red_roodee

Wednesday, March 29, 2006

PERNYATAAN SIKAP ATAS TERBITNYA KARIKATUR NABI SAAW

PERNYATAAN SIKAP

Maraknya tindakan provokatif dan diskriminatif negara-negara Barat terhadap negara-negara Islam sepertinya tidak akan pernah kunjung usai malah semakin menjadi-jadi. Berbagai prasangka (prejudice) dan kebencian terus mereka serukan. Sekarang atas nama kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, media Barat yang di sokong oleh pemerintah mereka melakukan tindakan yang mencemooh, menghina dan menjatuhkan harga diri (Izzah) Ummat Islam.
Rasulullah yang mulia mereka hinakan dan mereka rendahkan martabatnya dengan mengadakan sayembara karikatur Nabi Muhammad SAW yang kemudian mereka terbitkan dan sebar luaskan di media massa. Penghinaan yang lebih menyakitkan lagi, karikatur itu menggambarkan Nabi yang mulia dalam ilustrasi-ilustrasi yang menghina dan melecehkan agama.
Provokasi Barat ini tidak bisa dibenarkan dengan argumentasi apapun yang mereka lontarkan untuk membenarkan segala tindakannya. Tidak atas nama demokrasi, tidak pula atas nama kebebasan berekspresi dan pers, apalagi HAM, karena hak asasi itu tidaklah dibenarkan jika harus menghina dan melecehkan hak-hak orang lain dan komunitas lain apalagi menyangkut hak keyakinan-beragama.
Motif ideologis-politis-ekonomi melatar belakangi Barat untuk menelanjangi dan menjajah Islam, dan motif ideologis-politis-ekonomis ini pula yang melandasi mereka melakukan konfrontasi dengan Islam. Dendam kesumat masa lalu mereka ternyata tidak hilang bersama berlalunya waktu, tapi semakin menjadi-jadi seiring nafsu biadab mereka menguasai dunia.
Ketegangan antara dunia Barat dan Islam seakan selalu mewarnai sejarah kebiadaban manusia. Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Eropa melanggengkan ketegangan demi ketegangan terus terjadi sampai berbuntut pada penghinaan dan pelecehan terhadap Islam.
Masih teringat jelas di benak kita semua mulai dari pertentangan pada abad-abad millennium pertama berlanjut pada imperialisme-kolonialisme pada abad pertengahan sampai abad 20 dan hingga kini dengan motif yang sama yakni kepentingan ideologis mereka terutama kepentingan neo-imperialisme-kolonialisme kapitalistik, maka pertentangan itu masih dikampanyekan oleh dunia Barat terhadap Ummat Islam. Barat mengidentikkan Islam sebagai Ummat yang radikalis-ekstrim hingga mengembangkan ikon terbaru mereka yang standar ganda (double standar) yakni Islam sebagai pelaku terorisme dunia, tanpa melihat fakta bahwa siapa yang terorisme senyatanya di dunia ini yakni Barat sendiri dan anak emasnya Israel.
Perebutan ladang minyak di Teluk Persia sampai, pengeboman Afghan, pendudukan Iraq, perseteruan antara Palestina dan Israel, invansi Amerika Serikat dengan dalih senjata nuklir, biologis dan senjata kimia hingga mengincar Iran sekarang ini, tak lepas dari semua prasangka itu (prejudice) yang sengaja diciptakan untuk melemahkan Ummat Islam, karena Ummat Islam adalah kekuatan potensial yang bakal menjadi penghalang ambisi Barat. Islam mereka anggap sebagai penghalang untuk menguasai dunia.
Akhirnya pembuatan karikatur Nabi Muhammad SAW yang dilakukan salah satu Media yang ada di Denmark dan disebar luaskan oleh berbagi media di Norwegia, Jerman, Belanda, Swedia, Prancis, dll. Ini jelas melecehkan aqidah Ummat Islam, karena itu satu kata yang harus kita perjuangkan bersama yakni…LAWAN.

