red_roodee

Monday, November 13, 2006

MENELAAH PROBLEMA PEKERJA ANAK, ANTARA PERLINDUNGAN ANAK DAN REALITAS SOSIAL

MENELAAH PROBLEMA PEKERJA ANAK, ANTARA PERLINDUNGAN ANAK DAN REALITAS SOSIAL

Masalah seputar kehidupan anak telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Sebagai akibat dari kegagalan pranata sistem sosial yang ada di negeri ini, sehingga banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak anak. Untuk itu dalam rangka membangun kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak yang belum mampu diwujudkan oleh negara, maka diskusi-diskusi dan aksi sosial untuk mendorong perubahan menuju perlindungan hak-hak anak harus terus dibicarakan dalam ruang publik. Sehingga muncul kesamaan persepsi, kesefahaman memandang pentingnya sosialisasi dan advokasi tentang perlindungan terhadap anak-anak.
Selama ini, dari diskusi-diskusi yang dibicarakan baik oleh institusi Negara, LSM dan institusi-institusi lain yang peduli dengan nasib anak, sebenarnya negeri ini telah mempunyai regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak anak seperti UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM khususnya Bab 3 Bagian ke-10 tentang Hak Anak, dan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun itu belumlah cukup menjadi regulasi yang komprehensif apalagi tidak ditunjang dengan implementasi yang serius untuk melindungi anak. Perlu tindakan bersama yang massif antar elemen masyarakat yang peduli untuk melindungi hak-hak anak.
Dalam realitas sosial, terjadinya kasus-kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan fenomena gunung es.
Hadirnya UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini.
Adanya UU Perlindungan Anak akan memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. UU ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari KHA tersebut yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. UU ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam UU inipun akan membuat UU ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak.
Jika kita fokuskan pada problema pekerja anak ditinjau dari perspektif perlindungan anak di tengah realitas sosial, maka banyak persoalan yang terjadi, misalnya tentang anak yang di-eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, anak yang bekerja di jermal, anak yang bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya, upah yang minimal dan sebagainya. Sebenarnya, anak yang boleh bekerja jika dilihat dari UU ketenaga kerjaan adalah anak-anak yang usia diatas 13 tahun, itupun mesti memenuhi syarat-syarat seperti gaji yang sepadan, hanya boleh 3 jam dalam sehari, bukan bekerja pada sektor-sektor pekerjaan yang berbahaya dan masih banyak lagi.
Untuk Kalbar, masalah anak juga sedemikian rumit, banyak anak yang putus sekolah, anak yang menjadi gelandangan dan pengemis, anak-anak yang menjadi korban trafficking, dan kalu kita lihat di media massa, hamper tiap hari selalu saja ada anak yang menjadi korban kekeras, eksploitasi seksual dan sebagainya. Untuk menangani ini, perlu partisipasi aktif semua pihak bukan hanya dibebankan kepada pemerintah.

