentang kemaslahatan manusia.[29] Merekalah sang filsuf.

Siapakah Filsuf?
Anjing. Inilah binatang yang bisa kita temukan sebagai jawaban Socrates dalam Republika.[30] Sebelum saya atau mungkin juga Anda, Glaucon sudah lebih dahulu kebingungan saat ditanya sang guru, "Adakah bedanya antara anjing dan pemuda berani?". Tak lama setelah mereka sepakat bahwa penguasa itu mesti berbelas kasih pada kawan-kawannya sekaligus beringas terhadap musuh-musuhnya, dan bahwa kedua karakter yang saling bertentangan itu mungkin sekali menyatu pada satu sosok sebagaimana pada seekor anjing ronda, lagi-lagi Glaucon kebingungan tatkala Socrates menanyakan karakter dasar anjing yang melatari dua karakternya yang terdahulu. "Penangguhan keramahan atau kemarahan anjing pada sekedar pengetahuan dan ketidaktahuannya merupakan naluri yang teramat bijak padanya dan sebuah kiasan tentang hasratnya pada pengetahuan. Bukankah ini fenomena filsafat yang sesungguhnya?". Dengan cara ini Socrates memberikan sentuhan awal ihwal sosok penguasa yang filsuf kepada kita.
Di sepanjang Republika sendiri, sesungguhnya Plato memberikan jawaban yang beragam. Dan boleh jadi kiasan anjing untuk seorang filsuf amat berlebihan, atau terkesan dipaksakan. Sebagaimana pada alur dialog mengenai konsep keadilan terdahulu, kiasan itu lebih tepat bila dipandang sebagai pendakian dialektis untuk menemukan jawaban yang diupayakan sebagai kesimpulan final. Menurut telaah Brehier, di antara sifat-sifat yang diberikan untuk sang filsuf, ada dua hal esensial yang kerap mengecoh prima facie kita sampai mungkin mempertentangkannya. Bahwa dari satu sisi, seorang filsuf harus lari dari dunia fana ini guna menyucikan diri dan memasuki alam hakikat (idea). Dari sisi lain, ia pun harus membangun masyarakat madani dan mendisiplinkan lalu lintas interaksi sosial secara apik di dalamnya. Filsuf ialah manusia bijak yang membebaskan diri dari dunia sekaligus pelaku politik yang adil.[31]
Guthrie mengatakan, filsuf ialah totalitas semua karakter mulia; keseutuhan hakikat, keadilan, keberanian, penguasaan diri, kecerdasan, kehormatan dan kecintaan dalam dirinya, sehingga ia dapat menyaksikan realitas sebagaimana adanya. Filsuf ialah manusia yang menyandang sifat-sifat mulia tersebut.[32] Pada dasarnya, intelektualitas, irfan dan politik merupakan sel-sel dasar sosok filsuf platonian.

Bagaimana Menjadi Filsuf?
Dalam hal ini, Socrates segera menunjukkan bagaimana pemimpin idamannya bisa memiliki pengetahuan hakiki dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan pandangan epistemologisnya, ada dua macam pengetahuan yang bisa kita miliki; pengetahuan sensual (doxa) dan pengetahuan rasional (episteme). Yang pertama itu terbagi kepada dua macam yang semuanya tidak layak diangkat sebagai pengetahuan hakiki lantaran parsial, tidak konstan, dan tidak pasti. Bersandar pada pengetahuan sensual, kita hanya bisa mengetahui sesuatu sebagaimana yang tampak pada pandangan kita, bukan sebagaimana adanya pada dirinya. Adapun pengetahuan rasional berurusan dengan alam hakikat. Padanya terbuka kemungkinan mendapatkan pengetahuan yang hakiki; yang bersifat niscaya, konstan, universal, yang sebenarnya pernah diketahuinya sejak sebelum kedatangannya di dunia yang fana.[33]
Kalau Anda sepakat dengan Plato, segara keluarkan diri Anda dari dunia materi (kosmos oisthetos) menuju dunia transendental (kosmos noetos). Selanjutnya, Plato akan membantu Anda tidak untuk belajar dan mencari ilmu, tetapi melatih, mendidik dan mengembangkan diri guna mengingat kembali hakikat yang terlupakan itu akibat ruhnya yang berlumuran materi. Yaitu dengan cara:
1. Dia mendorong Anda menyadari kekurangan pengetahuan sensual, dan membenturkan perhatian pada hal-hal luar biasa di alam materi.
2. Mengajak Anda menelaah Aritmetika, Geometrika dan Astrometrika untuk melatih pikiran mengkaji hal-hal abstrak dan universalia.
3. Untuk tujuan yang sama, Plato akan menganjurkan Anda mempelajari nada-nada suara dan musik.
4. Akhirnya, Anda menjadi siap melepaskan diri sepenuhnya dari dunia materi dengan metode kajian dialektis. Tatkala Anda memulai menyingkap hakikat absolut hanya dengan akal nurani secara tekun sampai menyaksikan kebajikan mutlak, saat itulah Anda telah mendapatkan diri Anda di puncak alam transendental.[34] Jelas bahwa rangkaian perjalanan ini bukan sekadar usaha intelektual-kultural, tetapi juga suluk ruhani, pengawasan atas diri dan kemaslahatan bangsa.[35]
Dua bentuk usaha ini dimaksudkan sebagaimana yang dilukiskan Socrates dalam kiasan guanya yang masyhur itu. "Mereka yang tidak tahu filsafat seperti tahanan-tahanan yang tersekap dalam gua. Karena terbelenggu, mereka hanya bisa melihat ke satu arah sembari menghadap dinding, sementara api menyala di belakang mereka. Ketika itu, mereka hanya melihat bayangan diri mereka serta bayangan apa-apa di balik punggung mereka yang dipantulkan api itu ke layar dinding. Dengan begitu, mereka menganggap deretan bayangan itu sebagai kenyataan. Mereka tidak tahu asal semua bayangan itu. Akhirnya, seseorang meloloskan diri, keluar dari gua, menjejaki hamparan cahaya matahari, sehingga ia melihat realitas segala sesuatu untuk pertama kalinya. Ia baru sadar bahwa selama ini ia tertipu oleh semua bayangan tersebut. Jika tahanan pelarian ini ialah seorang filsuf yang layak memimpin, maka ia wajib kembali ke gua. Di dalamnya ia menerangkan hakikat yang sebenarnya kepada para tahanan serta menunjukkan jalan selamat".[36]

Apakah Amanah Filsuf?
Melalui kiasan gua sang guru, Plato menunjukkan filsufnya bahwa ia adalah pemimpin ideal yang terdidik dan telah mencapai derajat tinggi melalui pencapaian intelektual dan spiritual. Dialah yang telah keluar dari gua materi, menapaki dunia nur hakikat-makrifat. Kemudian ia pun kembali ke gua dan membebaskan orang-orang yang terpenjara di dalamnya.[37] Socrates mengatakan, "Di dalam gua itu, mula-mula ia akan menghadapi karakter dan tabiat masyarakat tak ubahnya kanvas yang penuh dengan lukisan jelek dan acak, lalu menghapus dan senantiasa mengapusnya sampai kanvas itu bersih".
Yakni, pemimpin platonian tidak hanya bertanggung jawab memakmurkan kehidupan materi bangsa. Ia laksana cahaya hidayah yang mengarahkan mereka menuju kebajikan dan kebaikan absolut, dengan cara membersihkan karat-karat kehinaan dan menaburkan nilai-nilai keutamaan sejati dalam diri dan hidup mereka. Cara ini mempertegas bahwa pemimpin juga bertanggung jawab memakmurkan jiwa dan spiritualitas rakyat. "Ia akan mengusahakan tugas ini sampai karat-karat yang merusak itu hilang dan jiwa mereka ibarat lembaran yang putih bersih. Percayalah, bahwa hal ini bukanlah perkara yang sederhana...".[38]
Begitu banyak orang yang percaya pada pengakuan tulus Plato ini, bahwa perihal menjadi pemimpin platonian dan menjalankan tugasnya memang tidak sederhana. Kalau Copleston masih setengah hati memahami ketidaksederhanaan ini sama dengan kemustahilan,[39] tampak bagaimana R.K.Popper dalam separuh The Open Society and Its Enemies begitu gigihnya menyatakan bahwa pemerintahan dan pemimpin arahan Plato lebih merupakan utopia. Kendati Bertrand Russell mengajukan Sparta dan pemerintahan Pitagorian sebagai wujud konkret dari impian Plato, tapi ia sendiri menyadari kemustahilannya dalam ukuran zaman sekarang.[40]
Plato sendiri, seandainya diberi kesempatan untuk reinkarnasi setetangga dengan Copleston atau Russell di London, tentu ia tidak akan mengikuti pemilu di sana. Tapi, kalau lalu ia diterbangkan ke Tehran, barangkali ia lebih suka menata kasut di husainiyah Jamaran. Pemiliknya adalah satu dari sisa keturunan keluarga besar urafa. Hanya ia bersama Allamah Thabathabai yang berani membuka kuliah filsafat dan teosofi Hikmah Muta'aliyah di kalangan Hauzah Ilmiyah.
Ruhullah bin Musthafa Khomeini. Ialah ayatullah (mujtahid mutlak). Ia baru disebut-sebut Imam (sang pemimpin) tatkala bangkit menyerukan gerakan revolusioner kepada rakyat Iran. Sampai sekarang, sebutan Imam itu masih lebih populer ketimbang namanya. Boleh jadi Plato juga tidak berlama-lama di sana, sebab Imam Khomeini ternyata mengakui Demokrasi; model pemerintahan yang sangat dibencinya. Atau, malah semakin betah lantaran kiasan guanya itu begitu dekat dengan Asfar Arba'ah yang dipercayai Imam Khomeini dari tradisi kaum urafa. Titik temu inilah yang akan membawa kita menelusuri dialog singkat di antara mereka.

Kenabian
Asfar Arba'ah yaitu empat perjalanan, sebuah ajaran Irfan Teoritis yang mutlak diterima oleh kaum urafa dan awliya. Yakni, perjalanan dari makhluk menuju Al-Haq, perjalanan dengan Al-Haq pada Al-Haq, perjalanan dari Al-Haq menuju makhluk dengan Al-Haq, dan perjalanan dengan Al-Haq pada makhluk.[41]
Kiasan gua Plato di atas itu begitu dekat, paling tidak, dalam perbandingannya dengan Perjalanan Pertama dan Keempat. Yakni, kalau filsuf itu akhirnya kembali dari alam transendental ke tengah manusia untuk membebaskan mereka, Perjalanan Keempat kaum urafa menggambarkan bahwa seorang hamba Allah sampai pada derajat tertinggi, yakni wilayah (kedekatan yang sempurna dengan Tuhan[42]) dan kembali ke dunia untuk mengurusi hidup manusia.[43]
Dalam Ta'liqat (komentar) atas Fususul Hikam-nya Ibnu Arabi, Imam Khomeini bersama arif lainnya percaya bahwa derajat wilayah ini tidak akan pernah terputus.[44] Yakni, alam semesta ini di sepanjang zamannya tidak akan pernah kehilangan wali. Dan, wali mutlak yang sesungguh-sungguhnya ialah Muhammad bin Abdillah saww.
Dalam risalah Misbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah, Imam Khomeini menyatakan bahwa pada perjalanan keempat, seseorang bisa mendapatkan kenabian. Maka itu, seorang nabi niscaya telah menempuh empat perjalanan itu.[45] Para nabi akan berada di tengah masyarakat, "membawa syariat, menyampaikan hukum-hukum dzahir dan batin, mengajarkan dan memberitakan dzat Allah, sifat dan asma'-Nya serta hakikat alam, sesuai dengan tingkat kapasitas mereka".[46]
Barangkali Plato tidak keberatan dengan kritik Imam Khomeini atas Ibnu Arabi yang menganggap ilmu Nabi Daud as. tentang hukum syariat diperolehnya melalui ijtihad (usaha penyimpulan) yang bisa keliru. Ia mengatakan bahwa ilmu para nabi adalah mukasyafah (penyingkapan hakikat ilmu Tuhan) dan pasti benar. Berdasarkan ilmu tersebut, mereka mengajarkan dan menegakkan hukum kehidupan di bumi. Mengajarkan hukum berarti menyampaikan agama, menerapkan hukum yaitu menyelenggarakan dan mengelola kehidupan masyarakat berdasarkan agama tersebut.[47] Inilah poin pertama yang mendekatkan –identitas dan fungsi- seorang filsuf Plato dan sang nabi Khomeini.
Kendati wilayah atau wali selalu dan niscaya ada di alam ini pada setiap zaman, tidak demikian halnya dengan kenabian yang bisa terputus-putus, karena ia berkisar pada kebutuhan hidup siyasah (politik), muamalah dan ibadah.[48] Imam Khomeini seperti halnya umat Islam meyakini prinsip Khatamiyah (akhir kenabian) pada syariat Nabi Muhammad saww. yang sempurna, lengkap dan menjamin semua kebutuhan hidup serta tuntutan zaman.[49] Masalahnya, apakah ketiadaan Nabi saww. berarti berakhir pula fungsinya; pengajaran agama dan pengelolaan hidup? Akankah Plato mengizinkan filsufnya disejajarkan sama dengan selain nabi?

Khilafah
Masih bagian kesepakatan kaum urafa bahwa kenabian sebagai pemberitaan dan pengajaran hukum Tuhan ialah sisi dzahir dari khilafah dan wilayah.[50] Di sini, Ibnu Arabi meyakini bahwa khilafah itu tidak perlu ditetapkan dan dinyatakan secara tegas (tanshish). Imam Khomeini lagi-lagi secara keras menyanggah bahwa "Selain khilafah maknawiah -penyingkapan ruhani akan hakikat-hakikat melalui penyaksian alam asma' dan a'yan- terdapat khilafah dzahiriah yang merupakan bagian kedaulatan ilahi atas manusia dan harta milik. Khilafah dzahiriah ini sama seperti kenabian; sebuah perkara yang tidak tampak pada umat manusia. Oleh sebab itu, perkara ilahi ini pun harus dinyatakan secara tegas".[51]
Keharusan menentukan dan menyatakan khilafah dzahiriah merupakan salah satu kewajiban ilahi terbesar atas Nabi saww., "Karena peneledoran sebuah perkara yang malah mengacaukan kehidupan umat, meruntuhkan prinsip kenabian dan menyia-nyiakan hukum syariat, merupakan keburukan yang paling buruk, yang tidak ada seorang pun akan membiarkannya dilakukan oleh orang biasa, apalagi oleh seorang nabi yang mulia".[52] Dengan izin dan ilmu Allah, sang nabi niscaya menentukan khalifah setelahnya. Maka itu, ketiadaan Nabi saww. tidak berarti berakhir pula fungsinya mengelola kehidupan umat.[53] Lalu, bagaimana dengan mengajarkan dan menetapkan hukum?
Imam Khomeini percaya akan adanya manusia-manusia sempurna selain nabi yang bisa menempuh empat perjalanan itu dan sampai derajat khilafah dan wilayah seperti; Ali bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya yang maksum. Mereka tidak membawakan hukum Tuhan, karena Nabi saww. sebagai pemegang tunggal maqom jam'ie, tidak lagi menyisakan bidang penetapan hukum (tasyri') untuk seorang pun dari makhluk Tuhan.[54] Mereka diangkat oleh Tuhan melalui Nabi saww. sebagai khalifah untuk menerangkan dan menegakkan hukum yang sudah ada.[55]
Sampai di sini, kiranya bisa diprediksikan adanya izin Plato untuk mengajukan Ali dan sebelas keturunannya sebagai filsuf yang layak memimpin. Sebagai penganut Syiah, Imam Khomeini menyebut dua belas manusia itu sebagai Imam. Imam ialah seorang yang berhak memegang kedaulatan ilahi di bumi sepeninggal Nabi saww.
Baik Ibnu Arabi maupun Imam Khomeini sepakat bahwa Imam kedua belas ialah qutub dan insan kamil; manusia sempurna yang memegang maqam wilayah. Dialah Imam Mahdi, bernama Muhammad bin Hasan Al-Askari, Imam terakhir manusia sampai kehidupan dunia berakhir.[56] Dialah yang berhak mengemban kewenangan memerintah dan mengeksekusi hukum-hukum agama di muka bumi.
Muhammad Al-Mahdi adalah satu-satunya nama yang akan diajukan Imam Khomeini sekiranya ia ditanya kita, "Siapakah pemimpin Anda?". "Di manakah dia?" ia akan tegas menjawab kita, "Ia ada di sekitar kita". Yakni, Imam Mahdi, sang pemimpin ideal Khomeini itu sudah lahir, ada bersama kita namun tidak tampak. Dia dalam Keghaiban Besar (ghaibah kubra), dan akan muncul pada saat dunia dibungkus kedzaliman.
Imam Khomeini yakin bahwa kepemimpinan dan kepemerintahan ilahi di bumi manusia adalah keniscayaan sebuah kenabian, wahyu dan agama. Pada zaman Nabi dan para Imam, kedaulatan dan kewenangan itu berada pada mereka masing-masing. Hanya saja, "Pemerintahan Rasul dan para Imam terkait pada masa mereka, dimana Allah melalui nash Al-Qur'an telah mewajibkan ketaatan pada mereka atas semua manusia. Kini, kita tidak berurusan dengan masa itu. Yang penting bagi kita adalah masa sekarang ini".[57] Ini berarti bahwa di dalam masa-masa Keghaiban Besar Imam Mahdi sekalipun, kepemimpinan, kepemerintahan dan penegakan hukum syariat adalah keharusan.
Persoalannya adalah, sementara kepemimpinan dan kedaulatan ilahi itu berada pada Nabi, para Imam dan Imam Mahdi pada zaman sekarang, tetapi ia tidak hadir di tengah kita maka tidak bisa menegakkannya, masihkah ada sisa kedaulatan ilahi untuk selain mereka? Adakah pemimpin ideal selain Nabi dan Imam? Dan, masihkah Plato mengizinkan filsufnya disejajarkan sama dengan selain Nabi dan Imam?, pertanyaan ulangan yang tidak mesti mengulang jawaban. Dari sini, kita mulai berusaha membongkar kriteria dasar pemimpin ideal, apakah ia seorang nabi, imam ataupun bukan. Kitapun segera akan menuai sejumlah perselisihan mencolok antara Imam Khomeini dan Plato.