Untuk itu, Kami menyatakan pernyataan sikap dan menyerukan :

Ø Menegaskan agar Pemerintah Denmark dan Negara-negara Barat lainnya yang media massanya memuat karikatur penghinaan dan pelecehan Nabi Muhammad SAAW untuk meminta maaf secara terbuka kepada Ummat Islam diseluruh dunia.
Ø Menegaskan agar Dunia Internasional, terutama Pemerintah Denmark dan Negara-negara Barat lainnya yang media massanya memuat karikatur penghinaan dan pelecehan tersebut, untuk menindak tegas dan mengadili para pelaku penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAAW.
Ø Menyerukan kepada Dunia Internasional untuk mengutuk penghinaan dan pelecehan tersebut.
Ø Menyerukan agar Ummat Islam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Islam termasuk segala bentuk penindasan dan neo-imperialisme-kolonialisme dan neo-liberalisme yang berwajah kapitalisme global dari Negara-negara Barat.
Ø Menyerukan kepada Ummat Islam untuk memboikot produk-produk Denmark dan Negara-negara Barat lainya yang media massanya memuat karikatur penghinaan dan pelecehan Nabi Muhammad SAAW.
Ø Jika Negara-negara Barat tersebut tidak menyatakan permohonan maaf secara terbuka dan menindak tegas pelaku penghinaan dan pelecehan tersebut, maka kami menyerukan agar Ummat Islam dan Negara-negara Islam diseluruh dunia untuk memutuskan segala bentuk hubungan internasional dengan Negara-negara Barat tersebut, jika perlu melakukan perlawanan terbuka.
Billahittaufiq Walhidayah

Pontianak, 10 Muharram (Asyura) 1427 H
09 Februari 2006 M

PENGURUS
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
CABANG PONTIANAK



RUDY HANDOKO
KETUA UMUM

Saturday, March 11, 2006

SEJARAH SINGKAT NABI MUHAMMAD SAW

SEJARAH SINGKAT NABI MUHAMMAD SAW

Islam, telah berkembang di bawah sinar terang sejarah. Dalam waktu seusia orang, cahaya ini telah berangsur-angsur suram. Dengan pengupasan secara kritis, asas-asas tradisi lama telah lebur menjadi teka-teki. Quran kini keluar tanpa cacat dan ragangan sejarah dapat diselamatkan. Tetapi, celah antara fakta-fakta sewajarnya dan hasil yang sangat besar antara sebab dan akibat harus diisi. Dalam pada itu, teori tentang Muhammad saw. jumlahnya sebanyak jumlah penulis riwayat hidup beliau. Misalnya, ada yang menggambarkan beliau sebagai orang yang sakit sawan, ada sebagai seorang penghasut sosialis, ada sebagai seorang proto-Mormon. Pandangan yang demikian subyektif, umumnya ditolak oleh sebagian besar para sarjana, walaupun hampir tidak mungkin menghindarkan unsur subyektif dalam memberikan gambaran tentang riwayat hidup dan karya beliau.

Muhammad saw., sebagaimana tiap-tiap orang yang berbakat pembina dan pencipta, pada suatu pihak menderita ketegangan keadaan, suasana saluran, pada lain pihak beliau telah mendobrak saluran baru dalam cita-cita, kebiasaan zaman, dan tempat kediaman beliau. Sekarang tugas penyelidik sejarah untuk mempelajari, menjelaskan, dan menerangkan selingan antara bakat utama beliau dan keadaan sekelilingnya. Dalam hubungan tersebut, buku ini harus membatasi pembahasannya pada tugas beliau sebagai perutusan agama, yang merupakan segi asasi dari riwayat Muhammad saw. Fakta satu-satunya yang pasti bahwa ilham beliau adalah keagamaan. Sejak beliau bekerja sebagai penyebar agama, pandangan dan pertimbangannya mengenai orang dan peristiwa yang dikuasai oleh paham beliau tentang pemerintah dan maksud Allah bagi umat manusia.