Rudy Handoko

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

SUDAH MASSIF DAN REPRESENTATIFKAH PEMEKARAN WILAYAH

Wacana pemekaran telah booming pasca tahun 1999 dan marak pasca 2000-an. Maraknya aspirasi berbagai daerah untuk memekarkan diri, seiring pula dengan dorongan implementasi otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi kewenangan politik-kebijakan publik dan perimbangan keuangan pusat daerah dalam upaya pendekatan pelayanan publik yang lebih efektif-efisien, transparan dan akuntabel menuju kesejahteraan. Di Kalbar pun wacana pemekaran telah terbukti konkrit dengan hadirnya beberapa daerah kabupaten/kota baru.
Konteks Ketapang, wacana pemekaran bukan hanya bergulir semata pada scope pemekaran kabupaten, tapi demikian dinamis menjadi isu pemekaran provinsi. Dengan berbagai pertimbangan wilayah geografis yang sangat luas, kemudian demi aksebilitas pelayanan publik dan rentang kendali pemerintahan. Karena wilayah kabupaten terbesar di Kalbar ini memang seakan-akan terisolir dan menyendiri dibanding dengan daerah-daerah lainnya.
Bergulirlah wacana pemekaran Provinsi Tanjungpura, lepas dari provinsi induk Kalbar, kenyataannya terbentur pada regulasi UU 32/2004 yang mensyaratkan lima daerah otonom untuk membentuk satu provinsi. Sedangkan Ketapang hanyalah satu kabupaten.
Seiring itu, booming pula wacana pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Kayong Utara yang pembahasannya seperti diberitakan di Harian Kompas dan di internet telah masuk dalam daftar inventarisasi RUU daerah pemekaran.
Wacana ini menjadi pemicu munculnya keinginan membentuk Kabupaten Kayong Timur atau Kabupaten Sandai, Kabupaten Kayong Selatan, dan seperti yang diwacanakan yakni Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Barat, dan satu daerah otonom kota yakni Kota Ketapang.
Belajar dari wacana-wacana yang telah bermunculan, saya berpendapat, bahwa ide-ide yang selama ini disampaikan tidak akan bergerak massif. Karena meski telah mewacana, namun kurang begitu mendapat tanggapan di grass root, hanya menjadi konsumsi terbatas bagi mereka-mereka yang memahami dan peduli. Jika seperti ini biasanya wacana akan patah arang alias tenggelam timbul saja, lantaran setting pemekaran yang dikembangkan juga terlalu top down, hanya melibatkan arus kepentingan tingkat elit, terlalu banyak pemainnya (aktor politiknya) dengan berbagai kepentingan, tidak disertai gerakan massif sosialisasi dan pengembangan wacana serta pemberdayaan ditingkat grass root. Sehingga kurang legitimate, karena tingkat partisipasi dan penyertaan masyarakat atau pemangku kepentingan masyarakat dari tingkat yang paling bawah tidak signifikan.
Kemudian, faktor data dan fakta yang berkenaan dan dapat dijadikan argumentasi tentang kenapa suatu wilayah harus dimekarkan, ini juga lemah. Semua keinginan dikonstruk berdasarkan asumsi-asumsi sehingga tidak valid dan ilmiah. Misalkan, pemekaran harus dilakukan karena persoalan acces to justice pembangunan yang mestinya harus merata dan seimbang, kemudian harus adanya mapping/pemetaan potensi wilayah yang menjadi pertimbangan seberapa besar PAD, selama ini juga tidak bisa ditampilkan riil. Belum lagi jika bicara seberapa besar prospek investasi yang bakal terserap, tingkat penyebaran penduduk/demografis, tingkat pendapatan termasuk angka riil kemiskinan yang harusnya juga dipresentasikan, karena ini menjadi pertimbangan ke depan terkait dengan DAU dan DAK. Ini semua mesti di-manage dalam gerakan mendorong pemekaran, bukan asal teriak pemekaran, namun ketika ditanya tentang hal-hal yang terkait tentang pemekaran hanya bisa ber-asumsi atau lebih celakanya hanya bisa diam.
Terlebih lagi, kelemahan mengelola isu dan wacana pemekaran belajar dari pengalaman Kayong Utara adalah persoalan tingkat representasi rakyat yang menghendaki pemekaran itu. Ada memang panitia pemekaran, pertanyaannya… apakah itu merupakan representasi dari rakyat disuatu wilayah? Misalkan representasi wilayah terkecil setingkat desa, yang baik secara formal dan informal diakui sebagai representasi seperti kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda atau yang lainnya. Kecenderungan pemikiran masyarakat sekarang adalah kekhawatiran, bahwa kepanitiaan itu hanya dipenuhi orang-orang yang justru bukan representasi dari masyarakat.
Dari sisi dokumentasi dan sosialisasi, gerakan pemekaran yang ada di Kabupaten Ketapang juga lemah. Harusnya, di zaman teknologi informasi, segala kegiatan mendorong pemekaran seperti aspirasi-aspirasi warga, pertemuan-pertemuan warga, pertemuan-pertemuan dengan pihak pemerintah dan sebagainya, itu bisa dipublikasi dan dipresentasikan melalui media secara visual dan audio visual kepada masyarakat dan pemerintah. Sehingga bisa menjadi bukti bahwa gerakan pemekaran itu riil dukungannya. Dengan begitu, tampak bahwa pemekaran memang muncul dan merupakan dorongan dari arus bawah atau bottom up, bukan politisasi.
Substansi dari pemekaran adalah pengembangan dan pemberdayaan wilayah yang lebih sejahtera dan mandiri, sekaligus proses pendidikan dan pendewasaan politik masyarakat, bahwa perubahan itu tidak harus selalu didorong oleh elit, tapi bisa melalui grass root.
Selain itu, pemekaran tidak selesai pada menggiring ke arah mekarnya wilayah, tapi juga yang paling penting adalah penyiapan infrastruktur untuk menuju kedemokratisan. Melalui gerakan grass root itu nantinya, pemberdayaan terjadi dan sebetulnya proses demokratisasi berjalan melalui stake holder yang paling berkepentingan yakni rakyat.*

Rudy Handoko
Pegiat Himpunan Mahasiswa Kayong Utara (HIMAKATRA) dan Komunitas Kajian Lintas Kayong (KKLK)