Wali-Faqih
Kendati pandangan-pandangan Imam Khomeini di atas itu didekatkan melalui irfannya, namun sejalan tepat dengan kajian rasional dan tekstual agama. Sebab, Irfan Imam Khomeini pada dasarnya bersumber dari Al-Qur'an dan Ahlul Bait as.,[58] dan dijembatani oleh akal atau demonstrasi.[59] Meski begitu, ketajaman rasional dan kedalaman tekstualnya tampak lebih lugas dalam menjawab pertanyaan di atas.
Beranjak dari pandangan dunia Tauhid, Imam Khomeini yakin bahwa kekuasaan dan kepemerintahan adalah kewenangan Tuhan semata. Tidak ada selain Tuhan yang berhak menguasai dan menetapkan undang-undang atas sesamanya.[60] Di hadapan-Nya, semua manusia itu sama. Maka, "Segala bentuk pemerintahan; konstituante, tirani, diktator, demokrasi, tidak ada perbedaan mendasar selain kepalsuan retorika dan penipuan para pembuat undang-undang."[61]
Sebagai kepanjangan rububiyah dan kepemerintahan Tuhan di bumi, Nabi menyampaikan wahyu atau agama, yaitu undang-undang agung Tuhan untuk mengelola dunia dan tata kehidupan[62], serta menerapkannya. Sebab, menetapkan undang-undang saja tidaklah berarti apapun, tidak pula sanggup mencukupi hidup manusia. Undang-undang hanya dapat menjamin kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat tatkala ia dilapisi kekuasaan eksekusi. Oleh karena ini, Allah mewajibkan pemerintahan.[63] Jelas bahwa kewajiban (kifayah)[64] ini tidak hanya berlaku pada zaman Nabi, tetapi menjadi tetap valid selama ada agama dan undang-undang ilahi. Imam Khomeini mengatakan dalam kumpulan fatwa fiqihnya, Tahrir Wasilah, bahwa Islam adalah agama politik dengan segenap urusannya.[65] Prinsip ini melenggangkan upayanya guna menemukan kriteria-kriteria dasar pemimpin ideal politik-agama.
Bahwasanya penyelenggara pemerintahan, penanggung jawab pelaksanaan hukum dan pengelolaan masyarakat harus komit; menjaga dan menjalankan hukum-hukum agama itu sendiri. Maka itu, pemerintahan Islam ialah pemerintahan hukum Tuhan atas rakyat, dan seseorang layak pemimpin pemerintahan manakala ia komit pada hukum Tuhan tersebut. Komitmen ini merupakan konsekuensi dari esensi pemerintahan Islam, yang pada gilirannya menuntut dua kriteria dasar yang tidak boleh tidak bagi setiap pemimpin bangsa; yaitu tahu hukum dan adil.[66] Imam Khomeini mengatakan, "Karena pemerintahan Islam itu pemerintahan hukum, bahkan pemerintahan hukum Tuhan, dan didirikan guna menegakkan hukum dan keadilan Ilahi di tengah manusia, maka harus ada dua karakter pada seorang pemimpin sebagai asas pemerintahan hukum yang tidak mungkin berdiri tanpa keduanya, yakni pengetahuan tentang hukum dan keadilan. Adapun perihal leadership termasuk dalam pengetahuan dalam sekupnya yang lebih luas.[67]
Mengingat bahwa masalah pemerintahan bersifat supraspasio-temporal, berakhirnya masa kenabian dan khilafah atau ketidakhadiran para manusia maksum tidak mesti membekukan pemerintahan. Maka itu, "Andaikan Tuhan tidak menentukan seseorang untuk memerintah, namun terdapat dua kriteria mutlak (tahu hukum dan adil) pada seorang pemimpin dari sejak kelahiran Islam sampai masa Imam Mahdi, pada masa keghaibannya pun tetap berlaku, seperti yang tampak pada para faqih zaman kita ini".[68] Faqih ialah seorang mujtahid yang bukan sekadar tahu hukum dan perundang-undangan pidana Islam, tetapi juga alim akan akidah, syariat, dan akhlak, yakni ahli agama dalam arti yang selengkapnya.[69] Dan faqih yang adil ialah wali atau wali-faqih; pemimpin umat yang ideal. Sejauh kajian fiqih mayoritas mujtahid Syiah, Imam Khomeini pun menegaskan bahwa kriteria seorang wali-faqih itu juga terdapat dalam banyak riwayat. Ia membahasnya secara rinci dalam kuliah fiqih mengenai Bay'i (jual beli).[70]
Dengan mengangkat sosok faqih dalam kepemerintahan sebagai wali (pemimpin), sesungguhnya Imam Khomeini telah mengajukan konsep utamanya dalam politik, yakni Wilayatul Faqih. Salah bila kata wilayah ini difahami sama atau dihubung-hubungkan dengan derajat wilayah dalam tradisi Irfan. Karena, "Wilayah ini tidak berarti wilayah mutlak Ilahi yang populer di kalangan urafa dan sebagian filsuf, tetapi kewenangan konvensional, seperti kewenangan dan jabatan pada umumnya masyarakat".[71] Maka, wilayah seorang arif bukan kriteria yang dengannya ia berhak memerintah. Tetapi, faqahah (keilmuan agama) seorang yang adil-lah yang berwenang dan berkuasa.
Kaitannya dengan Imam Mahdi; qutub, pasak alam dan pemimpin dunia sejati, wali-faqih adalah naib (wakil)-nya dalam ketidakhadirannya, sebagaimana Imam Mahdi sendiri adalah kepanjangan penegakkan agama Ilahi para Imam dan Nabi saww. yang telah mendahuluinya.
Tampaknya, Imam Khomeini sepakat dengan Plato untuk sama-sama menolak model-model pemerintahan yang ada. Bedanya, yang pertama mengambil cara induksi dan yang terakhir memulai dari cara deduksi. Meski begitu, tidak berarti bahwa Imam Khomeini memandang kecil ihwal cara kedua itu. Kondisi zamannya tidak lagi merepotkan dirinya harus melakukan ekspolasi ke berbagai negeri sebagaimana yang dijalani Plato. Anggapan saya akan lebih menghampiri jerih usaha mereka berdua bila ditegaskan, bahwa penolakan mereka itu diangkat dengan dua sayap induksi dan deduksi sekaligus.
Namun, dalam asumsi berbedanya kesimpulan induksi dan deduksi, Imam Khomeini akan tetap mempertahankan sikapnya. Yakni, segala model pemerintahan yang adil atau zalim namun berada di luar landasan Tauhid tidaklah valid (syar'i). Sebuah pemerintahan adalah sah dan legal bila menyambung dengan Tauhid dan kehendak Tuhan. Sambungan itu bisa terlaksana dengan dua modus yang bahkan bersifat konvensional, yaitu penunjukkan personifikatif (tanshish) seperti pada para manusia maksum (nabi dan imam), atau kriteriatif (taushif) seperti pada para faqih dan mujtahid.
Bagaimanapun, di sini jelas sekali Plato akan kecewa menyimak definisi wali-faqih sebagai pemimpin ideal, setidaknya ia tidak menemukan sisi pencapaian alam hakikat pada sosok itu. Barangkali ini sebuah isyarat awal yang membawa kita memahami apa yang dipahami oleh Popper itu. Yang perlu kita selidiki ialah, sejauh mana rentang idealisme Plato dan wali-faqih Imam Khomeini?, dan adakah isyarat lain yang menahan atau malah mempertajam isyarat awal itu?

Faqahah (Keilmuan)
Dalam pembukaan Surat Wasiat Politik yang terkenal itu, Imam Khomeini berpesan bahwa "Fiqih sunnati (tradisional) yang di dalamnya terkandung hukum awwali (primer) dan hukum tsanawi (sekunder) merupakan penjamin kemajuan dan keunggulan bangsa-bangsa. Mereka mesti sadar bahwa satu langkah penyimpangan adalah awal keruntuhan agama, hukum Islam dan pemerintahan Keadilan Ilahi".[72]
Menjadi seorang faqih atau pakar fiqih dan hukum Islam memerlukan sejumlah keahlian di bidang-bidang seperti:[73] ilmu-ilmu sastra Arab, Mantik, Usul Fiqih, Ulumul Quran, Riwayah, Dirayah, memahami Al-Qur'an dan hadis-hadis yang diperlukan dalam penyimpulan hukum, menelaah maksud-maksudnya secara linguistik dan konvensional (yang biasa dan umum berlaku), mempelajari pertentangan antarayat dan hadis serta indikasi-indikasi di sekitarnya secermat mungkin, dan berusaha mengetahui asbabul nuzul dan wurud serta tehnik inferensi para Imam maksum, juga mengkaji fatwa-fatwa ulama 'ammah (Ahli Sunnah). Yang tidak kalah pentingnya ialah pembiasaan mendeduksi hukum parsial dari kaidah guna menemukan dan menguatkan skill ijtihad. Berbeda dengan kecenderungan umum yang berkembang, Imam Khomeini mengingatkan pelajar untuk tidak menggeluti bidang-bidang itu dengan kejelian yang berlebihan yang berbaur ketelitian falsafi, sehingga melampaui tujuan utama, yakni upaya memahami dan menyimpulkan hukum yang lebih berdasarkan metode uqola'i (konvensional) dan data common sense.[74]
Satu hal yang tampak lebih menonjol dan begitu penting pada ijtihad Imam Khomeini daripada yang dikembangkan oleh para pendahulu dan sejawatnya ialah dua unsur; ruang dan waktu.[75] "Saya pribadi yakin pada fiqih tradisional dan ijtihad jawahiri, dan saya menganggap tidak benar menyimpang darinya; ijtihad dengan pola itu sudah sahih. Meski begitu, hal ini tidak berarti bahwa fikih Islam tidak dinamis. Ruang dan waktu merupakan dua unsur yang menentukan dalam perijtihadan mereka".[76] Lebih dari ijtihad yang umum di kalangan Hauzah, Imam menegaskan bahwa "Seorang yang sekalipun lebih ahli di bidang-bidang ilmu Hauzah, namun tidak punya pengamatan yang tepat dan kekuatan dalam mengambil sikap bukanlah seorang mujtahid dan tidak laik memegang kendali masyarakat". Untuk selanjutnya ia menganjurkan mujtahid agar memikirkan dan mempelajari pranata-pranata pengelolaan hidup rakyat yang mungkin sekali berubah di kemudian hari dan mereka membutuhkan hukum baru Islam untuk memecahkan persoalan-persoalan yang muncul.[77]
Sejalan dengan doktrin falsibilitas ijtihad (Takhtiah), maka usaha penyimpulan hukum (ijtihad) ini, kendati dimaksudkan untuk menyingkap hukum waqe'i (sesuai dengan kehendak Tuhan), dalam banyak kasus hanya menyajikan hukum dzahiri yang boleh jadi tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena keserbaterbatasan dan sekian udzur yang ditolelir oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, seorang mujtahid yang menyimpulkan hukum dengan segenap usaha dan keahliannya, ia dan muqallid (pengikut)-nya dibenarkan mengamalkan hukum itu, dan Tuhan tidak mempertanggungjawabkan mereka sekiranya hukum itu tidak sesuai dengan kehendak-Nya.[78]
Tampak bagaimana arti ijtihad yang diketengahkan Imam Khomeini di atas berbenturan keras dengan epistemologi Plato yang memesankan pengetahuan hakiki kepada filsufnya. Berbeda dengan doktrin "kemaksuman" (Tashwib) pada umumnya mujtahid Ahli Sunnah, doktrin falsibilitas (Takhtiah) yang dianut Imam Khomeini dan para mujtahid Syiah mendudukkan vis-a-vis filsuf Plato dan wali-faqih secara lebih terbuka.
Dengan ungkapan lain, seorang filsuf platonian ialah seorang alim yang pasti tahu hukum waqe'i melalui justifikasi rasional dan penyaksiaan hakikat segala sesuatu di alam idea, bukan sekedar tahu hukum dzahiri dengan mengandalkan cara-cara uqola'i dan data-data common sense. Pada hemat Imam Khomeini, alim yang demikian ini justru lebih mendekati identitas Imam Mahdi yang wali atau filsuf yang arif. Akan tiba saatnya kita menyimak idealisme yang diakui Plato sendiri sulit berkuasa secara praktis.[79]
Imam Khomeini mengatakan, "Ilmu tentang hakikat malaikat, hakikat sifat Allah, begitu juga keahlian di pelbagai bidang ilmu pengetahuan alam dan hukum-hukumnya, atau tentang seluk beluk musik, semua itu tidak membuat seseorang laik menduduki khilafah dan mengendalikan pemerintahan; mengungguli manusia-manusia yang adil dan ahli hukum Islam".[80] Di tempat lain ia menerangkan, "Faqih ialah seorang yang bukan sekadar tahu hukum dan perundang-undangan pidana Islam, tetapi juga alim akan akidah, syariat, dan akhlak, yakni ahli agama dalam arti yang selengkapnya.[81]