Sangat sedikit yang diketahui dengan pasti tentang kehidupan dan keadaan beliau waktu masih muda. Adapun yang menjadi pengetahuan umum ialah beliau dilahirkan (tahun 570 M. menurut ahli sunah) dalam suatu cabang muda dari salah satu keluarga terkemuka di Mekkah, menjadi anak piatu waktu masih muda, kemudian diasuh oleh seorang paman beliau yang melakukan perdagangan dengan kafilah. Kemudian menjadi wakil niaga seorang janda bernama Chadijah ra. yang kemudian diperistrikan, dan menghasilkan putra putri (di antaranya empat putri masih hidup waktu beliau wafat). Fakta-fakta tersebut biasa dan tidak menunjukkan kebesaran beliau di kemudian hari. Keterangan tentang pasal-pasal kecil yang dimuat dalam ceritera pendek dan hadis sebagai penghias garis besar riwayat tersebut, hendaklah untuk sementara dikesampingkan. Lebih penting adalah latar belakang sosial beliau. Muhammad saw. adalah seorang penduduk kota. Tidak ada keterangan yang lebih jauh dari kebenaran, apabila beliau digambarkan sebagai seorang Badui yang memiliki cita-cita dan pandangan sebagai orang Badui biasa.

Pada zaman itu, Mekkah bukan merupakan suatu desa yang terpencil jauh dari keramaian dan kesibukan dunia. Sebagai kota dagang yang ramai dan makmur, hampir memonopoli pusat perdagangan antara Lautan India dan Laut Tengah, Mekkah boleh dibandingkan dengan Palmira (Tadmur), tetapi tanpa sepuhan keemasan Yunani. Penduduk Mekkah, walaupun mempertahankan kesederhanaan Arab asli dalam tindak-tanduknya dan lembaga-lembaganya, telah memperoleh pengetahuan luas tentang orang dan kota dalam hubungan dagang dan diplomatik dengan suku Arab dan pembesar-pembesar Rumawi. Pengalaman tersebut telah mengembangkan bakat intelektual, sifat berhati-hati, dan mengekang diri; di antara para pemimpin di Mekkah yang jarang didapati di Arabia.

Penguasaan taraf moral yang diperoleh orang Mekkah atas kawan sebangsa dari suku-suku, diperkuat dengan beberapa sanggar pemujaan di dalam dan dekat kota menjadi milik mereka. Kesan latar belakang yang luar biasa ini boleh dijumpai sepanjang riwayat Muhammad saw. Dalam logat manusia biasa, boleh dikatakan bahwa Muhammad saw. telah berhasil dan jaya karena beliau adalah seorang Mekkah.

Dalam kemakmurannya Mekkah memiliki segi yang suram juga. Kota itu menunjukkan juga keburukan-keburukan yang biasa melekat pada masyarakat niaga yang kaya, di satu pihak terdapat kekayaan yang sangat besar, dan di lain pihak terdapat kemelaratan; neraka dari budak belian dan orang-orang sewaan, juga rintangan-rintangan antara golongan sosial. Jelaslah, pernyataan-pernyataan beliau yang bersemangat tentang ketidakadilan sosial dan kejahatan bahwa keadaan tersebut, antara lain, menyebabkan beliau merasa risau dan cemas. Kerisauan hati beliau bukannya untuk mengajarkan revolusi sosial, melainkan dorongan lewat saluran agama dipancarkan dalam suatu kesadaran yang dalam dan teguh, bahwa beliau mendapat tugas dari Allah untuk menyampaikan kepada kawan senegaranya untuk mengingatkan nabi-nabi bangsa Semit: "Tobatlah, sebab hari kiamat telah dekat!"