KENAPA HARUS SAWIT

KENAPA HARUS SAWIT

Kabupaten Ketapang ini merupakan daerah yang sangat potensial mengingat potensi sumber dayanya yang sangat besar. Namun memang pengembangan dan pembangunan daerah ini tergolong tertinggal dari segi pembangunan sarana-prasarana dan pemberdayaan masyarakatnya.
Padahal jika sumber daya dan potensi yang besar itu dikelola maksimal dan tentunya dengan berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat dan memperhatikan keseimbangan ekologis maka akan mensejahterakan masyarakatnya.
Saat ini orientasi kebijakan Pemkab menjadikan kawasan Kabupaten Ketapang sebagai wilayah investasi perkebunan. Kini alternatif pengembangan potensi sumber daya lahan salah satunya sudah diarahkan pada sektor perkebunan. Namun apa daya, ternyata skenarionya adalah sawitisasi Ketapang. Dengan hanya menggambarkan bahwa sawit akan memberikan kesejahteraan, Pemkab telah membodohi masyarakatnya, karena sisi negatif dari sawitisasi secara sosial-budaya dan lingkungan tidak pernah ditampilkan.
Dalam konteks ini, saya mencoba memberikan beberapa catatan kritis. Misalkan contoh untuk Kalbar secara keseluruhan hingga kini tercatat 1.574.855,5 Ha lahan sudah dipergunakan untuk sektor perkebunan. Dari jumlah tersebut, 587.179,5 Ha merupakan perkebunan rakyat, dan sisanya 782.775,5 Ha perkebunan besar. Dari alokasi untuk perkebunan besar tersebut, tercatat hanya 195.596 Ha (atau sekitar 24,99%) yang sudah benar-benar dipergunakan untuk perkebunan. Dari catatan angka ini menunjukkan adanya fenomena menarik dari investasi ”penguasaan lahan” yang ”berkedok” perkebunan tersebut. Apakah untuk konteks Ketapang juga di skenariokan begitu?
Padahal pada sisi yang lain, kehidupan masyarakat yang bertopang pada sektor pertanian dan perkebunan dengan berbagai keanekaragaman tanaman, cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Karena perkebunan rakyat seperti karet, kopi dan lada merupakan salah satu tulang punggung terbesar perekonomian rakyat yang lebih menjanjikan, untuk penjualan hasil produksipun bisa kompetitif karena tidak hanya satu arah ke pabrik dan monopolistik seperti sawit. Persoalan kepemilikan pun langsung dimiliki oleh masyarakat, bukan dikuasai pemilik modal.
Jika perkebunan sawit yang dilirik, maka belajarlah pada beberapa kasus di daerah-daerah lain, memang secara jangka pendek berdampak baik bagi pertumbuhan perekonomian, namun berdampak negatif dalam jangka panjang, baik bagi pengembangan perkebunan lain, pertanian juga bagi kelestarian lingkungan karena akan berdampak merusak lingkungan dan hutan. Apakah kita mau melihat bencana kedepan terjadi di tanah tercinta, akibat kebijakan yang salah. Kalaupun tetap ingin mengembangkan sawit, seharusnya jika memang berniat baik, yang dijadikan lahan adalah dengan memanfaatkan, berdayakan dan hidupkan saja lahan kritis. Jangan dengan membuka lahan baru yang tentunya dengan jalan menebangi huta.n
Ibarat latah, Pemkab yang berkeinginan menjadikan Ketapang sebagai sentra perkebunan sawit melupakan pertimbangan-pertimbangan itu, hanya melihat keuntungan sesaat saja tanpa melihat dampak jangka panjang.
Gerakan sawitisasi ini ternyata juga terjadi diwilayah Kayong Utara, terhitung mulai dari Simpang Hilir, Teluk Batang, Seponti Jaya dan Pulau Maya Karimata pun dilirik sebagai ini sebagai kawasan pengembangan perkebunan dan industri CPO. Padahal kawasan ini jika dilihat secara potensi, maka masih banyak yang bisa dikembangkan selain sawit. Harusnya konsentrasi pembangunan dan pemberdayaannya yang sesuai dengan karakteristik wilayah.
Jika dipaksakan, maka kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan secara sosial dan ekologik sangat rawan. Karena kegiatan perkebunan dan industri hilir pengolahan hasil perkebunan, juga kerap menimbulkan permasalahan lingkungan.