Keadilan (Takwa)
Yaitu dimensi spiritual yang unggul yang melengkapi keunggulan intelektual sang pemimpin. Di atas itu, Plato mengartikan keadilan sama dengan trilogi keseimbangan; itikad, akal dan nafsu, pengertian yang juga mentradisi dalam teori Akhlak Islam, termasuk dalam Akhlak Imam Khomeini. Justru itulah salah satu alasan Imam memberikan penghargaannya pada Plato.
Lebih dalam lagi menggali Akhlak Plato, kita akan menjumpai diktum “Gnoti seauton, meden agan!” (kenali dirimu, dan jangan keterlaluan!), sabda tujuh filsuf Yunani yang terukir di atas gerbang peribadatan Apollo.[82] Dalam bahasa hadis nabawi, gnoti seauton itu didengarkan melalui ma'rifatun-nafs; sebuah kalimat yang menempati jantung Irfan Amali, tidak terkecuali pada irfan Imam Khomeini. Hanya uniknya, ia mengukir kalimat itu dengan tinta 'fitrah' di atas permukaan batin orang awam sekalipun.[83] Karena paling merata dan tidak pernah hilang,[84] fitrah selalunya di antara kata lalai (ghaflah) dan insaf (yaqzah). Maka itu, akhlak dan irfan Imam Khomeini lebih bersifat penyadaran daripada pengajaran, yang jauh sebelumnya menjadi etos kebiasaan dialektis Tuan Socrates.
Namun demikian, titik-titik kedekatan di atas ini tidak cukup menjelaskan acuan Plato sekaitan dengan proses pencapaian keadilan. Artinya, selain etape-etape pencapaian pengetahuan episteme tersebut dahulu, tidak tersisa diskripsi literal darinya mengenai tahap-tahap praktis pencapaian keadilan, yaitu dari manakah seseorang harus memulai bersuluk dan bermakrifat untuk menjadi adil? Dan bagaimana seseorang memulai dan menjalani ma'rifatun-nafs? Kita dapat menemukan keterangan-keterangan khasnya dari Imam Khomeini secara sederhana tatkala ia mengurai Perjalanan Pertama dari Asfar Arba'ah, dengan terlebih dahulu menyunting pertanyaan tadi sesuai dengan apa yang ia bubuhkan untuk hadis ke-12 dalam Cehel Hadis (40 Hadis), yaitu; dari manakah memulai islahun-nafs (pembinaan diri)?
Adalah postulat Irfan Amali dan Tasawwuf bahwa sair suluk berpijak pada syariat untuk menjalani tarikat demi mencapai hakikat. Imam Khomeini mengatakan, "Sesungguhnya tarikat dan hakikat tidak akan tercapai kecuali melalui syariat, karena yang dzahir (pengamalan hukum-hukum syariat) adalah jalan menuju yang batin, bahkan yang dzahir itu tidak akan terpisah dari yang batin".[85]
Maka, pesuluk akan memulai Perjalanan Pertama Asfar Arba'ah-nya dari komitmennya pada hukum-hukum syariat. Komitmen inilah yang dimaksudkan oleh keadilan, yakni "Karakter yang kuat yang mendorong seseorang menjaga takwa; meninggalkan yang haram dan mengerjakan yang wajib",[86] dan "Keadilan ini bisa hilang dengan melakukan dosa besar atau mengulang-ulang dosa kecil".[87]
Tampak begitu jauh rentang antara derajat keadilan wali-faqih dan derajat keadilan filsuf-arif. Sementara filsuf platonian hanya berhak memegang kekuasaan dan kewenangan memerintah di bumi setelah menamatkan –sekurang-kurangnya- dua perjalanan dengan segenap jenjang di dalamnya, wali-faqih mendapatkan kewenangan yang sama hanya dengan komitmennya pada hukum-hukum dzahir syariat; jenjang yang mengawali jenjang-jenjang Perjalanan Pertama. Oleh karena itu, wali-faqih tidak mesti filsuf, tidak juga mesti arif. Begitupula sebaliknya, filsuf dan atau arif tidak mesti jadi wali-faqih.
Keadilan atau takwa -sebagai karakter yang subjektif- merupakan mahkamah internal yang kerap mengontrol dan mempertanggungjawabkan segenap komitmen religius wali-faqih dalam relung jiwanya, lebih dari sekadar komitmen moral. Keadilan itu pula yang sanggup menumpahkan kandungan motifasinya dalam berfikir, bersikap dan berbuat. Perihal pemerintahan sebagai amanat besar Tuhan Yang Mahatahu yang harus ditunaikan begitu ketat mengawal kesadaran dan konsistensi wali-faqih dalam menjalankan pemerintahannya, walaupun dengan motif takut adzab akhirat.
Sisi subjektivitas keadilan ini tidak berarti wali-faqih jadi sakral, tidak bisa dijamah, sebab Imam Khomeini mengaitkan standar keadilan dan komitmen itu –sekali lagi- pada hukum dzahir syariat yang bisa dilihat dan dinilai oleh orang awam sekalipun. Dia mengatakan, "Keadilan itu bisa diketahui lewat perilaku lahiriah yang baik, menjaga hukum syariat serta ketaatan agama, bergaul dalam masyarakat dan semacamnya. Tuhan mengakui penyingkapan baiknya penampilan dzahir atas baiknya batin, meski tidak cukup membuat orang puas atau menyangka baik".[88]
Dengan mengangkat komitmen lahiriyah sebagai standar, sesungguhnya Imam Khomeini menyempurnakan self-control tersebut dengan public control. Pada yang belakangan ini terkontekstualisasikan amanat-amanat ilahi seperti: nasihat kepada pemimpin umat, kewajiban sosial amar makruf dan nahi munkar pada semua level.

Bagaimana Wali Faqih Bisa Berkuasa?
Jauhnya rentang antara kriteria wali-faqih dan kriteria filsuf-arif mengesankan, bahwa usaha dan niat seseorang untuk mencapai derajat yang diharapkan Plato dari seorang filsuf tampak begitu sukar dan besar, terlampau tinggi di atas sekadar usaha dan tekad seseorang untuk menjadi wali-faqih. Namun, kalau pun kita asumsikan dua orang itu telah sanggup dan sampai pada derajat yang diharapkannya, yang pertama menjadi filsuf dan yang kedua menjadi wali-faqih. Seperti yang dipesankan baik oleh Plato juga oleh Imam Khomeini, bahwa mereka harus berada di tengah masyarakat manusia, berhak untuk berkuasa dan memimpin hidup mereka. Masalahnya ialah, bagaimana filsuf atau wali-faqih menyatakan dan mengaktifkan hak kekuasaan serta kepemimpinannya di tengah masyarakat? Dan dengan cara apakah sehingga mereka dapat menerima dan mengakui hak tersebut? Yakni, bagaimana mereka mengambil bagian yang sejatinya besar dari sejarah, budaya dan peradaban?
Andaikan Plato lebih dahulu menjawab, ia akan mengatakan bahwa filsuf bisa memegang kekuasaan dengan cara menerangkan undang-undang, model utama yang Ilahi dan konsep idealnya kepada masyarakat, serta mengikis habis sikap sinis mereka terhadap filsuf.[89] Karena pikiran filsuf dibangun di atas realitas sejati dan tatanan Ilahi yang kokoh, ia hanya akan dapat mengendalikan urusan-urusan manusia berdasarkan hukum dan model utama itu. Akan tetapi, justru karena idealisme dan keilahian inilah ia menghindar dari dunia manusia dan tidak menyukai keterlibatannya dalam urusan hidup mereka. Plato berkali-kali menyatakan bahwa sang filsuf dapat merebut kekuasaan dan kepemerintahan hanya dengan cara paksa.[90]
Sepertinya, filsuf platonian ialah seorang aristokrat yang berusaha, melalui pikirannya yang brilian dan sikapnya yang bijak, meyakinkan rakyat pada hak dan kelayakan kepemimpinannya. Namun, Plato sendiri tidak mampu melakukan hal itu, juga tidak pernah melihat wujud nyata filsuf lainnya yang dengan cara itu bisa meraih kekuasaan lalu memerintah. Entah apa yang akan ia haturkan manakala Imam Khomeini dapat membuktikannya di kawasan yang disebut Kissinger sebagai jantung dunia, di abad yang oleh Al-Jabirie disesalkan umat Islam di dalamnya sebagai maudu' (sasaran) kekuatan-kekuatan dunia. Anak Ariston itu mungkin tidak sekadar menata kasut di husainiyah Jamaran.
Meski begitu, Imam Khomeini sendiri menolak jika menggunakan pemaksaan. Sebab, "Kita tidak hendak memaksakan kehendak atas bangsa, karena Islam tidak membenarkan cara itu sehingga kita jadi diktator. Tuhan dan Nabi tidak pernah memberikan hak demikian itu kepada kita".[91]
Pada titik ini Imam Khomeini memilih demokrasi, bukan sekedar sebagai cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksananya dapat berkuasa serta efektif secara damai, bahkan menjadi satu lapisan ideologi yang seiring dengan kebebasan karuniawi manusia. Sebab, "Nasib selamat atau celaka suatu bangsa ada di tangan mereka sendiri".[92] Mereka bebas (secara natural). Manakala mereka memilih hukum Islam dan wali-faqih, mereka harus komitmen pada pilihan ini, yakni patuh dan menerima kebebasannya diatur oleh hukum dan wali-faqih. Kendati rakyat Iran telah menyambut kekuasaannya secara aklamatif, ia menerapkan demokrasi melalui referendum di awal kemenangan Revolusi yang menghasilkan 98, 2 % suara, dan pemilihan umum Majelis Pakar (Majlis Khubreghan) yang sudah berlangsung empat kali dalam seperempat abad usia Revolusi.
Maka dari itu, kekuasaan wali-faqih akan terwujud dalam masyarakat muslim sebagai masyarakat, yakni penerapan hak kedaulatannya dan kebijakan-kebijakannya adalah valid dan efektif atas suatu masyarakat yang punya kesadaran kolektif akan taklif (tanggung jawab ilahi) untuk melangsungkan kehidupan politik-negara melalui baiat; usaha menemukan pemimpin yang berkriteria dan menyatakan pengakuan mereka kepadanya.[93] Hal ini terangkum dalam epigram Rahbar Ali Khomenei, "Demokrasi Agama (mardum solori-e dini) yakni pemerintahan bimbingan Tuhan dengan kehendak rakyat".[94] Ia adalah sebuah ajaran yang membedakan demokrasi Islam dari demokrasi Barat dan Teokrasi, sekaligus ajaran yang mengelola demokrasi Barat dan Teokrasi.[95]
Dengan begitu, seorang wali-faqih, meski secara de jure mempunyai wewenang memerintah, ia memerlukan baiat; suara, kehendak dan konsensi rakyat untuk dapat tampil sebagai wali mereka, berkuasa dan mengaktifkan kewenangannya secara praktis. Pada intinya, wali-faqih yang berkuasa akan mendapatkan kekuatan legitimasinya dari dua sisi vertikal; dari Tuhan dan dari rakyat, sebentang jarak antara langit dan bumi.

Epilog
Oleh Plato, persoalan "Bagaimana filsuf bisa berkuasa?" sempat diupayakan saat memilih Dionosius, raja diktator Syrakousa sebagai pilot project-nya, dengan cara menggemblengnya sesuai ajaran-ajaran filsafatnya. Hasilnya, bukan hanya tidak mampu, malah raja itu pula yang secara tragis hampir membunuhnya,[96] mirip dengan hasil yang dialami muridnya sendiri, Arestoteles menjelang kematian sarjana politiknya, Alexander Agung. Tidak sepenuhnya keliru bila persoalan itu sesungguhnya lebih merupakan coup de grace yang melesak tepat di ubun-ubun sang filsuf platonian untuk meninggalkan kenyataan dunia dan sejarah, atau menangguhkan hidupnya di negeri Erewhon yang digubah Samuel Butler. Boleh jadi ia akan benar-benar terhibur dengan kehadiran Imam Khomeini sebagai pemimpin di dunia modern; dunia yang dianggap Bartrand Russell bukanlah wadah realitas yang mampu menampung idealismenya.
Maka itu, kalaulah dirasa berlebihan atau dilebih-lebihkan, sekali lagi tidak sepenuhnya keliru bila Imam Khomeini diangkat sebagai bukti sejarah yang kasatmata atas wujud sosok pemimpin ideal di dunia sekarang dalam ukuran seideal dan seklasik filsafat Plato sekalipun.
Bagi Imam Khomeini sendiri, pertanyaan itu malah membuka keyakinan dan harapan yang begitu besar. Belum ada orang yang menilai kepemimpinan wali-faqih sebagai utopia dan kemustahilan, kecuali tantangan dan peluang yang sama besarnya. Tatkala musuh-musuhnya hanya menantikan kematiannya sebagai akhir pemerintahan wali-faqih, Surat Wasiat Politik-nya dan kepercayaan bangsa padanya tidak membiarkan vakum sebelum matahari dibenamkan.
Sejauh Surat Wasiat itu berbunyi, tampak jelas kepuasan Imam Khomeini atas usaha dan perjuangannya. Di dalamnya, ia berkali-kali mengungkapkan rasa bangga terhadap bangsa dan agamanya. Ia mengatakan, "Kebanggaan manakah yang lebih besar dari kebuntuan Amerika dengan segenap kekuatan politik, teknologi dan militernya di hadapan bangsa ini".[97] Bangsa yang -menurut sang murid dan wali-faqihnya, Ali Khamenei- dibangun di atas kepercayaan iman tidak perlu pada nuklir. "Tekad mereka bahkan lebih hebat dan dahsyat daripada hulu dan jangkauan nuklir. Selama 25 tahun Revolusi, kita semakin mampu bertahan, sementara Soviet lebih dahulu tumbang dan Amerika akan kalah. Ini sudah terbukti selama perlawanan Hizbullah sementara Israel dipaksa hengkang dari kawasan selatan Lebanon, dan kini mereka masih saja disentak-goncangkan oleh intifazah saudara-saudara muslim kita di Palestina".[98]
Seiring dengan itu, adalah pengakuan Gary Sick bahwa "Wilayatul faqih-lah yang telah mengubur kedigjayaan teknologi kita di padang Tabas. Dan bahwa kepercayaan rakyat pada wilayatul faqih adalah satu alasan yang meluluhkan semua usaha kita". Selama menjabat di Badan Keamanan Nasional (NSC) bersama Ford, Carter dan Reagan, analisa Sick memaparkan bahwa "Dalam bank informasi kita, konsep itu tidak terdefinisikan, sehingga kita tidak dapat meraba letak kehadiran wali-faqih atau pun mengukur jangkauan hukumnya".[99]
Kalaulah suatu saat nanti waktu berbicara tentang kejatuhan wali-faqih, dan dan dunia menyaksikan kekosongan slogan Setan Besar di bawah axis of evil-nya Bush, Imam Khomeini masih merasa bangga dan sukses, bahwa ia telah berusaha menjalankan kewajiban Tuhan mendirikan pemerintahan-Nya, yakni Teleologi-Deontologi Religius. Baginya, yang penting dari segalanya adalah Kehendak Allah. Rakyat itu menjadi penting karena Kehendak Tuhan. Dan, pemerintahan pun penting karena Kehendak Allah. "Pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam yang besar bukanlah sesuatu yang berharga, sehingga membuat seseorang –wal'iyadzubillah- tertipu dan merasa besar. Kepemimpinan tidak lebih dari apa yang sampaikan tuanku Ali bin Abi Thalib",[100] tatkala Ibnu Abbas menjumpainya sedang mengesol sandalnya yang butut dan bertanya: "Seberapa nilai sandal ini?" Ali menjawab: "Wallahi, sandal ini sungguh lebih berharga bagiku daripada pemerintahanku atas kalian, kalau bukan untuk menegakkan kebenaran atau memberantas kebatilan".[101]
Setelah Nabi saww., Ali adalah teladan pemimpin ideal Imam Khomeini. Ia menuturkan, "Pemerintahan dalam arti yang sesungguhnya adalah sesuai dengan kebijakan yang digariskan dalam surat beliau untuk Malik Al-Asytar, juga untuk semua pemimpin, karena surat itu bersifat umum. Maka itu, para wali-faqih pun harus menjadikannya sebagai kebijakan praktisnya sekiranya mereka memimpin".[102] Surat yang baru saja dicatat PBB sebagai Dokumen Keadilan Manusia,[103] jika terlalu panjang untuk dibaca, barangkali ucapan Ali ini terlalu singkat untuk diresapi:
"Demi Allah, seandainya aku diberi tujuh dunia dengan segala isinya hanya untuk bermaksiat terhadap Allah dengan merebut sepotong kulit gandum dari mulut seekor semut, aku tidak akan pernah melakukannya".[104] [afh]