Kemudian yang terjadi ialah hasil bentrokan antara keyakinan tadi dan ketidakpercayaan serta perlawanan dari kelompok-kelompok berturut-turut. Muhammad saw. bukanlah pengajar yang sadar dari suatu agama baru. Perlawanan dan pertengkaran dengan penduduk Mekkah itulah yang memaksakan beliau maju dari masa ke masa, sebagaimana sesudahnya adalah perlawanan di Madinah yang menyebabkan Islam muncul sebagai suatu umat agama baru dengan iman, dan lembaga-lembaga yang tegas dan nyata.

Perlawanan penduduk Mekkah bukannya semata-mata karena mereka berpegang teguh pada adat-istiadatnya ataupun ketidakpercayaan agama (meskipun mereka mencemoohkan ajaran Muhammad saw. tentang kebangkitan), akan tetapi karena alasan politik dan perekonomian. Mereka takut akibat ajaran beliau atas kemakmuran mereka. Merekat takut kepercayaan murni terhadap Allah yang tunggal akan merugikan penghasilan yang mereka peroleh dari sanggar pemujaan mereka. Ditambah pula, mereka menginsafi secara cepat dari Muhammad saw. sendiri, bahwa penerimaan ajaran beliau akan mendatangkan suatu kekuasaan politik yang baru dan kuat dalam masyarakat mereka, yang merupakan keprajaan kelompok seketurunan (oligarki).

Muhammad saw. berjuang sia-sia terhadap perlawanan untuk kepentingan pribadi mereka. Setelah berjuang sepuluh tahun, beliau hanya dapat mengumpulkan sekelompok kecil penganut yang berbakti. Kemudian menghentikan perjuangannya scmentara. Pada titik tersebut, beliau terpaksa menimbang kedaruratan, menjalankan langkah yang menentukan, dan revolusioner. Beliau hendak memutuskan pertalian kekeluargaan yang suci, hingga waktu itu telah dapat melindungi beliau dan memindahkan penyiaran agamanya ke pusat baru. Usaha beliau mula-mula hanya mendatangkan gangguan dan kekesalan. Secara mendadak dan tidak dikira-kira terbukalah jalan bagi beliau. Dua ratus mil sebelah Utara dari Mekkah terletak kota Madinah yang sedang menderita karena peperangan saudara yang tidak kunjung padam antara suku-suku Arab yang bersaingan. Suku-suku Arab ini, setelah kehabisan tenaga dan merasa takut bahwa suku-suku Yahudi yang dikuasainya akan mempergunakan kelemahan mereka untuk berontak, memohon kepada Muhammad saw. datang ke Madinah untuk menjadi wasit dan juru damai. Scsuai dengan kebijaksanaan beliau, beliau minta jaminan keamanan bagi kedudukannya sendiri dan minta agar penganut beliau diperbolehkan mendahului datang ke Madinah. Perundingan dilangsungkan sampai satu, dua tahun, tetapi akhirnya pada musim rontok tahun 622M Muhammad saw. melarikan diri dengan sembunyi-sembunyi meninggalkan Mekkah. Beliau dapat meloloskan diri dari kejaran pemburunya. Lalu menetap di pangkalannya yang baru.

Hijrah ini sering dianggap sebagai permulaan masa baru dalam sifat dan kegiatan Muhammad saw. Tetapi, perbedaan besar yang biasanya digambarkan antara nabi yang samar dan dikejar-kejar di Mekkah, kemudian dikejar oleh prajurit, dan penguasa agama di Madinah, tidaklah dibenarkan oleh sejarah. Sebetulnya, tidak ada perubahan dalam keyakinan Muhammad saw. sendiri dan tentang paham tugas beliau. Lahirnya pergerakan Islam mendapat bentuk baru dan membangun suatu masyarakat yang tertentu, disusun menurut garis-garis politik terpimpin oleh seorang penghulu tunggal. Semuanya hanya memberikan lahiriah yang terang bagi sesuatu sampai waktu itu masih terkandung. Dalam gagasan Muhammad saw. (sebagaimana juga dalam pikiran lawan-lawan beliau) persatuan agama baru ini telah diciptakan sebagai suatu masyarakat yang diatur menurut garis-garis politik, bukannya sebagai suatu "Gereja" dalam suatu negara duniawi. Dalam uraiannya tentang sejarah nabi-nabi, gagasan itulah merupakan bagian yang utama dari maksud Tuhan mengirimkan para nabi. Kita tidak perlu mencari keluar tanah Arab untuk menemulkan sumber-sumber ciptaan ini meskipun Muhammad saw. akan bertindak demikian, beliau akan mendapat agama dan negara diikatkan menjadi satu dalam semua lembaga-lembaga kerajaan pada waktu itu, di Persia, Bizantium, dan Abesinia.