Rudy Handoko

Pegiat Himpunan Mahasiswa Kayong Utara (HIMAKATRA) dan Komunitas Kajian Lintas Kayong (KKLK)

Sunday, November 05, 2006

OTONOMI DESA DAN ALOKASI DANA DESA

OTONOMI DESA DAN ALOKASI DANA DESA

Bergulirnya otonomi daerah telah berjalan sejak Januari tahun 2001, dalam beberapa hal, otonomi daerah yang dilegalkan dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahnya dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangannya, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi pemerintahan di negeri ini. Di beberapa wilayah otonom di negeri ini, memang otonomi telah melahirkan sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan akuntabel serta yang paling penting mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya melalui segala bentuk pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak dasar yang baik. Namun lebih banyak diberbagai daerah otonom, ternyata peluang otonomi daerah telah melahirkan rezim totaliterian dan korup gaya baru, melahirkan raja-raja kecil di daerah dan hanya mengalihkan korupsi di tingkat pusat, sekarang berada di depan mata rakyat yakni didaerahnya sendiri.
Kemudian lahirlah UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap UU yang telah ada. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam UU tersebut, selain langkah fantastik Pilkada langsung yang mengikuti trend Pilpres langsung adalah adanya wacana baru yang digunakan dalam paradigma pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan yakni UU No.32 Tahun 2004 ini jika dikaji secara mendalam telah memberikan peluang bagi pemberdayaan masyarakat desa dengan telah mendudukan fungsi desa sebagai komponen pelaksana pembangunan yang sangat penting dan niscaya. Pasal 215 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Kemudian adanya PP No.72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar oleh Pemkab untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya.
Pengelolaan keuangan desa pun menjadi wewenang desa yang mesti terjabarkan dalam peraturan desa (Perdes) tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Dengan sumber pendapatan yang berasal dari pendapatan asli desa seperti dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Selanjutnya bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10%, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa (ADD). Kemudian pendapatan itu bisa bersumber lagi dari bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Selanjutnya regulasi yang ada tentang desa juga membolehkan desa untuk mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa sesungguhnya telah didorong, diupayakan dan diharapkan menjadi mandiri dan berdikari.
Apalagi bergulirnya dana-dana perimbangan tersebut melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harusnya menjadikan desa benar-benar sejahtera. Namun memang ini semua masih dalam angan-angan, untuk persoalan ADD saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun lebih banyak daerah yang belum melakukannya.
Untuk itu, seharusnya proses transformasi ke arah pemberdayaan desa terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju otonomi desa yang ber’daulat’, sembari terus menata, capacity building system dan struktur kelembagaan desa agar terbina SDM yang mampu memanage desa dengan aspiratif, transparan dan akuntabel. Dan...ini juga menjadi kewajiban aparat pemkab yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur desa meningkat. Sehingga tidak selalu dianggap tidak mampu.
Pertanyaannya sekarang, apakah pemerintah kabupaten mempunyai goodwill dan political will untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ada ke dalam bentuk praksis. Seperti kewajiban untuk mengalokasikan ADD yang sesungguhnya memang menjadi hak desa, apakah pemerintah kabupaten bersedia untuk membuat peraturan daerahnya, atau tetap dengan paradigma lama dan basi yakni takut berkurang jatahnya jika ADD di perdakan, atau masih selalu menganggap desa belum mampu mengelola pemerintahannya termasuk keuangannya.
Namun, jika pemkab termasuk DPRDnya masih tidak bersedia atau tidak berniat baik untuk meng-agendakan dan membuat perda tentang ADD ini, maka desa berhak menggugat dan melakukan pelaporan, karena ini tindak kejahatan dan melanggar peraturan yang lebih tinggi yakni UU No.32 tahun 2004 dan PP N0.72 tahun 2005. Sekian

Rudy Handoko

HIV AIDS Semakin Menakutkan…Hiiiiiiiiiy!

HIV AIDS Semakin Menakutkan…Hiiiiiiiiiy!