[1]W.C.K. Guthrie, Aflaton-Jumhuri, terj. Hasan Fathi, Fikr Ruz, Tehran, hal. 126
[2] Muhammad Fayyuji, Masyruiyyat wa maqbuliyyat, Jurnal Ulume Siyasi, 1382 HS. No. 21
[3] Reginald John Hollingdale, Mabani Tarikh Falsafeh Gharb, Kayhan, Tehran, 1996, hal. 89
[4] ibid.
[5] Emile Brehier, Tarikh Falsafeh, Markaz Nasyr Danesyghohi, Tehran, jild.1/187
[6] Muassasah Tanzim wa Nasyr Asar Imam Khomeini, Sahifeh Nuh, jild. 21/98.
[7] Imam Khomeini, Wilayat Faqih, Muassasah Tanzim wa Nasyr Asar, hal. 26-29, 138
[8]Imam Khomeini, Kitab al-Bay'I, Ismaeliyyan, Qom, 1408 H. jild 1/458, Imam Khomeini, Misbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah, hal. 38
[9] Mingguan Iran, Syoma, 18/11/2004. hal.2
[10] Manuchehr Muhammadi, Ingelab Islami dar Muqoyeseh, Nasyr Ma'arif, Tehran, 1382 HS, hal. 352.
[11] Harian Umum Kayhan, Iran, 22/4/2001
[12] Bertrand Russell, Tarikh Falsafeh Gharb, terj. Daryabandi, Tehran, 1373 HS, hal. 169
[13] Ferderick Copleston, Tarikh Falsafah, terj. Mujtabavi, Surush, Tehran, 1372, jild. 1.
[14] Will Durant, Tarikh Falsafeh, Intisyarat Ilmi Farhangi, Tehran, hal. 8
[15] Emile Brehier, Tarikh Falsafeh, , 1/188
[16] ibid, 1/189
[17] W.C.K.Guthrie, hal. 8
[18] Plato, Jumhuriyah Aflatun, , penj. Hanna Khabbaz, darul Qalam, Bairut, hal. 114,131
[19] ibid, 132, 141
[20] ibid, bab 1, hal. 13/14
[21] ibid, bab1, hal. 23
[22] ibid, bab. 1, hal 40-41, bab 4, hal. 113/130
[23] ibid
[24] Plato, Jumhuriyah Aflatun, bab 4, 129
[25] jurnal Ma'rifat, Muassasah Imam Khomeini, Ali Fallah Rafie, hal. 77
[26] Emile Brehier, jild.1/190
[27] F.Copleston, Tarikh Falsafeh, jild. 1/254
[28] W.Guthrie, hal.9
[29] F.Copleston, jild. 1/252
[30] Plato, Jumhuriyyah Aflatun, bab 2, hal. 63-64
[31] Plato, Jumhuriyah Aflatun, bab 6, hal. 181, Emile Brehier, jild. 1/145
[32] W. Guthry, hal. 125
[33] F.Copleston, jild 1/178-203
[34] Richard Popkin, Metafisik wa Falsafeh Muasir, terj. Mujtabavi, Tehran,1375, hal. 39-43.
[35] F.Copleston, jild. 1/192
[36] Plato Jumhuriyah Aflatun, bab 7, 206, B.Russell, Tarikh Falsafeh Gharb, terj. Daryabandi hal. 197
[37] ibid, bab. 6, hal. 209
[38] ibid.
[39] F.Copleston, jild. 1/258, 265.
[40] Bartrand Russell, hal. 187
[41] Imam Khomeini, Misbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah, , Muassasah Tanzim Astar Imam khomeini, Tehran, 1993, hal. 88
[42]Imam Khomeini, Ta'liqat ala Syarh Fususul Hikam wa Misbahul Uns, hal. 178
[43] Misbahul Hidayah ilal Kholafah wal Wilayah, hal. 90
[44] ibid.
[45] ibid.89
[46] ibid, 38/41-42/89
[47] Imam Khomeini, Ta'liqat ala Syarh Fususul Hikam wa Misbahul Uns, hal. 194
[48] Ibid.
[49] Ibid, hal. 178, Imam Khomeini, Kitab al-Bay'i, jild. 2/467
[50]Imam Khomeini, Misbahul Hidayah ilal Khilafah wal Wilayah, hal. 38
[51] Ibid, hal.197, Kitab al-Bay'i, jild 2/467, 483
[52] ibid, hal 197, Imam Khomeini, Cehel Hadis (40 hadis), hal. 200-201.
[53] Imam Khomeini, Ta'liqat ala Syarh Fususul Hikam wa Misbahul Uns, hal. 198
[54] Imam Khomeini, Misbahul Hidayah, hal. 89-90. Chehel Hadis, hal. 436. Kitab al-Bay'i, jild.2/464
[55] Imam Khomeini, Ta'liqat ala Syarh Fususul Hikam wa Misbahul Uns, hal. 198.
[56] Muhyiddin bin Arabi, Futuhat Makkiyyah, Beirut, jild. 4/14
[57] Imam Khomeini, Risaleh Nuwin, masail Siyasi wa Huquq, Daftar Tablighat, Qom, 1374 HS, hal. 129
[58] Sahifeh Nur, jild. 21/148-20/410, Imam Khomeini, Adab Salah, hal.189-190, 297
[59] Imam Khomeini, Chehel Hadis, hal.191, 291, Misbahul Hidayah, hal. 65
[60] Imam Khomeini, Wilayat faqih, p.34, Risalah Nuwin-Masail Siyasi wa Huquqi, hal.129
[61] Rajabi, Zendeqinameh Siyasi Imam Khomeini, Muasassah Tanzim wa Nasyr Asar, jild. 1/138
[62] ibid. Imam Khomeini, Hukumah Islamiyyah, Muasasah Nasyr wa Tandzim Asar, hal. 45-47, 1992
[63] ibid
[64] Kitab Bay'i, jild. 2/466
[65] Imam Khoemini, Tahrirul Wasilah, , Ismailiyyan, Qom, 1/234, Wilayat Faqih, hal.5, 119-120,
[66] Hukumah Islamiyyah, Imam Khomeini, hal. 45-47
[67] Imam Khomeini, Kitab Bay'i, jild. 2/466
[68] Imam Khomeini, Wilayat Faqih, Muasassah Tanzim wa Nasyr Asar, Tehran, hal. 67
[69] ibid. Kitab Bay'i, 2/467
[70] ibid, 2/456-498, Imam Khomeini, Al-Ijtihad wa al-Taqlid, , hal. 20-53
[71] ibid, 2/483
[72] Surat Wasiat Politik-ilahi, Imam Khomeini, Intisyarat Uswah, Qom, hal. 9
[73] Imam Khomeini, Al-Ijtihad wa al-Taqlid, Muasassah Tanzim wa Nasyr Asar, Tehran, hal. 9-17
[74] ibid.
[75]Kitab Manshur-e Ruhaniyyat, 3/12/1367, Jurnal Hudur, no. 13 th. 1374 HS, hal. 78, Hukumat az Didgohe Imam Khomeini, idarah kull farhang ustane tehran, hal. 312, 1415 HQ, Qom.
[76] Hukumat az Didgohe Imam Khomeini, idarah kull farhang ustane tehran, hal. 312-315, 1415 HQ, Qom. Kitab Manshur-e Ruhaniyyat, 3/12/1367, Jurnal Hudur, no. 13 th. 1374 HS, hal. 78. Imam Khomeini menambahkan: "(Umpamanya) sebuah masalah yang dahulu sudah ada hukumnya tampaknya masalah itu pula yang boleh jadi menemukan hukum baru dalam konteks hubungan-hubungan yang berlaku pada politik, sosial dan ekonomi suatu sistem negara. Artinya, dengan mengenali lalu lintas hubungan sosial-politik dan ekonomi secara cermat, maka subjek itu sendiri -yang secara zahiriyah sama seperti dulu- sungguh menjadi subjek lain yang baru, yang tentunya menuntut hukum yang baru pula".
[77]Ibid. Di tempat yang sama Imam Khomeini menyatakan: "Seorang mujtahid semestinya menguasai persoalan-persoalan jamannya. Umat dan generasi muda, bahkan orang-orang awam sekalipun tidak akan mentolelir mujtahid mereka yang mengatakan, "Saya tidak akan ikut campur dalam perkara-perkara politik". Mengenal siasat dan pola-pola menghadapi makar budaya yang dominan atas dunia, melengkapi diri dengan kejelian dan wawasan ekonomi, tahu bagaimana menyikapi tatanan ekonomi dunia, tidak lengah terhadap bentuk-bentuk politik juga pelaku-pelakunya dan formula-formula yang didiktekan atas mereka, mampu membaca konstelasi dan titik-titik lemah atau kuatnya dua kutub Kapitalisme dan Sosialisme sebagai penentu strategi kekuasaan atas dunia, semua ini adalah ciri-ciri dasar seorang mujtahid yang seutuhnya. Seorang mujtahid semestinya hadir dengan ketajaman, ketanggapan dan ketangkasan dalam membawa dan mengarahkan sebuah masyarakat besar Islam ataupun masyarakat yang non-Islam. Tentunya, di samping keikhlasan, ketakwaan dan kezuhudan sebagai karakteristik seorang mujtahid, ia pun benar-benar tampil sebagai manager yang sanggup".
[78] Ibid, hal.17
[79] W.C.K. Guthrie, Aflaton-Jumhuri, hal. 132
[80] Imam Khomeini, Al-Hukumah al-Islamiyah, Muasassah Tanzim wa Nasyr Asar, Tehran, hal. 76-77
[81] ibid. Kitab Bay'i, jild. 2/467
[82] Will Durant, Tarikh Falsafeh, Intisyarat Ilmi Farhangi, Tehran, hal. 74
[83] Ta'liqot ala Fususul Hikam, hal. 99/297, Misbahul Hidayah hal. 18/58, Cehel Hadis hal. 98, 172-185
[84] Cehel Hadis, hal. 180-181
[85] Ta'liqot ala Syarh Fususul Hikam, hal. 201
[86] Tahrir Wasilah, jild. 1/ 7, 249-250
[87] ibid.
[88] ibid.
[89] W.C.K. Guthrie, Aflaton-Jumhuri, hal. 130
[90] ibid, hal. 131
[91] Imam Khomeini, Sahifeh Nur, Sazman Madarik Farhanghi Inqilab Islami,, Tehran, 1 jild.10/181
[92] ibid, 7/18, 42. terhadap pertanyaan "Mengapa Republik Islam, tidak Republik Demokratik Islam?", Imam Khomeini tegas menjawab, bahwa demokrasi itu tersisipkan dalam Islam itu sendiri, maka itu tidak perlu lagi dibubuhkan (ibid, 9/89).
[93] ibid, 11/76, Nousozi Jomieh az Didgohe Imam Khomeini, Muhammad Hasan Hasani, 1378 hs, hal. 189-191. Jurnal Kitab-e Naqd, th. 1377 HS, Qom, vol. 2-3, hal 248
[94] IRIB programa 1, dalam pidatonya di hadapan kaum remaja di Ardebil, Agustus 2000.
[95] Jauh sebelum diakui John Esposito, Imam Khomeini mengatakan: "Mungkin saja demokrasi kita mirip dengan model-model demokrasi di Barat,... sesungguhnya Demokrasi Islam lebih sempurna daripada demokrasi Barat, (Sahifah Nur, 3/13). Teokrasi yang dimaksudkan di sini merujuk pada apa yang berlaku di dalam Gereja yang berkuasa. Setelah membantah sebutan teokrasi untuk demokrasi pada pemerintahan wali-faqih, A. Sachedina menawarkan istilah nomokrasi yang digunakan Hamid Enayat untuk itu. Lihat jurnal Kitab-e Naqd, th. 1377 HS, Qom, vol. 2-3, hal. 54
[96] Symposium, Plato, terj. Parsi Mahmoud Sinaie, hal. 52.
[97] Surat Wasiat Politik-Ilahi, Imam Khomeini, Uswah, Qom, hal. 5-8
[98] Harian Jumhouri Islami, Rabu, 20/9/1383 HS
[99] ibid
[100] Risalah Nuwin, Masail Siyasi wa huquqi, hal. 175
[101] Ali bin Abi Thalib, Nahjul Balahgah, khutbah ke-33.
[102] Al-Hukumah al-Islamiyyah, hal. 77
[103] situs islamalternatif.com, atau irib.com, Indonesian Service, 15/11/03
[104] Nahjul Balaghah, khutbah ke-223

LOGIKA TINDAKAN

LOGIKA TINDAKAN
Membangun Sistem Nilai Religius
Ammar Fauzi Heryadi


Tidak sekedar berbuat, lalu mati
Tapi, Anda mesti tahu;
Mengapa?
Alfred Lord Tennyson (1892)

Gambar no.1

Dalam pengertian Arestotelian, logika didefinisikan dengan sejumlah kaidah yang me-ma’sum-kan manusia dalam proses berfikir. Kata “berfikir” tersebut di akhir tadi, menegaskan bahwa kaidah-kaidah logika yang dikuak Arestoteles mengatur satu dimensi kehidupan manusia, yaitu kehidupan teoritis.
Secara adil, Arestoteles menyusun logika kehidupan praktis manusia, secara lebih khusus, dalam magnum opus-nya, Nicomachian. Rangkaian kaidah-kaidah praktis dirajut dalam bingkai “The Golden Means” yang menekankan keseimbangan di antara dua titik ekstrimitas atau Jalan Tengah Emas (Via Media Aura). Tentu, teori itu bukan yang terbaru pada masanya. Guru gurunya, Sokrates, malah sibuk dan menyibukkan masyarakat Athena dengan mencari-cari kaidah praktis, ketimbang mendiskusikan arche atau isu-isu teoritis lainnya.
Dengan demikian, sudah dilakukan upaya menemukan kaidah-kaidah kehidupan praktis manusia yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah-kaidah kehidupan teoritisnya. Kalau kehidupan teoritis berkutat di permasalahan “Bagaimana menemukan kebenaran?”, maka kehidupan praktis bertawaf di permasalahan “Bagaimana menemukan kebaikan?”. Di sinilah logika praktis mendapatkan ruang geraknya.
Permasalahan awal yang muncul di sini adalah, “Apakah kehidupan praktis manusia?”. Lebih sederhana lagi, “Apakah tindakan manusia?”.
Sebuah catatan penting untuk diingat bahwa ajektif religius menekankan suatu model sistem moral yang berketuhanan dan berketauhidan sebagai belief system yang berperan selaku poslulat dalam risalah ini.
Tindakan Sengaja
Tindakan adalah proses manusia menuju tujuannya. Ada tiga anasir di dalam tindakan; proses, pelaku dan tujuan. Apakah Proses? Apakah pelaku? Apakah tujuan? adalah tiga key question yang secara berurutan akan mengarahkan penelitian ini pada lembaran terakhirnya, sementara lompatan dari satu lembaran ke lembaran lainnya akan dibantu oleh empat keyword; pengetahuan, motifasi, kehendak dan kemampuan, segera diurai setelah khatamnya paragraf di bawah ini. (Gambar no.2)
Proses ialah gerak dari satu titik sebagai awalan ke titik yang lain sebagai akhirannya. Maka, sebagai sebuah proses, tindakan mesti merangkap titik awal dan titik akhir. Kalau titik akhir tindakan identik dengan tujuan tindakan, lalu apakah titik awal tindakan? Dengan kata lain, apakah asal usul tindakan manusia?
Dalam kapasitasnya sebagai fenomena insani, tindakan manusia itu terjadi setelah melalui empat jenjang;
1. Pengetahuan, bahwa manusia -dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang tidak berarti melumpuhkan total potensi dirinya- masih mampu mengetahui sebagian kecil arti dan kesimpulan tentang realitas yang bersifat konkret atau pun abstrak. Ia selalunya mencari-cari alasan di balik setiap gejala, atau mempersiapkan alasan untuk suatu kejadian yang terkendali atau pun tidak, serta memperdiksi apa saja yang terlibat di dalam kemunculan kejadian itu. Maka itu, manusia mempunyai tujuan yang diyakininya dan mengetahui hal-hal yang mengarah kepada tujuan tersebut.
2. Motifasi. Pengetahuan itu disusul oleh motif dan hasrat (keinginan) yang mendorong dirinya secara subjektif untuk mencapai tujuan yang diketahui. Hasrat dan motif itu beragam, sebanyak sumbernya; tuntutan-tuntutan fisiologis, kecenderungan-kecenderungan instingsial, tendensi-tendensi emosional.
3. Kehendak. Tatkala manusia tahu dan termotifasi oleh cinta diri untuk bertindak, ketika itupula ia akan menghendaki tindakan itu secara puas, suka rela dan bebas.
4. Kemampuan. Tindakannya bersifat aktif, kegiatan dan usaha yang berada di bawah kendali jiwanya, sehingga memungkinkannya untuk melakukan atau meninggalkan, bukan pasif.
Sebuah kesimpulan sederhana yang bisa dibetot dari pion-poin di atas, yaitu menyangkut asal-usul tindakan manusia. Bahwa tindakan manusia bisa dilacak awal kejadiannya pada pengetahuan, motifasi, kehendak dan kemampuan. Tindakan yang didasari oleh empat elemen inilah apa yang disebut sebagai tindakan sengaja (ikhtiyari). Jadi, tindakan sengaja adalah tindakan yang disadari, diingini dan dikehendaki pelakunya serta bersifat aktif. Sementara, tindakan yang minus satu dari empat jenjang di atas adalah tindakan tak sengaja. Ngantuk, ngigau, kelepasan kentut, degupan jantung, minum secara dipaksa, terdengarnya sesuatu, adalah sebagian misal tindakan tak sengaja.
Maka, ada dua macam tindakan manusia; tindakan sengaja dan tindakan tak sengaja. (Gambar no.3)