Barang baru di Madinah ialah masyarakat agama yang telah diwujudkan dari teori ke praktek. Biarpun demikian, karya itu, pertama-tama bukan merupakan hasil usaha Muhammad saw. sendiri, tetapi karena kota Madinah yang membutuhkan beliau, bukannya beliau yang membutuhkan Madinah. Kejadian itu adalah bukti nyata bagi beliau dan penganut-penganutnya tentang adanya pertolongan dari Allah. Pertumbuhan sesudahnya dalam ajaran beliau dan paham Islam dalam waktu permulaan, bersumber dari kenyataan bahwa masyarakat merupakan suatu badan dan kebutuhan penyesuaian (yang tidak selalu mudah) antara idam-idaman dan fakta-fakta yang tegas, serta syarat kehidupan yang praktis di dunia.

Sekarang datang waktunya membangun dengan teguh dan aman, tetapi bagaimana? Muhammad saw. telah mencoba meyakinkan dengan jalan damai, akan tetapi gagal. Perlawanan orang Mekkah berdasarkan atas alasan politik dan perekonomian; hanya dengan tekanan di bidang politik dan perekonomian, beliau akan dapat mematahkan perlawanan tadi. Sejak itu kegiatan politik beliau berkisar pada dua sumbu: mempersatukan, menyusun dengan teguh umat Islam, dan menundukkan orang Mekkah dengan paksaan. Tugas yang kedua ini, tidak akan memuaskan apabila hanya berupa pembalasan dendam saja. Biarpun beliau mula-mula mungkin merasa dendam benci terhadap kota Mekkah yang telah menampik beliau (dan karena itu, beliau pandang menolak wahyu Tuhan yang ditugaskan padanya). Mekkah segera mengambil tempatnya kembali dalam pusat kesayangannya. Kurang dari setahun setelah Hijrah, Mekkah dinyatakan sebagai pusat kebaktian dalam sistem Islam, dan dengan demikian, menjadi irredenta (daerah yang belum dibebaskan) kerohanian.

Sikap Muhammad saw. terhadap Mekkah dengan tindakan demikian telah ditempatkan di atas tingkat perasaan beliau pribadi. Lagi pula, Mekkah merupakan pemimpin dalam bidang intelektual dan politik Arabia Barat; selama Mekkah tetap bermusuhan, umat Islam akan berada dalam bahaya pembinasaan. Lebih tegas, Muhammad saw. ini sungguh-sungguh mengerahkan tenaga orang Mekkah turut serta dalam kebaktian Islam. Tidak ada kota lain di Arabia Barat yang memiliki paham intelektual dan kemampuan politik seperti Mekkah walaupun beliau insaf bahwa dalam bidang kebesaran keyakinan agama, Madinahlah yang merupakan pusat kerohanian masyarakat baru.