Endemi penyebaran HIV AIDS telah menakutkan dunia, tak pelak ini membuat negara-negara di dunia termasuk PBB menyerukan kerjasama internasional untuk mengatasinya, paling tidak menekan laju perkembangannya yang telah sampai pada tahap sangat mengkhawatirkan ini. HIV/AIDS yang didefinisikan Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah Kumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV.
Penyebaran HIV didapatkan melalu media cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Dengan cara penularan melalui hubungan seksual tidak aman atau hubungan seksuaL dengan penderita atau pengidap HIV-AIDS, transfusi darah yang tercemari HIV-AIDS, jarum suntik yang tidak aman dan penularan dari ibu ke anak.
Dari fase umur, populasi kaum remaja (13-19 thn) merupakan kelompok resiko tinggi tertular HIV-AIDS, karena penularan heteroseksual meningkat, aktifitas seksual tidak aman, kegemaran mereka untuk mencoba obat terlarang seperti pemakaian NAPZA, adanya ‘sexual abuse’ seperti traficking dan pelacuran anak anak.
Hasil tahun 2005, menurut Peter Piot Direktur Eksekutif UNAIDS bahwa 3,1 juta orang meninggal karena AIDS dan 570.000 diantaranya anak-anak, 13 juta anak Afrika yatim karena AIDS, kemudian terjadi 4,9 juta pertambahan pengidap AIDS, ini merupakan lompatan terbesar sejak wabah diumumkan tahun 1981. Selanjutnya 40,3 juta orang yang mempunyai virus HIV ditubuhnya, diperparah bahwa saat ini setiap menit seorang bayi tertular HIV dan setiap menit seorang anak meninggal karena HIV-AIDS. Untuk top scorer HIV-AIDS, Afrika Selatan menduduki peringkat pertama dengan 5,1 juta dari jumlah penduduk 45 juta diikuti India 5 juta penderita HIV-AIDS, Indonesia diperkirakan menyusul 90.000 sd 130.000 penderita, angka mungkin lebih besar lagi menurut perkiraan ahli epidemiologi. Saat ini Afrika menjadi rumah dari 25,8 juta pengidap atau 64 persen dari seluruh dunia dan Asia 8,3 juta atau 20 persen.
Kenyataan saat ini, epidemi AIDS di Indonesia saat ini AIDS menyebar di seluruh propinsi dan lebih dari 50 persen kabupaten-kota, telah dilaporkan pula AIDS bertambah setiap 2 jam, di RSKO setiap hari 1 meninggal karena AIDS, di Lapas dan Rutan setiap hari meninggal terkait AIDS dan NAPZA, di RSB Budi Asih Jakarta lahir 4 bayi setiap bulan yang sero-reaktif HIV, sedangkan di RS dengan bangsal khusus merawat AIDS telah penuh dan melimpah ke bangsal lainnya, lantas hampir setiap propinsi ada informasi ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS, kemudian di Jawa Timur ada informasi suspek “Flu Burung” dan Bayi Gizi Buruk ternyata HIV positif.
Ternyata situasi HIV/AIDS di Indonesia sejak 1987 sampai September 2005 secara total dari data yang didapat bahwa jumlah tercatat di Departemen Kesehatan, AIDS berjumlah 4.186 kasus, HIV 4.065 kasus, sehingga totalnya 8.251 kasus. Untuk estimasi tahun 2003 90.000-130.000 terinfeksi HIV dan103.971 terinfeksi HIV ditahun 2004.
Sedangkan situasi HIV/AIDS di Kalbar, dari tahun 1993 sampai Februari 2006 tercatat AIDS 184 kasus, HIV 420 kasus sehingga total 604 kasus, kemudian yang meninggal tercatat 62 orang.
Untuk situasi HIV/AIDS Kota Pontianak sendiri sampai Februari 2006 telah tercatat AIDS 104 kasus, HIV 219 kasus, total 323 kasus dengan yang telah meninggal 62 orang.
Secara global, dalam rangka pencegahan penyebaran endemi ini, telah pula dilakukan Deklarasi UNGASS on HIV/AIDS pada 25-27 Juni 2001 yang diprakarsai WHO PBB dengan program bahwa pada tahun 2005 setiap negara harus mengembangkan dan menciptakan proses signifikan dalam pelaksanaan strategi perawatan komprehensif untuk mendukung perawatan keluarga, perawatan berbasis masyarakat, sistem pelayanan kesehatan untuk menyediakan dan memantau pengobatan HIV/AIDS termasuk anak.
Kemudian program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan pula dengan tujuan umum untuk mencegah penyebaran infeksi HIV yang dengan demikian akan meminimalkan beban masyarakat yang terkena dampak dan meminimalkan dampak sosio-ekonomi HIV/AIDS, sedangkan tujuan lebih spesifiknya adalah untuk menekan tingkat penularan HIV/AIDS, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memfasilitasi upaya pencegahan, pengobatan dan perawatan yang secara komprehensif bagi ODHA, meningkatkan respon dalam bidang pencegahan, pengobatan, perawatan HIV dan dukungan bagi ODHA, dan meningkatkan koordinasi dan kemitraan antara sektor pemerintah, LSM dan sektor bisnis.
Salah satu caranya adalah dengan program perawatan komprehensif berkesinambungan. perawatan komprehensif adalah perawatan yang melibatkan suatu jejaring sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA, dan keluarganya. prinsip dasar dari perawatan komprehensif berkesinambungan sendiri adalah perawatan & pencegahan terpadu, non diskriminatif, menghormati HAM dan privasi, asuhan keperawatan dan medik, konseling dan dukungan psikososial, dukungan bagi perawatan di rumah dan mobilisasi sumber daya di masyarakat.