Karakteristik Tindakan Sengaja
Mengingat bahwa tindakan tak sengaja menyimpan banyak faktor yang berada di luar kendali, kita akan melangsungkan eksplorasi dari tindakan sengaja. Untuk memulai, kita segera akan berusaha menyelidiki karateristik dan ciri-ciri khas tindakan sengaja.

1. Egoisme
Merujuk kepada empat elemen pertama di atas itu, kita temukan suatu keterkaitan yang khas setidaknya di antara dua elemen pertama. Yakni, secara berurutan manusia mula-mula tahu dan menyadari suatu kekurangan pada dirinya atau suatu kesempurnaan di luar dirinya, lalu naluri cinta dirinya membangkitkan hasrat untuk mengatasi kekurangan itu atau mengejar kesempurnaan tersebut.
Hasrat dan motif itu beragam, sebanyak sumbernya; tuntutan-tuntutan fisiologis, kecenderungan-kecenderungan instingsial, tendensi-tendensi emosional, yang semuanya serpihan-serpihan dari sebauh naluri, yaitu ingin kekal dan serba sempurna. Singkat saja, cinta diri (Hubbul al-dzat).
Maka, manusia hanya akan menginginkan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan naluri cinta diri. Dan sebaliknya, ia tidak akan terdorong untuk melakukan tindakan yang mengancam kelanggengan hidupnya, mengurangi atau menjauhkan kesempurnaan dari dirinya. Bahkan, seorang yang menelan obat pahit atau menyerahkan tubuhnya untuk dibedah, ia tidak sedang merugikan dan mencelakakan dirinya. Ia menghendaki rasa pahit dan dan nyeri karena kecintaannya pada diri sendiri untuk tetap sehat dan kembali pulih. (Al-manhajul Jadid fi Ta’limil Falsafah, M.T.Misbah Yazdi, Jamiah Mudarrisin, Qom, 1409 HQ, 2/108) Sekiranya tidak ada kekurangan dan kesempurnaan, atau ada tetapi ia tidak tahu dan tidak pula menyadarinya, niscaya ia tidak pernah akan terdorong dari dalam dirinya untuk melakukan tindakan sengaja, apapun.
Oleh karena itu, manusia secara sengaja bertindak karena cinta dirinya dan demi kepentingan diri sendiri (self-interested).
Kecenderungan mementingkan diri sendiri pada kodrat manusia merupakan manifestasi yang sedemikian nyata dari nalurinya yang esensial, yaitu cinta diri. Tidak ada manusia yang benci pada diri sendiri. Seekstrim itu pula kesadaran kita menolak manusia yang tidak cinta juga tidak benci pada diri sendiri. Sebagai sebuah kesadaran, naluri dan kecenderungan itu cukup nyata dan gamblang dari balik penghayatan dan tinjauan dari dalam lubuk.
Maka itu, manusia adalah makhluk yang cinta diri sendiri. Ia bertindak seegois ia berpikir. Kenyataan inilah yang laik untuk menuntaskan pertanyaan kedua terdahulu, “Apakah pelaku?”.
(Al-Maidah: 105, Al-Hasyr: 18)

Kepentingan Pribadi
Mengulang konklusi terakhir tadi, bahwa manusia bertindak demi kepentingan diri sendiri. Kata ‘demi’ tadi menekankan bahwa apapun tindakan manusia pada akhirnya berujung pada pemenuhan kepentingan dirinya. Yakni, tujuan tindakannya adalah kepentingan diri sendiri.
Meski demikian, tidak terlalu sulit menunjukkan sejumlah kasus insani yang dengan jelas mengingkapkan kepada kita bagaimana mereka melakukan pengorbanan umur dan hidupnya demi selainnya. Dalam kasus semacam ini, jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali, begitu jarang kita temukan adanya keuntungan pada diri pelaku di balik pengorbanannya, selain kekurangan, kehilangan dan ketiadaan. Maka, tidak semua tujuan dan akhir tindakan itu identik dengan kepentingan pribadi.
Lain dari sekadar kritik, sesungguhnya catatan di atas ini cukup membantu mengarahkan kita pada aspek intensitas pelaku dalam memperjelas identisitas tujuan tindakan dan kepentingan pribadi. Artinya, pengorbanan dan tindakan semacamnya yang dilakoni seseorang karena gelinjang emosi atau romantisme idealisme pada akhirnya untuk memuaskan gelinjang itu dan mencapai idealismenya. Maka motif dasar pelaku adalah memenuhi kepentingan pribadinya dan meraih segala kebaikan untuk dirinya. Hanya saja, motif ini tidak begitu disadarinya, atau bahkan sama sekali tidak pernah terlintas pada kesadarannya. Kenyataan itu segera tergubah pada benak pikirannya ketika pelaku dihadapkan pada pertanyaan, “Mengapa anda melakukan pengorbanan demikian itu?”. Karena hatiku terpanggil, terenyuh, terbakar. Karena pengorbanan yakni keutamaan dan idealisme insani. Karena ia mendatangkan pahala dan ridha ilahi (Al-Manhajul Jadid fi Ta’limil Falsafah, M.T.Misbah Yazdi, 2/111). Semua karena ini menunjuk pada motif-motif subjektif pelaku; menenangkan hatinya, memuaskan dirinya dengan kasih sayangnya kepada selainnya, meraih keutamaan, pahala atau ridha Tuhan. Ternyata motif-motif itu hanya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri.
Jadi, tujuan pengorbanan dan pembaktian diri yang dilakoni oleh banyak manusia pada hakikatnya pemenuhan kepentingan dan keuntungan pribadi, kendati pelakunya kehilangan intensitas dan kepedulian terhadap tujuan dasar ini. Tampaknya, tidak ada satu manusia yang melakukan pengorbanan memaknai tindakannya identik dengan kekurangan, kehilangan, apalagi ketiadaan.
Allamah Muhammad Husein Thabathabai mengatakan, “Kendati tujuan tindakan secara prima facie (dalam tinjauan awalnya) kadangkala memuaskan pelaku, atau objek tindakan ataupun selain keduanya. Namun, dalam tinjauan cermatnya, tujuan tindakan selalunya memberikan keuntungan dan kepuasan kepada pelakunya. Seseorang yang berbuat kebajikan kepada seorang fakir (dengan tujuan) supaya si fakir itu mendapatkan kepuasan dari perbuatan bajiknya, pada dasarnya ia merasakan kepedihan dalam dirinya dari menyaksikan kesengsaraan dan keprihatinan hidup si fakir. Maka itu, dengan perbuatan bajiknya ia ingin menghilangkan rasa pedih tersebut dari dirinya. Begitu pula, seorang musafir yang berjalan menuju suatu tempat (dengan tujuan) untuk beristirahat di sana, seseungguhnya ia ingin membebaskan dirinya dari kelelahan jasmani yang dirasakannya.” (Nihayatul Hikmah, Jamiah Mudarrisin, Qom, hal. 183).
Maka, titik akhir atau tujuan tindakan manusia adalah kepentingan dirinya sendiri.
Dengan demikian, karakter kedua ini cukup untuk menglarifikasi pertanyaan kunci terdahulu, yakni “Apakah tujuan?”.

Kebernilaian
Sebuah perbedaan penting di antara tindakan sengaja dan tindakan tak sengaja, bahwa hanya tindakan sengaja bermuatan nilai; baik atau buruk.
Kebaikan dan kejahatan atau keburukan adalah dua makna berbeda, berlawanan. Tentu, penilaian dan pengenalan atas tindakan diri pelakunya dengan dua makna itu bukanlah basa-basi. Begitu pula, rasa bangga, senang atau rasa hina dan sesal pelaku yang dinilai tidak sekadar ‘ah, perasaan anda saja’, karena penilaian tersebut bukan tanpa alasan, bukan tanpa dasar. Unsur kesengajaan pada tindakan itulah yang melandasi penilaian, yakni pengetahuan, keinginan, kehendak dan kemampuan pelakunya.
Maka dari itu, tindakan sengaja yaitu tindakan yang bernilai; baik atau buruk.

Gambar no.3

Kebernilaian ini merupakan poin signifikan yang membedakan tindakan sengaja dari tindakan tak sengaja. Ngantuk, ngigau, kelepasan kentut, degupan jantung, minum secara dipaksa, terdengarnya sesuatu adalah sebagian misal tindakan tak sengaja yang nirnilai (zero value), tidak bernilai baik atau buruk.
Permasalahan yang muncul di sini adalah “Apakah tindakan sengaja yang baik dan tindakan sengaja yang buruk?”.


1. PENGETAHUAN
Dengan pertanyaan di atas ini kami akan memulai studi atas keyword pertama, yaitu pengetahuan manusia berkenaan dengan tindakan sengaja. “Apakah tindakan sengaja yang baik dan tindakan sengaja yang buruk?”. Bisa disederhanakan menjadi, “Apakah kebaikan, apakah keburukan?”.

1.1. Esensi Kebaikan dan Keburukan
Terdapat beberapa pengertian baik dan buruk yang pernah diajukan khususnya oleh kalangan teolog muslim, hal yang menandakan keseiusan persoalan, sehingga memaksa mereka memberikan kejelian yang lebih tajam, untuk memperjelas dan mengidentifikasi topik polemik mereka berkaitan dengan Keadilan Ilahi. Setidaknya, ada tiga definisi kebaikan dan keburukan yang bertebaran dalam literatur teologi;
kebaikan yaitu sesuainya kecondongan jiwa pada sesuatu.
kebaikan yaitu sesuainya sesuatu dengan tujuan aslinya
kebaikan yaitu tersanjungnya sesuatu, dan keburukan/kejahatan yaitu terhujat dan terkutuknya sesuatu.

Tanpa harus tergesa-gesa menganalisis semua definisi di atas, kita akan menempatkan definisi terakhir itu sebagai acuan kajian, untuk dianalisis kemudian dikomparasikan dengan definsi lainnya.
Secara prima facie, sekali lagi, kebaikan adalah tindakan yang tersanjung. Dan, keburukan adalah tindakan yang terhujat. Jelas, pengertian ini tidak lebih dari syarhul ism (leksikal). Tapi juga, terlalu dini berusaha mencari pengertian yang lebih detail sebelum menuntaskan permasalahan ontologis (haliyyah basithah) berikut ini; “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”