Di Madinah, beliau dapat menghalang-halangi jalan perdagangan Mekkah ke jurusan Utara. Ekspedisi beliau terhadap suku-suku Badui merupakan bagian suatu rencana keahlian yang disempurnakan dengan kepahaman dan pengertian yaitu mengambil keuntungan dari kedudukannya dan memblokir Mekkah, hingga kota tadi menyerahkan diri. Tindakan itu akan mencetuskan pertikaian senjata yang telah diramalkan oleh beliau. Tiga pertempuran utama, di Badr, Uhud, dan pertempuran "Chandaq" (Parit) yang dilakukan masing-masing dalam tahun dua, tiga, dan lima tarikh Hijrah hanya mempunyai nilai sementara saja, biarpun peristiwa tadi dibesar-besarkan dalam hadis-hadis. Penting bagi maksud Muhammad saw. bahwa pada suatu waktu Mekkah akan menggabungkan diri dengan sukarela. Bakat politik beliau yang luar biasa terbukti dari cara mencakup Mekkah setelah berjuang tujuh tahun, bukan sebagai musuh yang dialahkan, tetapi sebagai seorang kawan yang ikhlas bahkan bersemangat. Dua tahun kemudian, waktu menghadapi keadaan yang amat penting untuk pertama kali yaitu waktu Muhammad saw. wafat, Mekkah sebenarnya yang terutama memberikan sokongan merebut kembali keunggulan Islam di Arabia.

Keputusan Muhammad saw. memilih jalan memerangi suku-suku ialah lebih dari suatu bayangan keadaan politik dan sosial di Arabia. Alasan keduniawian apa pun yang sewaktu-waktu mungkin mempengaruhi arah kegiatan beliau dengan sadar ataupun tidak sadar, asas tujuan beliau semata-mata keagamaan. Hingga akhirnya beliau menganggap tindakan militer dan diplomatik sebagai alat untuk mengenakan pengaruh kesusilaan dan keagamaan pada suku-suku yang keras kepala dan sombong. Perlu dicatat bahwa beliau tidak pernah menggunakan kekuatan militer, apabila tindakan diplomatik sudah mencukupi, dan setelah Mekkah jatuh, operasi militer semata-mata dihentikan. Harus ditambahkan bahwa segala pertimbangan sejarah yang dapat dipergunakan untuk menelaah keadaan tadi membenarkan pandangan Muhammad saw.

Adapun kesalahan besar adalah dugaan bahwa perhatian dan kepentingan Muhammad saw. dalam tahun-tahun tersebut hanya meliputi urusan politik dan peperangan. Sebaliknya, pusat karyanya ialah mengajarkan, mendidik, dan melatih ketertiban dan kesetiaan umatnya. Mereka diumpamakan ragi yang akan meragikan umat keseluruhannya, sebab beliau mengenal watak orang Arab, dan insaf bahwa pengislaman yang sejati hanya dapat dicapai setelah usaha beberapa lama melampaui usianya sendiri. Dua tahun yang terakhir dari hidupnya dibaktikan untuk menggembleng bekas para lawan Mekkah dalam kesungguhan moral para penganutnya yang terdahulu, dan meyakinkan mereka untuk melanjutkan tugasnya setelah beliau wafat. Akibatnya ialah keoknuman umat Islam lambat laun ditakrifkan atas garis yang sejajar dengan pembentukannya sebagai kesatuan politik yang merdeka.

Sementara itu, pergerakan Islam bertambah menjadi pusat perasaan Arab. Masih menjadi pertanyaan apakah perkembangan itu terjadi karena dengan sengaja disalurkan oleh Muhammad s.a.w. ke arah tersebut, ataupun karena permainan yang tidak disadari dari kekuatan-kekuatan yang telah menyeret beliau dalam arusnya. Dalam tahun-tahun yang terakhir, sedikit-dikitnya, Muhammad saw. mengetahui kecenderungan ini. Boleh jadi kecondongan itu menyebabkan (dan diperkuatkan oleh) tindakan-tindakannya terhadap suku Yahudi. Terpisah dari benar tidaknya ceritera bahwa beliau mengirimkan tuntutan kepada Kaisar Roma, Raja Diraja Persia, dan Pangeran kerajaan lain, beliau berniat menjalankan suatu tindakan terhadap kekuasaan Bizantium di Utara sebelum wafatnya tahun 632 M. Penyerbuan pertama terhadap Siria yang dilancarkan segera setelah beliau mangkat oleh pengganti beliau, Abubakar ra. hampir tidak dapat diberikan penjelasan lain. Mungkin juga perubahan sikap Muhammad saw. kemudian terhadap agama Kristen mencerminkan perasaan permusuhan yang bertambah besar terhadap orang Yunani dan sekutu-kutunya antara orang Arab Kristen dari golongan ortodoks dan monofisit.