Program VCT
Kemudian langkah strategis lainnya adalah menjalin jaringan pelayanan berkesinambungan dengan memanfaatkan program VCT sebagai pintu masuk bagi segala kegiatan dalam perawatan komprehensif.
Program VCT yang sedang diboomingkan saat ini adalah singkatan dari Voluntary artinya sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun, Counselling atau melalui konseling pre dan pasca tes, Testing, melakukan tes darah untuk memastikan apakah klien terinfeksi HIV. Intinya VCT adalah program untuk memastikan sesorang terinfeksi HIV-AIDS atau tidak berbasis dari keinginan orang itu sendiri untuk melakukan tes diiringi dengan pendampingan konseling.
Untuk itu VCT berprinsip, sukarela, tidak boleh ada tekanan apapun dari orang lain untuk melakukan tes HIV. Rahasia, hasil dari tes tersebut hanya diketahui oleh konselor dan orang yang dites (klien), kalau pun orang lain tahu, perlu mendapat persetujuan dari klien tersebut, dan keputusan di tangan klien, semua baik keputusan sebelum dan sesudah tes merupakan keputusan klien. Seperti apakah ingin meneruskan tes, ingin tahu hasil tes atau boleh dan tidaknya hasil tes ini diberitahukan ke orang lain.
Adapun tujuan VCT secara umum adalah untuk membina adanya perubahan perilaku para pasien. Sedangkan secara lebih khusus adalah untuk meningkatkan jumlah ODHA yang menyadari dirinya HIV positif, sehingga mempercepat diagnosis HIV, lantas untuk meningkatkan kepatuhan ART sehingga akhirnya meningkatkan jumlah ODHA yang berperilaku hidup sehat dan meningkatkan penggunaan layanan kesehatan.
Dari tujuan itu, manfaat yang dapat dipetik bagi individu yakni mengurangi perilaku beresiko untuk terkena HIV/AIDS, membantu seseorang menerima status HIV-nya dan mengarahkan seseorang dengan HIV kepada pelayanan tertentu (rujukan). Untuk masyarakat secara luas bermanfaat untuk memutus mata rantai penularan HIV dalam masyarakat, mengurangi reaksi takut dan mitos terhadap HIV yang bisa menjadi stigma, dan mempromosikan dukungan pada ODHA melalui mobilitas masyarakat.
Dalam rangkaian itu, program VCT melakukan konseling sebelum dan sesudah seseorang melakukan tes, Konseling Pre-Test ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil betul telah dipahami dan sukarela, menyiapkan klien akan penerimaan apapun hasil tes, negatif-positif-indeterminan, kemudian memberikan informasi untuk menguangi resiko dan strategi menghadapi tes, memberikan pilihan untuk PMTCT dan menyediakan pintu masuk untuk terapi dan perawatan
sedangkan Konseling Pasca-Test bertujuan untuk menyiapkan klien untuk dapat menerima hasil, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri akan hasil tes, menyediakan informasi lebih lanjut, jika dimungkinkan, lantas merujuk kepada layanan lainnya ketika diperlukan dan mendiskusikan kepada klien strategi pengurangan penularan HIV.
Masyarakat diharapkan untuk memanfaatkan program ini, karena persoalan kerahasiaan VCT dijamin dan menjadi pegangan dengan jalan bila klien dirujuk harus ada persetujuan tertulis dari klien, tentang informasi apa yang boleh dan tidak boleh untuk diberikan, segala Keputusan untuk boleh menyampaikan atau menyertakan orang lain dalam proses VCT ada di tangan klien, sedangkan Tes anonymous dapat melindungi klien dari pengenalan identitas, Tes anonymous pun tidak menggunakan nama klien tetapi menggunakan kode yang ditempelkan pada CM dan sampel darah dan Pelaporan hasil tes HIV ke pusat pencatat data juga dilakukan dengan sistem kode.
Gerakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama adalah mendorong gerakan untuk datang ke VCT melakukan konseling dan tes HIV karena diketahuinya status HIV secara dini akan lebih baik.
(Rudy Handoko)