1.2. Realitas Kebaikan dan Keburukan
Dari pengertian di atas tadi jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah nilai praktis bagi tindakan. Jika dituangkan ke dalam bentuk statemen, kebaikan dan keburukan akan merebut posisi predikat. Misalnya, menolong adalah baik, keadilan adalah baik. Sikap acuh adalah buruk, kedzaliman adalah buruk.
Masalahnya, “Bagaimana manusia mengetahui tindakan ini baik dan tindakan itu buruk?”. Jelasnya, “Mengapa keadilan itu dinilai baik, sementara kedzaliman itu dinilai buruk?”. Di sini, baru saja kita menyimak cikal bakal satu polemik menarik di kalangan teolog dan filsuf moral. Masalah ini pula yang sanggup membantu kita mengklarifikasi permasalahan ontologis itu.
Ada yang memandang bahwa kebaikan adalah tindakan yang dikehendaki dan diperintah oleh si suatu pihak. Sedangkan keburukan adalah tindakan yang tidak dikehendaki atau dilarangnya. Jadi, keadilan itu baik karena sesuai dengan kehendak dan selera pribadi pihak, begitupula kedzaliman itu buruk karena tidak sesuai dengan kehendak dan seleranya. Baik atau buruk hanya produk selera dan kehendak subjektif. Kedua nilai ini tidak ada kaitannya dengan realitas objektif, tetapi bergantung kepada selera subjektif. Dan, manusia, dengan perangkat pengetahuan yang dimilikinya, tidak bisa mengetahui kebaikan atau keburukan suatu tindakan. Oleh karena itu, ‘keadilan adalah baik’ atau ‘kedzaliman adalah buruk’ adalah dua statemen deklaratif (khabariyah)[1] yang tidak berfakta, dan tentunya tidak pula bisa dinilai benar atau salah. Karena itu pula, statemen di atas semestinya diungkapkan ke dalam bentuk normatif (insyaiyah); “Bersikap adillah!” dan “Jangan berlaku dzalim!”.
Dengan pendekatan ini, pandangan yang dalam tradisi teologi Islam dikenal dengan nadzariyah “Al-husnu wal-qubhus Syar’i” meyakinkan kepada kita bahwa kebaikan dan keburukan tidak ada objektifitasnya, tidak ada fakta riel di luar, dan akal manusia tidak bisa mengetahuinya secara objektif, karena kebaikan dan keburukan bergantung pada kehendak dan selera subjektif. Pandangan ini menjawab negatif atas pertanyaan “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”.
Siapakah pihak otoriter itu? Kehendak dan selera siapakah yang berhak menentukan nilai tindakan? Adalah pertanyaan singkat yang membedah-bedah tubuh pandangan Nonkognitifisme di atas. Kaburnya personifikasi pihak otoriter melahirkan friksi-friksi, mulai dari Imperativisme, Preskriptivisme, hingga Volunterisme teologis, belum lagi yang berkembang di dunia teologi umat muslim seperti tersebut salah satunya di atas tadi.
Kekaburan itu lebih mengalutkan lagi tatkala kehendak dan hasrat penyampai tidak atau belum tertangkap audeins (pelaku). Selama pihak otoriter itu tidak berkehendak atau tidak menerangkan kehendaknya, selama itu pula manusia tidak tahu akan nilai dan penilaian. Tentunya, tidak ada tindakan yang bisa dinilai baik buruknya oleh si pelaku (?!).
Akhirnya, pandangan ini secara naif menyelaraskan dirinya dengan relatifitas nilai. ketika kebaikan dan keburukan ditentukan oleh kehendak dan hasrat penyampai, ketika itu pula kedua nilai tindakan itu menjadi tidak menentu dengan beragamnya penyampai dan berubah-ubahnya kehendak dan hasrat. Ini artinya memberangus nilai-nilai itu sendiri.
Sebagai lampiran saja, dengan dasar apa harus dipatuhi kehendak subjektifnya?
Yang perlu disadari di sini adalah bahwa kalimat normatif itu bisa kompromi dengan kalimat informatif. Ambil sebuah misal dari anjuran dokter! “Pak! Minumlah obat ini supaya sembuh!”. Kalimat normatif ini hendak menjelaskan hubungan kasualitas (dzarurah bilqiyas; keniscayaan saling) antara meminum obat dengan kesembuhan pasien. Artinya, selama tindakan meminum (sebab) itu tidak dilakukan, niscaya akibatnya (kesembuhan) tidak akan terjadi. Maka, tindakan meminum mesti dan harus dilakukan pasien untuk mendapatkan kesembuhan.
Jadi, dokter itu tidak begitu saja memberikan anjuran, tanpa alasan objektif mengeluarkan perintah dan penekanan. Dokter tidak sedang basa basi atau melakoni formalitas dalam memeriksa dan mendiagnosa pasien. Sesungguhnya, dengan kalimat normatif itu ia hendak menunjukkan suatu fakta, yaitu hubungan riel dan objektif yang ada dan ia temukan di antara tindakan meminum obat dan kesembuhan pasien. Tentunya, kalimat itu juga bermuatan nilai benar dan salah, yaitu sesuai atau tidaknya kalimat tersebut dengan fakta di luar.
Dengan pendekatan di atas, maka “Berbuat-adillah!”, “Jangan berbuat dzalim!” dan kalimat normatif senada ini menyingkapkan fakta, yakni hubungan kausalitas yang khas, riel dan objektif antara tindakan-tindakan itu dengan dampak-dampaknya sebagai tujuan pelaku. ‘Berbuat-adillah!’ menjelaskan bahwa keadilan adalah tindakan yang berdampak positif, yaitu mengarahkan pelaku kepada tujuannya. Tindakan yang berdampak positif inilah sebagai kebaikan. Maka, ‘Berbuat-adillah!” ungkapan lain dari ‘Keadilan adalah baik’.[2] Tentu, sebagaimana ‘keadilan adalah baik’ berfakta; bermuatan nilai teoritis (benar; sesuai dengan realitas objektifnya, dan salah; tidak sesuai dengan realitas objektif), ‘Berbuat-adillah’ juga berfakta. Fakta atau realitas objektif kedua ungkapan itu adalah relasi kausalitas (dharurah bilqiyas) yang ada di antara dampak positif keadilan dan tujuan pelakunya.
Jadi, analisis semantik ini menjawab positif atas pertanyaan “Adakah kebaikan”. Kebaikan itu ada, ia tidak punya ketergantungan kepada hasrat dan kehendak subjektif. Dikehendaki atau dibenci, kebaikan itu ada, yaitu relasi keniscayaan antara tindakan dengan dampak/tujuan yang diinginkan pelaku. Manusia hanya berusaha menemukan fakta yang ada.
Demikian itu mendekatkan cara penanganan yang didasari pada uraian-uraian terdahulu atas pemasalahan. Yakni, merujuk kepada poin kedua dan ketiga di pembahasan tindakan sengaja, bahwa manusia bertindak karena cinta dirinya (egoisme) dan demi keuntungan diri sendiri (self-interest), dan bahwa keuntungan pribadi itu adalah tujuan tindakan sengaja. Keuntungan atau tujuan adalah sesuatu yang dapat memenuhi tuntutan naluri cinta diri. Di sini, ada relasi khas di antara naluri cinta diri dan sesuatu itu. Akal bisa mempersepsi relasi khas itu dengan cara komparasi. Jika relasi itu berupa pemenuhan dan pemuasan sesuatu atas naluri cinta diri, maka tindakan yang mengarahkan si pelaku kepada sesuatu yang memuaskan itu adalah tindakan baik. Namun, jika relasi itu berupa pengurangan dan pengecewaan, maka tindakan yang mengarahkan pelaku kepada sesuatu yang mengurangkan dan mengecewakan itu adalah tindakan buruk.
Misalnya, keadilan pasti baik (kalimat informatif), karena dampak tindakan ini positif; membawa pelaku kepada tujuan dan keuntungan pribadinya, yaitu sesuatu yang memuaskan naluri cinta diri. Di sini, tampak jelas adanya kompromi di antara kalimat informatif dan kalimat normatif. “Berbuat-adillah!” bisa diungkapkan secara afimatif menjadi “Keadilan adalah baik”, begitupula sebaliknya. Maka, sekali lagi, akal menjawab positif atas pertanyaan “Adakah kebaikan dan adakah keburukan?”.[3]
Dengan uraian ini, jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah konsep yang ditemukan akal dari komparasi dan pengamatannya terhadap hubungan khas antara tindakan manusia dan dampak atau tujuannya. Manusia, dengan akalnya, mampu mengetahui, secara objektif, baik atau buruknya suatu tindakan lewat komparasi dan pengamatan tersebut. Demikianlah uraian-uraian terdahulu itu menjawab permasalahan “Bagaimana manusia mampu mengetahui baik buruknya tindakan?”.
Permasalahan selanjutnya adalah, “Apakah tujuan manusia?”, “Apakah keuntungan yang diharapkan manusia di balik tindakannya?

1.2. Sebuah Pandangan
Sebagaimana yang telah ditegaskan bahwa tujuan tindakan sengaja manusia adalah egoisme; yaitu keuntungan diri sendiri. Laksananya, tujuan dan keuntungan adalah domain yang membuka lebar site-site pemaknaan, seiring dengan sekian hasrat manusia yang berbeda-beda, sebanyak tampilan naluri cinta diri pada setiap kepala. Kendati demikian, semua tujuan atau keuntungan bisa disederhanakan dalam satu kata; kesempurnaan. Maka, segala tujuan yang diharapkan manusia pasti kesempurnaan.
Tiga abad silam, situs emotivisme telah diluncurkan Adam Smith. Di dalamnya, ia menekankan tenggang rasa atau cinta sesama sebagai motifasi bertindak. Motifasi inilah yang bisa memuaskan dan menjaga perasaan sesama. Maka, kepuasan orang lain adalah kesempurnaan dan tujuan tindakan manusia.
Jadi, tindakan yang bermotifasi cinta sesama adalah tersanjung, karena tindakan yang demikian membantu pelaku untuk mencapai tujuannya, yaitu perasaan orang lain. Kasih sayang, menghormati, tolong menolong, berbuat baik, adalah tindakan-tindakan baik, karena dapat memuaskan orang. Sebaliknya, tindakan yang bermotifasi cinta diri (egois) pasti terhujat, karena dengan motifasi ini, ia tidak akan bisa menjaga perasaan orang. Ini artinya menentang tujuan pelaku.
Smith menegaskan bahwa tindakan sengaja ini mesti bersifat sosial, pelakunya di dalam interaksi sosial. Maka, tindakan dan kehidupan individual manusia kekosongan nilai, tidak ada kebaikan atau keburukan di dalamnya. Lalu, logika apa yang diterapkan dalam kehidupan individual? Mungkin anak-anak Smith yang menuntaskannya.[4]
Sayangnya, ia tidak menjelaskan alasan memilih motif emosional (tenggang rasa, kasih sayang, dll.) diangkat sebagai norma pencapaian tujuan, sementara ada motif-motif lain seperti insting dan naluri pada diri manusia. Bahkan, iapun tidak menuturkan alasannya mengklaim kepuasan orang lain sebagai tujuan pelaku.
Ajaibnya, ia malah menganjurkan tindakan yang bermotif tengang rasa, padahal Ridhonnaas ghoyatun la tudrok. Ketika Bertrand Russell membedakan manusia dengan binatang berdasarkan hasrat batinnya yang tak terbatas,[5] Smith masih ‘berkhayal’ sanggup mengisi hasrat demikian itu dengan kemampuannya yang, tentunya, terbatas. Ingat! Hasrat itu bukan satu warna tok! Banyaknya sejumlah sidik jari manusia. Kalau tenggang rasa itu masih mungkin di hadapan merah dan orange (?!), maka ia menjadi mustahil di hadapan hitam dan putih, untuk tidak bersikap munafik.
Konyolnya, ia bahkan memandang motif naluri cinta diri, yang merupakan induk motif-motif lain, termasuk motif cinta sesama, sebagai awal keburukan. Jika anak-anak Smith itu ditanya “Mengapa anda berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrim?” ia tangkas menjawab, “Karena cinta sesama, menjaga perasaannya supaya tidak terlukai.” Romantis sekali! Namun, jika dicecar, “Mengapa perasaannya tidak boleh terlukai?”, mungkin sebagian mereka akan berbisik-bisik satu sama lain, “Ya, kalau perasaan dia terluka, perasaan-ku juga terluka, .” Sementara sebagian lainnya tampil intetektualis, “Bukan itu, tapi karena kemanusiaan, setiap manusia (termasuk aku) ingin perasaan dirinya terjaga”. Yang lebih anggun lagi, penampilan agamis; “bukan itu, tapi karena agama-Ku, mazhab-Ku, atau akhlak-Ku menganjurkannya”. Ternyata, mereka semua terjerat kata ‘ingin diri’ dan ku itu. Sedangkan kata kemanusiaan tidak berarti tatkala induk ayam mengurung anak-anaknya dengan kedua sayapnya dari intaian elang. Cinta sesama masih bisa kita lihat pada binatang.
Akhirnya, pada titik yang paling mengenaskan, tidak ada satupun dari mereka yang boleh mengomentari kritik apapun, dari siapapun, apalagi mengulangi ayat-ayat sang bapak, karena akan melukai semua orang yang berbeda pandangan. Mereka hanya punya dua pilihan, satu dari Apicurus, sang skeptis sejati, untuk bungkam mulut sambil esktasi dalam ataraxia, dan satu lagi dari mutasawwif untuk mengeram di menara gading sambil menanti nirvana.

Macam Tujuan
Dari kesadaran di atas, kita temukan bahwa cinta sesama dan kepuasan selain tidak bisa dipatok jadi norma nilai tindakan. Cinta diri masih lebih pantas untuk diangkat sebagai norma dan tujuan, karena ia menjadi landasan, bukan hanya untuk cinta sesama, tetapi untuk emosi dan insting lainnya. Aljam’ mahma amkan aula. Cinta sesama hanya mampu menempatkan dirinya sebagai media-tujuan.
Dengan demikian, ada dua macam tujuan; pertama, aditujuan, yaitu tujuan akhir yang sejati dan sesungguhnya di balik semua tindakan sengaja, dan kedua, media-tujuan, yaitu tindakan sengaja yang mendekatkan pelaku kepada aditujuan.
Maka, pertanyaan yang mesti dicermati adalah “Apakah aditujuan hidup manusia?”. (Gambar no.4)

Aditujuan
Tidak syak lagi, bahwa akal manusia mampu mengetahui baik buruknya suatu tindakan lewat komparasi dan pengamatannya terhadap relasi tindakan tersebut dengan tujuan (baca: aditujuan) pelakunya.
Tanpa lutayya wallati, aditujuan itu –sekali lagi- ialah kesempurnaan terbesar. Lagi-lagi, kesempurnaan adalah kata yang memberikan peluang pemaknaan beragam. Manakah pemaknaan yang benar? Manakah kesempurnaan terbesar manusia? Pertanyaan ini bukan lagi praktis, tapi lebih merupakan teoritis. Di sinilah kita temukan garis sambung antara tindakan dengan pemikiran, atau -meminjam istilah Syariati- antara ideologi dengan pandangan dunia.[6]
Merujuk kepada data-data teologis yang berketuhanan dan berketauhidan, bahwa kesempurnaan yang hakiki, mutlak dan tak terbatas adalah Tuhan (Q. 22/64). Dialah dzat yang maha esa, maha kaya, dan pemurah wujud kepada makhluk-Nya (Q.35/15). Dialah rabbul alamiin, maha pengatur , maha pemelihara, pemilik mutlak, penguasa dan pemerintah mutlak. Maka, kedekatan diri dan perjumpaan dengan Tuhan adalah kesempurnaan terbesar manusia (Q.53/42-Q.84/6). (lihat Nihayatul hikmah p.185)
Merujuk kembali ke kesimpulan-kesimpulan terdahulu, bahwa secara subjektif manusia selalunya cinta diri sendiri. Cinta diri adalah naluri induk bagi kecenderungan dan tendensi batin lainnya. Ia adalah sumber hasrat, keinginan dan dorongan batin lainnya untuk bertindak.
Pada karakternya paling menonjol, naluri ini tidak pernah puas dengan kenikmatan terbatas (QS.70:19-21). Ia selalu menuntut yang lebih dari kepuasaan terakhir yang digenggamnya. Seabrek kenikmatan yang diraih tidak membuatnya tuwuk. Tuntutannya malah semakin menjadi-jadi,[7] hingga menembus langit-langit keterbatasan. Ia membangkitkan penantian dan hasrat yang tak terhingga. Ia cenderung kepada kesempurnaan yang absolut (QS.100:8). Maka, perjumpaan dengan kesempuranaan demikian itu adalah kepuasaan terbesar bagi naluri cinta diri setiap manusia.
Jadi, manusia secara objektif dan subjektif, dapat melacak kesempurnaan terbesarnya, yaitu perjumpaan dengan sumber wujudnya.
Permasalahannya adalah bisakah manusia merealisasikan perjumpaan itu? Bisakah ia meraih kepuasan dan kesempurnaan terbesar yang diketahuinya itu?

Pencapaian Aditujuan
Adalah percuma mencari dan menentukan sesuatu sebagai aditujuan kalau ternyata tidak bisa diraih. Tidak realistis. Jelas, bahwa mengetahui saja, tanpa bisa menikmati hanya akan menyisakan penantian merana, hasrat buta dan putus asa.
Kemahabijaksanaan dan kemahapedulian Tuhan tidak melazimkan naluri cinta diri sebagai sarana vital kehidupan manusia menjadi sia-sia, fungsinya menjadi sumber penderitaan mendalam. Sebaliknya, sebagai amanah Tuhan yang disisipkan dalam diri manusia, ia adalah anugerah dan sumber berkah dam hidupnya.
Maka, Hikmah dan Inayah ilahi memungkinkan manusia memenuhi tuntutan egonya yang paling besar, sehingga bisa menemukan dan menggenggam kesempurnaan terbesar yang dikuaknya. Dengan kata lain, ia dapat meraih kesempurnaan terbesar dan perjumpaannya dengan sumber wujud.
Jadi, manusia tahu aditujuannya, dan ada naluri yang memotifasi pencapaian aditujuan, serta mampu merealisasikannya. Jelas, bahwa pencapaian demikian ini adalah tindakan sengaja yang bernilai baik dan tersanjung.
Dengan demikian, perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan (liqoo-ulloh) adalah aditujuan dan kesempurnaan nec plus ultra wujudnya. Dan, tindakan sengaja yang dampaknya mendongkrak pelaku menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan Tuhan, adalah tindakan baik. Sebaliknya, tindakan sengaja yang dampaknya menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan buruk. [8] (Gambar no.5)
Permasalahannya adalah bagaimana manusia berjumpa dengan kesempurnaan terbesarnya?