Apabila kita memindahkan perhatian dari kehidupan resmi Muhammad saw. pada kepribadian dan pengaruh moral dan sosial beliau, tidak selalu mudah untuk mengambil jalan lurus antara odium theologicum (kebencian agama) dari kebanyakan pembahas Barat dari zaman dulu dan pembelaan yang tidak meyakinkan dari pengarang muslimin modern. Penyelidikan tentang sumber-sumber belum cukup penuh untuk memungkinkan kita menentukan dengan pasti hadis yang tulen dan hadis tambahan. Harus diakui bahwa gambaran manusia Muhammad saw. telah menderita banyak menurut generasi-generasi kemudian dari penganutnya adalah asli. Akan tetapi, dari kumpulan besar detail-detail yang agaknya keterlaluan bersifat kemanusiaan, bersinarlah suatu kebesaran kemanusiaan - yang tidak dapat disangsikan lagi - belas kasihan terhadap yang lemah, keramahtamahan yang jarang berubah jadi kemurkaan, kecuali apabila dilancarkan penghinaan terhadap Allah, malahan suatu sifat kemalu-maluan dalam pergaulan sesama manusia dan kejenakan; anehnya, semua bertentangan dengan tabiat dan semangat yang lazim pada zamannya dan dari penganutnya, yang tentunya tidak lain merupakan bayangan dari orangnya sejati. Diriwayatkan bahwa pada waktu menunaikan ibadat haji, Abubakar ra. memukuli seorang yang telah bersalah menyesatkan seekor unta. Muhammad saw. tersenyum dan bersabda: "Hai lihatlah apa vang dikerjakan oleh jemaah haji ini!" Sebuah ceritera yang kurang penting, akan tetapi tidak ada ceritera lain yang dapat menggambarkan lebih tepat gelombang yang berada antara Muhammad saw. dan bahan manusia yang harus beliau hadapi daripada fakta yang ditambahkan oleh yang punya ceritera: "tetapi, beliau sebenarnya tidak melarangnya."

Pada dasarnya, ketidakpahaman semacam ini yang menyebabkan para pembahas menaruh kepercayaan pada Quran dalam mempertimbangkan Muhammad saw. Tidak boleh disangsikan, Quran mencerminkan sikap keagamaan yang asasi kepribadian penyiaran; kesalahan penelaah-penelaah tersebut terletak dalam mempersamakan penyiarannya dengan orangnya. Muhammad saw. rupanya telah menginsafi perbedaan antara perundang-undangan pada satu pihak, dan ajaran serta teladan pribadi pada lain pihak. Dalam mengeluarkan peraturan hukum, beliau memperhitungkan watak konservatif dan sifat penolakan masyarakat Arab, serta mengetahui pula sampai mana beliau dapat menunaikan perubahan-perubahan adat-istiadat dengan titah. Oleh karena itu, Quran meresmikan dengan peraturan dan jaminan hukum adat kebiasaan, seperti balas-membalas, tetapi jarang lupa membubuhi dalam pernyataan yang sama, anjuran-anjuran untuk melunakkan kekerasan keadilan dengan belas kasihan dan kemurahan hati yang keluar dari pelaksanaan kebutuhan orang akan permohonan ampun.