APA YANG KITA LAKUKAN

APA YANG KITA LAKUKAN

Suatu hari, HMI Cabang Pontianak mendapat kiriman dari PB HMI dalam hal ini Bidang PA. Isi kiriman itu berupa satu bundel proposal yang berisi tentang konsepsi strategi rekrutmen anggota dan pembinaan anggota.
Setelah membaca itu, saudara Ridwansyah lantas berkata padaku, wak ini bagus ni tawaran konsep dari PB ni, boleh nanti kite diskusikan, sembari ia memberikan konsepsi itu kepada saya.
Saya hanya manggut-manggut, sambil membolak-balik dan coba memahami isi atau content dari konsepsi itu.
Saya hanya termenung sambil terus mencoba memahami content itu yang simpelnya memuat tentang pola-pola atau metode-metode yang bisa dikatakan aplikatif untuk diterapkan dalam rangka rekrutmen dan pembinaan anggota. Dapat saya pahami bahwa konsepsi itu memuat tentang gimana sih strategi memperkenalkan HMI sejak pra perguruan tinggi, semasa proses seleksi penerimaan mahasiswa baru, penyambutan mahasiswa baru, masa-masa orientasi atau sebutlah opspek, rekrutmen, training sampai follow up pasca training.
Diskusi yang ditunggu-tunggu untuk membahas konsepsi itu ternyata tak kunjung hadir juga. Karena itu, saya sebagai anggota uzur di Himpunan ini mencoba urun rembug, mencoba yah... katakanlah berbagi telaahan.

***
Contentnya bagus. Setelah saya pikir-pikir n saya kenang kembali, ternyata apa yang ada dalam konsepsi ternyata juga bukan barang baru. Sering kita bicarakan, sering kita diskusikan, malah sudah ada beberapa metode praktis yang kita lakukan.
Saya inventarisir dulu.
Ingat saya, pada masa Kanda Kasiono, pernah mereka melakukan roadshow ke sekolah-sekolah dalam bentuk pelatihan siswa Islam atau apalah namanya. Nun..jauh disana di Ujung Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu. Ini secara tidak langsung telah memperkenalkan HMI kepada calon kader pada masa pra perguruan tinggi. Hasilnya, yah... itu, ada Amru, ada Dahlia, ada Dayang Asiah, yang ketika mahasiswa langsung cari HMI. Contoh yang nyata lagi adalah Wandi, yang berkenalan dengan HMI sejak ngumpul di BEM Untan, posko tsunami dan sebagainya.
Kemudian HMI Kom.KIP, dulu sekali, pernah juga mengadakan latihan dasar siswa Islam atau apapun namanya, sebagai wadah yang jika di seriusi bisa menjadi wadah sosialisasi HMI. Trus, pada waktu kegiatan hari lingkungan hidup tahun lalu, bidang PPD Cabang juga berhasil mendekati kawan-kawan SMU.
Trus...untuk masa penyambutan mahasiswa baru, persoalan perkenalan simbol atau apapun dia seperti yang ditawarkan dalam konsep bidang PA PB HMI. Sudah beberapa tahun terakhir, kawan-kawan di STAIN di susul pula di Untan telah berupaya melakukan itu baik melalui baliho, pamflet, leaflet atau pembagian profil. Jika untuk pemakaian simbol oleh para kader ketika mereka berada di kampus, juga telah dilakukan seperti pembuatan slayer, baju HMI, bikin pin, bikin kalender dan sebagainya oleh kawan-kawan Kom. FISIP, Kom.Syariah, Kom. Tarbiyah, Kom. Ekonomi dan Kom.KIP.
Kemudian untuk masa-masa orientasi mahasiswa baru, untuk di STAIN, saya pikir sudah lima tahun terakhir di dominasi oleh kawan-kawan. Di FISIP kawan-kawan komisariat juga sudah bisa bermain. Apalagi kasus pengambilan almamater di Kopma Untan, yang terkadang digunakan kawan-kawan untuk brainstoarming mahasiswa baru. Seleksi prestasi dan calon kader berkualitas, seingat saya BEM STAIN yang di dominasi HMI juga sudah melakukan melalui pemilahan data-data formulir mahasiswa baru.
Mungkin ada beberapa hal yang belum kita lakukan, misalkan inisiasi membetuk organ sayap seperti Himpunan Siswa Islam atau apalah namanya. Namun, saya dulu juga pernah mendiskusikan persoalan penetrasi ke sekolah-sekolah ini, ketika berbincang tentang fenomena kawan-kawan KAMMI dengan Rohisnya, atau dengan Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI)-nya dibeberapa daerah.
Artinya apa yang ditawarkan dalam strategi bidang PA tersebut, senyatanya telah ada dibenak dan dalam beberapa kasus telah dilakukan. Problemnya memang, lagi-lagi harus diakui, kita masih lemah pada persoalan sistematisasi kegiatan yang rapi, kejelasan tahapan-tahapan dan kontinuitas pembinaan-follow upnya, serta strategi pengembangan dan pemberdayaan pasca kegiatan seperti pengembangan jejaring yang massif baik pada masa pra perguruan tinggi maupun ketika sudah menjadi kader.
Dan tak lupa juga yang sangat urgen adalah… ada tidak semangat dan energi untuk melakukan itu. Jangan kan untuk melakukan proses di eksternal, terkadang kelemahan kita untuk konsolidasi internal saja masih keteteran dan menghabiskan waktu. Belum lagi terjebaknya pada aktivisme organisasi yang membuat kreatifitas menjadi tumpul, sehingga banyak momen-momen terlewatkan. Dan kalaupun ada ide, terkadang hanya sebatas pewacanaan yang tidak berbanding lurus dengan implementasi, habis-habis di forum diskusi, dikaji mendalam, dalam banget sampai tak ketemu ujung pangkal dan buntu.
Ada masalah-masalah yang memang benar harus dianalisis mendalam, namun banyak juga hal-hal praktis dan sederhana namun berdampak ruar biasa yang mesti praktikal dilakukan. Jika ada ungkapan berfikir besar, berbuat besar dan ke depan menjadi besar itu betul. Tapi, ketika kita hanya terpaku pada agenda besar apalagi rutinitas, maunya hanya kegiatan besar-besar saja, kalau tak besar tak mau, maka ngukur baju donk. Sehingga pola pikirnya juga harus ada penyeimbangan: berfikir besar, melakukan hal-hal yang sederhana dan kecil tapi kita mampu dan kerjanya riil, kemudian hasil dan dampaknya besar.