Kehidupan Egoistis
Mengamati cinta diri pada tataran fungsional dan aplikatifnya, naluri ini menjadi sumber pergesekan dan benturan, sebanyak komponen umat manusia. Cinta diri menciptakan tuntutan, hasrat, kebutuhan, kebebasan yang seluas-luasnya pada image manusia. Cinta diri mendorong setiap empunya melibatkan apa saja di sekitarnya yang bisa memenuhi kebutuhan dan memuaskan tututannya. Sehingga, menjadi mustahil bertahan hidup dalam kesendirian. Kodratnya menghukum dirinya sebagai political animal, sehingga ia terpaksa mengadakan kontrak sosial dengan selainnya, dan tak segan-segan melibatkan sesamanya demi kepentingan cinta diri sendiri. Dari cara yang paling sopan sampai modus yang paling sadis, layaknya Hanibalisme, Vandalisme, hingga Homo momini lupus dalam bentuknya yang transparan seperti Macheavellisme, atau bentuk yang licik dan terselubung semisal Demokrasi, Liberal, Perdamaian, HAM, dll. Maka, ada perebutan kepentingan yang mau tidak mau mesti dijalani umat manusia, dimanapun, kapanpun.
Perebutan itu bukan hanya antarkomponen umat, tetapi antarumat dan komponennya sendiri. Jelas, ada adu dua kepentingan hidup; kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Berkorban demi kepentingan umum menjadi tidak berarti, karena naluri cinta dirinya tidak membiarkan kehilangan kesempurnaan sedikitpun dari dirinya.
Berdasarkan cinta diri, setiap manusia selalunya mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.
Dilema sosial dan egosentrisme ini tidak akan bisa diselesaikan oleh atau dipercayakan kepada institusi sosial atau perangkat kekuasaan, karena keduanya produk sekawanan manusia yang masing-masing juga cinta diri. Segala chaos yang terjadi di dunia ini adalah berkah kekuatan dan kebebasan egoisme, sebuah naluri yang terpatri dalam kodrat manusia.[9] Sejarah peradabannya tidak pernah memberikan laporan yang bisa menekan tensi anxiety, selain manipulasi dan pembodohan fakta. Ketika Demokrasi, Modernitas dan Globalisasi dianggap peradaban manusia terunggul, umat manusia, secara sadar atau terpaksa, tengah menyimak fariabel pemalsuan riwayat hidup mutakhirnya.

Cinta Diri dan Agama
Apakah manusia ditakdirkan menjalani sepanjang hidupnya di atas garis kesengsaraan yang disebabkan cinta dirinya sendiri? Adalah standar ganda alami yang mengistimewakan semut, lebah atau bahkan serigala di atas manusia? Haruskah manusia hancur karena kodrat dan nalurinya sendiri?
Adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggeledah naluri cinta diri itu sendiri, untuk segera sadar dan mengekang tuntutan, hasrat, kebutuhan dan kebebasannya sampai pada batas yang bisa mempertahankan eksistensinya, sebelum memutuskan memilih Nihilisme. Artinya, manusia dengan naluri cinta dirinya didudukkan pada tiga pilihan; mengulur tuntutan, hasrat dan kebebasan nalurinya tanpa batas yang berarti pemberangusan diri sendiri, atau membuang tuntutan dan hasrat itu dengan mencerabut naluri sebersih-bersihnya dari dalam kodrat manusiawi, atau menariknya sampai pada dinding-dinding (baca: Kapitalisme, Sosialisme, dll.) yang bisa melindungi diri dari benturan dan kehancuran.
Mungkin bukan kegegabahan membiarkan naluri cinta diri mengarahkan kecenderungannya kepada pilihan ketiga. Naluri ini masih terpuaskan di bawah bayangan teduh dinding itu, kendati harus menahan gelinjang sekian hasrat dan ledakan sejumlah tuntutannya.
Namun, kalau hanya terpuaskan secara temporal dan terbatas, maka segala kepuasan yang didapatkan naluri di balik dinding itu tak ubahnya crack. Sitir Maulana Rumi, betapa banyak yang mencapai harapannya, seketika itu mereka sadar dengan kesulitan lain. Bagaimanapun dinding itu, dibangun sekokoh, seindah dan semegah mungkin, kalau konsrtuktornya adalah manusia yang cinta diri dan hanya untuk di dunia yang serba terbatas ini, niscaya dinding itu keropos, rapuh dan pasti roboh. Bayangannya tidak akan lama menaungi, keteduhannya segera pudar. Keindahan dan kemegahannya jadi nihil dan tidak berarti bagi naluri yang cenderung mengejar kepuasan yang tak terbatas; yaitu sebuah kepuasan yang realistis yang bisa direalisasikannya.
Di sini, tampak kegegabahan membiarkan naluri cinta diri mengarahkan kecenderungannya kepada pilihan ketiga, apalagi kepada dua pilihan konyol sebelumnya. Lalu, di manakah kepuasan tak terbatas yang bisa diraih itu?, sampai kapan naluri berlindung di balik dinding rapuh? Haruskah manusia hancur karena hancurnya dinding itu?[10]
Untuk kedua kalinya kita temukan kembali benang sambung antara pandangan dunia sebagai pandangan dunia sebagai sistem keyakinan (belief system) dan ideologi sebagai sistem nilai (value system).
Tuhan yang maha bijaksana, Rabbul aalamiin, maha pemelihara dan pengatur semata, tidak akan menyia-nyiakan kehidupan makhluknya. Dialah dzat yang maha peduli. Dia turunkan agama untuk manusia, tanpa melecehkan atau membasmi naluri cinta dirinya.
Bahkan, Agama mengembangkan naluri itu dengan memaknai kepentingan secara lebih luas; kepentingan dunia dan akhirat.[11] Addunya mazro’atul akhiroh; dunia adalah ladang, dan akhirat adalah hasil. Dunia adalah pabrik, dan akhirat adalah produk.
Agama menekankan bahwa kepentingan akhirat adalah khoirun wa abqo. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak berkorban demi masyarakat. Tidak ada alasan lagi untuk tidak menghormati dan berperilaku baik dengan sesama. Karena, pengorbanan dan penghormatannya itu bukan lagi kehilangan, tetapi demi keuntungan dirinya yang besar, waridhwaanulllohi akbar.
Agama memberikan konsep tentang untung dan rugi dalam porsinya yang tak terhingga besarnya ketimbang ukuran materi dan perhitungan bisnis.
Di dalamnya, kesulitan jadi jalan kemudahan, kerugian demi sesama kaum muslim, sesama umat beragama, sesama masyarakat, semua itu jadi jalan keuntungan, dan peduli terhadap kepentingan orang lain adalah jaminan kepentingan dirinya sendiri di kehidupan yang lebih sempurna dan unggul.
Agama menggugah naluri; “janganlah kau mengira mati mereka yang mengorbankan nyawa di jalan Allah, mereka bahkan hidup di sisi Tuhan sambil menikmati (limpahan) rejeki-Nya”.
Agama mampu membuka cakrawala kehidupan yang bisa ditatap naluri lebih tajam, lebih dalam, lebih luas, sejauh jangkauan tatapannya. Agama mampu mengoptimalkan tuntutan cinta diri yang tak terbatas, meledakkan hulu hasrat dan mengebor habis motifasi dari dalam jiwa untuk bertindak enerjik dan mengejar keuntungan yang tak terhingga. Kata Syahid Baqir Shadr ra.: Risalatul Islam stauriyyatul fikroh.[12] (Gambar no.6)
Di sinilah puncak keindahan. Ada ijma di antara akal, naluri dan agama.[13] Ada selisih kecil, agama mengganti motif itu dengan sebutan ‘niat’. La musyahata fil ishthilaah.

Dua Pilar Tindakan Baik
Sekadar mengulang, bahwa motif atau niat tindakan yang sesungguhnya adalah meraih keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri, yaitu liqo-ullah. Dan tindakan sengaja yang dilakukan dengan motifasi selain perjumpaan dengan Tuhan, bukanlah kebaikan yang baik dan tersanjung, kendati tindakan itu dinyatakan oleh akal sebagai kebaikan. Hipokrasi, dalam bentuk riya atau penghianatan, adalah keburukan yang terhujat, kendati dzahir tindakan itu (solat, sedekah, setia kawan, dll) dinilai akal sebagai kebaikan. Secara dzahir, infak dan sogok adalah sama. Yang membedakan keduanya adalah motifasi/niat.
Tidaklah pantas kaum kafir itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui kekafiran mereka sendiri, itulah orang-orang yang sia-sia tindakannya dan mereka kekal di neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah merekalah yang beriman kepada Allah dan akherat, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah oang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat hidayah. Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada para panunai haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan akherat serta berjuang di jalan Allah? Sungguh mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak akan memberikan hidayah kepada kaum dzalim. (At-Taubah 9:17-19)[14]
Maka, tindakan yang baik terdiri atas dua pilar: pertama, secara objektif, diketahui akal dapat mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya, dan kedua, secara subjektif, dimotifasi oleh cinta diri yang tak terbatas, yaitu liqo-ulloh.
Dengan ungkapan lain, tindakan itu menjadi tersanjung, tatkala akal menilainya baik (husn fi’li: baiknya tindakan), dan dilakukan berdasarkan motifasi perjumpaan dengan Tuhan sebagai penyaluran naluri cinta dirinya yang tak terbatas (hus fa’ili: baiknya pelaku).

Esensi Kebaikan dan Keburukan
Tentu, di sini perlu dibubuhkan unsur motifasi ke dalam pengertian tindakan baik dan tersanjung atau buruk dan terhujat yang tersebut sebelum dua tema di atas. Maka, tindakan baik dan tersanjung adalah tindakan sengaja yang lahir dari motifasi ‘liqo-ullah’ dan yang dampaknya dapat mengangkat pelakunya menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan Tuhan. Sebaliknya, tindakan sengaja yang lahir tidak dari motifasi itu atau dampaknya menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan terhujat.
Agama menyebut pilar objektif tindakan dengan amilus-sholihat, yang selalu membuntuti Amanuu sebagai ungkapan dari pilar subjektif tindakan. Ini menegaskan kesimpulan bahwa kedua pilar itu tidak bisa dipisahkan dari tindakan yang baik dan tersanjung. Kehilangan satu pilar adalah ketiadaan nilai tindakan sengaja.
Pilar objektif adalah dimensi dzahir tindakan sengaja, dan pilar subjektif adalah dimensi batin. Memilih salah satunya, misalnya mendahulukan motifasi cinta sesama dan tenggang rasa tanpa peduli dengan dimensi dzahir dan implementasinya, ini sama artinya memisahkan kedua pilar itu, yang pada gilirannya tindakan sengaja itu kehilangan nilai positifnya. Dimensi lahir tindakan adalah perlu, seperlu dimensi batin.[15]

Keserasian Dua Pilar
Baru saja ditegaskan bahwa tindakan baik dan pelaku baik adalah dua pilar tindakan baik yang tersanjung; yang mendekatkan pelaku kepada aditujuannya. Keduanya selalu bersanding dan intim. Tentu harus ada kesesuaian di antara mereka. Kata orang Latin, “Non omnis fert omnio tellus”. Tidak semua tanah menghasilkan segala sesuatu. Padi tidak akan tumbuh di padang pasir. Begitupula, tidak semua tindakan baik akan terjadi dengan segala niat dan motif untuk mencapai aditujuan. Juga sebaliknya, tidak semua motifasi baik jadi alasan melakukan segala tindakan. Katanya filsuf, mesti ada sinkhiyyah (koherensi).
Maka, belajar dengan motifasi persaingan duniawi, misalnya, adalah tindakan buruk. Atau, motifasi pengalaman ruhani dengan sungkem kepada arca Humanisme, misalnya, juga tindakan buruk. Annatijah tabiah liakhasshil muqoddimah. Rumah panggung akan ambruk hanya dengan keropos satu tiangnya.
Jadi, hanya tindakan baik (pilar objektif) dengan motifasi baik (pilar subjektif) yang tersanjung, yaitu punya dampak mendekatkan pelaku kepada aditujuan.
Permasalahannya adalah “Apakah dampak (mendekatkan) setiap tindakan baik dan setiap motifasi itu satu?”. Atau, “Apakah setiap tindakan baik dan motifasi baik melahirkan satu kebaikan ataukah beragam?”.

Gradasi Nilai dan Peran Motifasi
Kebaikan dan keburukan adalah dua makna yang menyimpan gradasi (kebertanggaan). Oleh karena itu, ada yang baik, lebih baik, lebih lebih baik, hingga yang terbaik. Ada yang buruk, lebih buruk, lebih lebih buruk, hingga yang terburuk. Perbedaan tingkat ini berpangkal dari perbedaan pilar subjektif (tindakan-tindakan baik) juga dari perbedaan pilar objektif (motifasi/niat) .
Dalam misal pilar subjektif, sedekah seratus rupiah menjadi lebih bernilai ketimbang sedekah seribu rupiah, karena kualitas motifasi dan niat pelaku sedekah pertama itu lebih tinggi, lebih tulus dan lebih ikhlas dari niat pelaku kedua. Begitupula, menentang kebenaran yang bermotif angkuh menjadi lebih terhujat daripada penentangan dengan motifasi gurau, karena pengaruh motif angkuh lebih kuat dalam menjauhkan pelakunya dari aditujuan.
Imam Ali as. Pernah membagi muslimin di hadapan Tuhan kepada tiga kelompok, budak, pedagang dan pecinta. Pembagian ini lebih mengacu kepada motif-motif mereka dalam beribadah; budak dengan motif takut (neraka), pedagang dengan motif salary (surga), dan pecinta dengan motif kerinduan, inilah motif yang termulia.

Gradasi Nilai dan Peran Tindakan Baik
Peran pilar objektif (tindakan-tindakan baik), tidak kurang pentingnya dengan peran pilar subjektif atau motifasi/niat pelaku. Misalnya, solat wajib. Ia tidak sama nilainya dengan solat nafilah, kendati dilakukan oleh satu pelaku dengan satu kualitas motifasi (niat qurbatan lillah), karena kewajiban lebih besar pengaruhnya dalam pencapaian aditujuan. Sebaliknya, nilai keburukan fitnah lebih besar daripada keburukan pembunuhan, karena efeknya lebih besar dalam menjauhkan pelakunya dari aditujuan.

Tambahan
Dalam asumsi bahwa suatu tindakan baik yang tidak bermotif ilahi, tidak pula bermotif iblis, yang tidak berpengaruh positif ataupun negatif terhadap pencapaian aditujuan pelakunya, maka tindakan tersebut nirnilai (zero value), ia tidak berpredikat baik dan buruk, seperti; makan karena lapar saja, minum karena haus saja, tidur karena ngantuk saja.
Permasalahannya adalah “apakah garis merah antara tindakan yang bernilai baik dan tersanjung dengan tindakan yang kosong nilai?”. Atau, “hal apa yang bisa mengatrol suatu tindakan baik dari titik nol ke titik satu?”