Contoh yang sangat menyolok mata terdapat dalam perundang-undangan tentang perceraian dan kehidupan keluarga. Telah diakui umum bahwa perubahan yang beliau jalankan telah menaikkan kedudukan wanita umumnya, berlawanan dengan kekacaubalauan pada zaman pra-Islam di Arabia. Namun, Quran dengan jelas mempertahankan hak yang lebih besar dari sang suami dan sang bapak, dan mensahkan perkawinan sampai batas empat orang istri, dan talak dengan syarat-syarat tertentu. Ternyata Muhammad saw. tidak dapat berusaha lebih dari itu dengan cara perundang-undangan. Bahkan dalam waktu yang tidak lama, sebagian besar hak-hak yang diberikan kepada kaum wanita dan pembatasan yang diwajibkan kepada walinya dapat dipotong oleh kecerdikan para ahli fanulfuru.

Adapun hadis pada pihak lain, sepakat menegaskan Muhammad saw. pribadi tidak dapat membenarkan talak sebagai suatu barang "yang dibenci oleh Allah." Kehidupan kekeluargaan beliau di Madinah dan perkawinan beliau berkali-kali telah menjadi pokok sindiran pada satu pihak, dan pembelaan yang berkobar-kobar dan kurang cerdik pada pihak yang lain. Hadis-hadis tidak merahasiakan cintanya terhadap kaum wanita atau tentang fakta bahwa sifatnya tadi selaras dengan perhatiannya yang saksama akan kesusilaan. Para penelaah condong melupakan kesabaran hati beliau yang tidak putus-putus, biarpun dalam keadaan yang merangsang dan keramahtamahan beliau pada waktu memeriksa penderitaan para wanita dari aneka warna golongan, serta memberikan hiburan dan penglipur hati bahkan kadang-kadang mengubah perundang-undangannya.

Tidak perlu dijelaskan di sini, bahwa pegangan yang telah beliau peroleh atas tekad dan kasih sayang sahabat-sahabatnya disebabkan oleh pengaruh kepribadiannya. Tanpa keluhuran itu, mereka tidak akan menghiraukan tuntutan Nabi Muhammad s aw. Penduduk Madinah telah minta pertolongannva karena keutamaan akhlaknva, bukan karena ajaran agamanya. Akhirnya, tidak boleh disangsikan, juga bagi para sahabat, dua aspek kehidupannya tadi tidak dapat dibedakan yang satu dari yang lain, sebagaimana kemudian berlangsung bagi seluruh umat Islam.

Setelah kepribadian yang kuat tersebut lenyap, penghormatan terhadap Nabi Muhammad saw. mendatangkan pemulukan riwayat hidupnya karena pertumbuhan dari dalam dan unsur-unsur yang dimaksudkan dari luar. Setelah paham sosial dan kesusilaan kaum muslimin menjadi halus karena pengaruh aliran kesusasteraan dan filsafat baru, gambaran Nabi Muhammad saw. terus menerus disesuaikan dengan angan-angan dan cita-cita baru. Dalam bab lain, akan dilihat bagaimana para ahli Sufi telah menyelaraskan Muhammad saw. dalam ilmu kosmologi mistik dan sistem pemujaan orang suci. Pada waktu itu, penggambaran secara idam-idaman dari Nabi Muhammad saw. telah beralih dari lapangan kesusilaan ke suatu lapangan yang boleh disebutkan kebutuhan kehidupan rohani. Sampai mana pun cita-cita tadi melayang, hati para muslim tidak pernah melepaskan hubungan dengan Muhammad bin Abdullah saw.

Sufi Agung Al-Hallaj

Al-Hallaj ditengah Kontroversi

Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:

Mereka yang mengkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.

Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy.

Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.

Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etik murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya:

“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, tahun 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.

Analisis Tanggapan

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.

Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”

Seperti ucapan-ucapan Al-Hallaj :

Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.

Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.

Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.

Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.

Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.

Seperti suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.

Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertutupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.

Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.

Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.

Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa di arusi kesenjangan.

Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.