Anak Tangga Pertama
Telah disebutkan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang mendekatkan pelaku kepada aditujuan dan dilakukan dengan motifasi qorbatan ilallah. Sementara, perjumpaan dengan Tuhan melazimkan -pada tahapan belief system sebelumnya- penerimaan kalbu akan realitas Tuhan sebagai kesempurnaan mutlak, dzat yang maha esa, yang maha bijaksana, maha peduli, maha pemelihara, maha pengatur, maha pemilik, maha penguasa, maha pemerintah mutlak. Inilah iman. Adalah mustahil motifasi qurbatan ilallah itu muncul dari luar iman.
Iman bukan pengetahuan. Iman adalah produk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang demonstratif. Pengetahuan tanpa dalil masih perlu diproses akal atau piranti kognitif lainnya. Hanya pengetahuan yang terbuktikan yang siap hadir di kalbu. Namun, kesiapan (objektif) pengetahuan ini tidak cukup membuat kalbu menyambut kehadirannya. Ada sebagian dokter jantung yang merokok dan tahu dampak buruk tindakan itu. Hanya kalbu yang tulus dan insaf yang bisa menerima kehadiran pengetahuan argumentatif. Ketika itulah lahir iman di haribaan kalbu.
Maka, iman itu di kalbu. Ia akan lahir dari dua kesiapan; satu, kesiapan objektif berupa pengetahuan demonstratif, dan kedua, kesiapan subjektif berupa ketulusan kalbu.
Dengan pengertian iman diatas, naluri cinta diri yang tak terbatas itu hanya akan menyemburkan motifasi/niat qurbatan ilallah jika disertai oleh iman. Tanpa iman, akan terjadi kemandulan pada naluri itu; ia tidak bisa melahirkan niat demikian itu. Si dokter itu akan menahan nafasnya hanya dengan ketulusan hati untuk menerima pembuktian ilmiahnya atas dampak buruk rokok.
Maka, iman merupakan garis merah antara tindakan baik yang tersanjung dan tindakan zero value. Dan, seseorang bisa mengisi kekosongan nilai pada makannya dengan seduhan niat qurbatan ilallah yang didasari oleh iman.
“Tindakan-tindakan mereka yang kafir (tidak beriman) kepada Tuhan ibarat fatamorgana di padang pasir, orang yang kehausan menduganya oase, tatkala mendatanginya, ia tidak mendapatkan setetes airpun.... (Nur,39)
Jadi, boleh saja derma, senyum manis, atau menghormati perasaan sesama dan kasih sayang kepada orang lain adalah tindakan-tindakan baik bagi sebagian orang, namun semua itu sia-sia bila tidak dimotifasi oleh iman dan qurbatan ilallah. Atau, berfikir, diam, tidur dan tindakan individual lainnya dianggap bebas nilai, tapi itu semua jadi berarti dengan sepuhan, sekali lagi, iman.

Tangga Iman
Dalam padanannya dengan pengetahuan yang menyimpan makna gradual, perlu ditegaskan bahwa Imanpun berderajat, bertingkat-tingkat, dari yang terlemah sampai yang terkuat. Derajat minimal iman adalah menerima dengan kepuasan kalbu bahwa Laa ilaha illallah; tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Adalah kalimat tauhid yang mencakup rangkaian keyakinan kepada Tuhan sebagai Rabul aalamiin, hanya Dia yang memelihara, mengatur, memiliki, menguasai dan memerintah alam.[16]
Seseorang yang mengimani Tuhan dan memandangnya sebagai sumber siksa dan keperkasaan, ia akan menundukkan diri di hadapan pemerintahan-Nya dengan motifasi takut dan kuatir. Nilai ketundukkannya jelas berbeda dengan seseorang yang mengimani Tuhan dan mengharapkan balasan pahala, ia akan tunduk di bawah kepemerintahan-Nya dengan motifasi keberuntungan. Dan, nilai terbesar ketundukkan tampak dari seorang hamba yang mengimani Tuhan tanpa mempertimbangkan lagi siksa atau pahala, surga atau neraka. Ketundukkannya kepada-Nya didasari oleh cinta dan rindu kepada dzat yang maha sempurna.[17]
Imam Ali as. Mengumpamakan orang pertama itu dengan budak, dan orang kedua itu dengan pedagang, serta orang ketiga dengan pecinta. Inilah tiga tangga iman yang masing-masing bergradasi, sebayak gradasi makna takut, harap dan cinta (borderline cases).
Permasalahannya, “manakah tindakan-tindakan sengaja yang mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya?”. Pendeknya, “manakah tindakan yang baik dan tersanjung?”

Akal dan Agama
Di atas tadi, kita cukup mencermati pilar subjektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan pelaku. Bahwa derajat kebaikan pelaku itu banyak. kadar minimalnya adalah iman, yaitu kepada rububiyyah takwiniyah (Kepengaturan cipta) dan Rububiyyah Tasyri’iyyah (Kepengaturan tinta) Tuhan yang terbingkai di dalam kalimat tauhid; bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Di sini, kita akan menuntaskan pilar objektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan tindakan.
Di sepanjang pembahasan kita selalu menekankan bahwa akal mampu mengetahui, secara objektif, dan melaporkan kepada manusia akan kebaikan tindakan-tindakan. Permasalahannya, “manakah tindakan-tindakan sengaja yang benar-benar mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya?”, “manakah tindakan yang dinilai baik oleh akal?”. Lebih jelas lagi, “mampukah manusia –dengan akal dan indera- mengetahui seluruh tindakan baik, yang mengantarkan kepada aditujuannya?”
Tidak syak lagi bahwa akal dengan tegas menunjukkan sejumlah tindakan yang baik, seperti: kerja sama, memilih pemimpin yang adil, mendirikan pemerintahan yang bersih sebagai sarana penyempurnaan.
Dibantu oleh indera, akal tak segan menjalani trial and error dan check and balance untuk menemukan tindakan yang benar-benar baik; yang mengarahkan manusia kepada aditujuannya.
Naif, jika menanti dari akal lebih dari itu. Akal tidak ma’sum. Kesimpulam dan keputusannya bisa disusupi kepentingan pribadi, angan-angan dan penantian-penantian manusia. Akal tidak enggan untuk menebarkan perselisihan produk-produknya.
Satu lagi yang perlu disadari, bahwa akal dan empiris itu terbatas. Ia terlalu lemah untuk menyelidiki seluruh efek material dan ma’nawi serta dampak duniawi dan ukhrawi, individual dan sosial dari seluruh tindakan sengaja.
Mengatasi kekurangan dan keterbatasannya, akal membutuhkan uluran tangan dzat yang maha tahu, maha peduli dan maha bijaksana. Aantum a’lamu amillah. “Kalian yang lebih tahu ataukah Kami?” Di sini, agama lagi-lagi hadir ditengah kehidupan praksis manusia.
Di sini tampak jelas fungsi agama. Ia adalah pelengkap dan penggugah akal, sebagaimana ia dalam kaitannya dengan naluri.[18] Maka, relasi antara akal dan agama tidak mungkin pertentangan (tabayun). Agama bukan lawan akal. Ia adalah kawan akal yang diperlukannya. Sebagai pelengkap, agama mampu menunjukkan hal-hal di luar sentuhan akal dan indera. Maka, sebagian arahan agama bersifat suprasensional dan suprarasional.


Media-tujuan, Sebuah Jalan
Jadi, manusia pada aspek subjektif dan aspek objektifnya lemah. Dari dua aspek itu ia membutuhkan instrumen tambahan yang mesti adanya untuk menutupi kelemahan dan kekurangannya. Jika ia tidak menemukannya dari dalam dirinya, ia harus mencarinya dari luar. Itulah wahyu dan agama.
Agama adalah penyempurna fungsi akal dalam menunjukkan tindakan-tindakan baik yang mendekatkan manusia kepada aditujuan. Agama adalah hujjah atas manusia untuk memilih dan melakukan tindakan-tindakan baik. Wama kunna muadzzibina hatta nab’atsa rosula. Selama tidak ada arahan lengkap sebagai hujah yang cukup pada manusia, selama itu pula tindakannya bebas nilai, maka iapun bebas tanggungjawab dan siksa.
Tentunya, tindakan–tindakan itu menjadi bernilai baik dan dapat mendekatkan pelaku kepada aditujuannya jika disertai motifasi iman atau niat qurbatan ilallah. Agama menyebut tindakan-tindakan demikian ini sebagai ibadah.
Maka, ibadah merupakan media-tujuan, sebagai sebuah jalan menuju aditujuan manusia. Wa ani’buduunii, haadza shirootum-mustaqiim.
Ibadah berarti segala tindakan yang dilandasi oleh pengetahuan akan pebuatan yang baik (menurut akal dan atau wahyu) dan keyakinan akan hak ketersembahan Tuhan semata. Sebagai sebuah media-tujuan, agama menyebut ibadah dengan shiroth mushtaqim. Ia adalah sebuah jalan yang lurus. Ihdinash shiraathol mustaqim. Ya Allah ! Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus! Amin!

Akhirnya, “Sampaikanlah (wahai Muhammad)! Tahukah kalian akan orang-orang yang paling rugi perbuatannya? Merekalah yang sia-sia jerih payahnya di dunia, sementara dirinya mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi, 103-104).





[1]Kalimat afirmatif menjelaskan realitas objektif atau fakta. Ada muatan nilai teoritis di dalamnya, yaitu benar jika sesuai dengan fakta, dan salah jika tidak sesuai dengan fakta. Adapun kalimat normatif, ia tidak menjelaskan realitas objektif, apapun. Begitupula, ia tidak punya nilai teoritis. Pada dasarnya, kalimat normatif hanya menjelaskan kehendak subjektif si penyampai.

[2]Rasionalitas baiknya keadilan tidak berarti menafikan kecondongan naluri manusia atau intuisitasnya. Betul bahwa naluri selalunya condong pada keadilan dan secara spontan menyatakannnya sebagai kebaikan. Apa yang diupayakan dalam risalah ini ialah mencoba memahami, menyadari dan mengkonsepsikan kecondongan, spontanitas dan pernyataan naluri batin manusia, pada gilirannya berusaha menerangkan apakah kecondongan fitriah itu sekadar perasaan subjektif dan arahan batin belaka ataukah sebih dari itu bahkan seseungguhnya ia berkaitan dengan realitas objektif dan berbasis pada fakta riel di luar.
[3] Sebagai perangkat cognitif, akal berfungsi sebagai penyingkap dan pelapor. Ia melaporkan apa yang ada yang dilihatnya secara objektif. Maka, ia tidak akan menetapkan, karena fakta objektif sudah ada dan tetap, sehingga tidak perlu lagi penetapan. Salibah bin-tiufaail mawdhu’.
[4] Sebagian menyatakan bahwa kawasan privat itu diisi agama; sejumlah arahan yang mengatur dan menata kehidupan pribadi manusia.
[5] The power, Bertrand Russell, hal 4. edisi parsi.
[6] Pada titik yang berlawanan, Naturalisme menolak campur tangan pandangan dunia (metafisika) dalam membangun sistem dan landasan nilai tindakan manusia. Ada beberapa catatan yang harus dituntaskan, pertama: sangat mungkin terjadi tindakan yang merugikan masyarakat luas, tanpa pernah ditanggung pelakunya, sedikitpun. Kalaupun pelaku itu turut menanggung dampak tersebut, ia tidak akan jera dan masih punya nyali untuk mengulangi tindakan itu, dengan pertimbangan bahwa keuntungan yang didapatkannya dari tindakan itu lebih besar dari kerugian yang diterimanya.
Kedua: kendati sanjungan dan hujatan sosial –pada batas-batas tertentu- berpengaruh positif, secara preventif atau agresif, atas kehendak pelaku, dimana setiap orang ingin dihormati, dipercaya dan aman, namun banyak tindakan yang bisa dilakukan secara rahasia dan terselubung dari pandangan. Seseorang menjadi miskin motifasi dalam berfikir positif, berprasangka baik, bertulus hati. Sementara yang lain dengan lenggang melakukan profokasi, korupsi, fitnah, bohong, iri, kesumat, tanpa ada hujatan atau resiko buruk sosial.
Ketiga: sangat mungkin stick kontrol sosial jatuh di tangan sekawanan manusia. Merekalah yang mengendalikan opini dan menciptakan nilai-nilai, sehingga keputusan dan prilaku mereka tampak baik-baik saja. Tidak aneh bila pelaku-pelaku KKN sebuah negeri disambut dan dilantik, tanpa ada protes berarti dari arus manapun. Meraka akan banting godam di hadapan sebagian komponen yang memahami retorika gambit. Mereka hanya butuh akseptabilitas dan popularitas. Di sini, jelas sekali rapuhnya moral dialektik Yunani yang menempatkan opini publik sebagai referensi nilai dan penilaian.
Jadi, melucuti nilai tindakan manusia dari pandangan dunia sama artinya menon-aktifkan kekuatan eksekusi arahan-arahannya. Kaum naturalis tahu benar 'keadilan adalah baik' untuk kemudian merumuskan 'berbuat-adillah!'. Masalahnya, antara rumus dan aplikasi ada jarak yang cukup rentang, di dalamnya banyak hambatan, termasuk tiga catatan aplikatif di atas tadi.
[7] Hal yang diisyaratkan Graham Maslow dalam hirarki kebutuhan-nya atau grumble theory.
[8] Berdasarkan pengertian ini, kejujuran tidak bisa dinilai baik oleh akal secara terpisah dari aditujuan pelakunya. Ia bisa berpredikat buruk ketika menjauhkan pelaku dari aditujuan. “kejujuran adalah baik” bukan kaidah akal praktis yang mutlak, sebagaimana yang dianut Kant. Ia hanya akan dipandang akal sebagai kebaikan tatkala berdampak positif menjumpakan pelaku kepada aditujuan. Wa qis ala hadza! Kata Kant, akal mengetahui kebaikan seuatu tindakan secara apodeictic (badihi awwali).
[9] Dhoharol fasaada fil barri wal bahri bimaa kasabat aydinnaas.
[10] Manusia dalam kehidupan dunia diumpamakan riwayat dengan penumpang kapal di tengah samudra. Ada angin silih menghempas, ada gelombang ombak menampar kapal silih berganti, akhirnya hancur dilibas badai, tenggelam ditelan laut. Sementara pemunpang itu, kemanakah ia lemparkan sisa harapannya? Ketika akal pasrah, ketika tidak ada lagi kawan, ketika alam mejadi lawan. Hanya dia dan fitrah. Akanakah ia tangkap isyaratnya? Kemanakah ia lepaskan ronta kecenderungannya?
[11] Syahid M. Muthahari mengatakan: agama sanggup menempati posisi eksekutor, menyuplai daya tarik dan tolak ke dalam jiwa manusia (Azadi-e Ma’navi, hal. 141-142).
[12] Pemikiran Islam adalah revolusioner. Pergerakan Islam? Kondisional. (Risalatuna, Bagir Shadr, hal. 101)
[13] Wa yasta’duuhum miistaaqo fithrotih.
[14] Dalam asbabun nuzul ayat ini diriwatkan di dalam tafsir at-tabari bahwa Talhah, al-Abbas, Ibn Syaibah dan Ali bin Abu Thalib saling membanggakan diri. Talhah berkata: Akulah pengurus Ka’bah, akulah yang memegang kuncinya. Al-abbas berkata: Akulah penjamu para penunai haji. Akhirnya Ali berkata: Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian katakan. Aku telah shalat menghadap kiblat enam bulan lebih dahulu dari kaum muslim, dan akulah yang selalu berjihad. Lalu Allah menurunkan ayat 19 dari surat At-taubah. (al-Mizan, 19/210)
[15] demikian ini tampak jelas dalam hukum-hukum fikih Islam. Para ulama ushuli (pakar ilmu usul fikih) membagi tindakan wajib kepada dua macam; tawassuli, yaitu tindakan yang harus dilakukan tanpa disyarati niat qurbatan ilallah, dan ta’abbudi; yaitu tindakan yang harus dilakukan dengan niat qurbatan ilallah. Tawassuli seperti amar makruf nahi munkar. Tindakan ini tidak memerlukan keikhlasan dan niat qurbah. Dalam Tahrir Wasilah 1/427 ditegaskan bahwa amar makruf dan nahi munkar yang dilakukan dengan niat qurbah akan membawa pahala sebagai dampak positif yang medekatkan pelakunya kepada kesempurnaan mutlak; Allah swt.
[16] be suye khudsozi, M.T. misbah yazdi, hal.313.
[17] sedemikian besarnya cinta dan rindu sang hamba kepada tuhan nya, sehingga ia buta, tidak bisa lagi melihat kecuali dia. Ia fana dalam Tuhan. Dirinya lenyap. Ketika itulah egonya sudah tidak lagi berarti, karena hasrat dan tututan terbesarnya sudah terpenuhi di haribaan-Nya. .
[18] Wa yasta’duuhum miitsaaqo fithrotih, Wa yustiiru lahum dafainal ‘uquul. Merekalah para rosul yang membongkar ikrar-ikrar fitrah manusia, dan yang menggali kandungan-kandungan akal mereka. (Imam Ali a.s.).