MASIHKAH HMI SEBAGAI ORGANISASI INTELEK, PROGRESSIF DAN BERWAWASAN PEMBAHARU

Catatan Misi Ketue tak jadi (he1001x)
---------------------------------------------------------
MASIHKAH HMI SEBAGAI ORGANISASI INTELEK, PROGRESSIF DAN BERWAWASAN PEMBAHARU

KONDISI UMMAT
Islam secara transcenden dan imanen adalah sebagai pedoman dan pandangan hidup secara menyeluruh bagi umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dijadikan pedoman dan pandangan hidup tersebut, dipahami sebagai rahmat Allah SWT, bukan saja untuk golongan umat yang mengaku muslim, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh manusia.
Setiap makhluk di alam semesta, termasuk manusia, secara fithrah memiliki kecenderungan pada nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dienul Islam. Dengan demikian tugas seorang muslim selaku khalifah Allah di dunia adalah mengikuti petunjuk suci dinul Islam dan berkewajiban mengimplementasikannya dalam bentuk perjuangan untuk membangun peradaban Islam sesuai dengan kehendak Illahi.
Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan sains dan teknologi dalam skala mundial, dunia Islam dewasa ini tengah menghadapi berbagai perubahan nilai kemanusiaan dan ideologi sosial. Karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah dialektika dalam kesejajaran dan saling menghargai atas dasar persamaan derajat persaudaraan. Namun demikian, kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, yaitu adanya kecenderungan berkembangnya sikap arogansi rasial dari kelompok bangsa tertentu yang memiliki kekuatan (power) untuk menguasai atau mendominasi bangsa yang lain yang dipandang lemah. Kebetulan negara-negara yang mayoritas berpopulasi muslim, saat ini telah menjadi sasaran bentuk-bentuk penindasan dan kebiadaban baru dengan tujuan pemaksaan terhadap suatu nilai atau cara pandang tertentu. Implikasi lebih jauh dari kondisi ini adalah semakin banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia, disorientasi sosial, degradasi moral dan serta teralienasinya manusia dari nilai-nilai kebenaran. Pandangan Islam yang holistik terhadap nilai-nilai dan ideologi sosial masyarakat dunia, senantiasa bertentangan dengan ideologi sosial Barat yang selama ini memposisikan Islam sebagai rival.
Sementara itu, umat Islam sendiri sampai sejauh ini juga masih mengalami banyak permasalahan internal, seperti rendahnya kualitas sumber daya umat, lemahnya penguasaan sains dan teknologi, terbatasnya jaringan informasi dan sebagainya. Di samping itu, umat Islam juga masih dilanda krisis kepribadian dan dibayangi oleh inferioritas budaya serta eksistensi diri. Akibatnya, umat Islam belum mampu mengantisipasi berbagai problem kemanusiaan global maupun sektoral, apalagi diharapkan mampu membuat rekayasa sosial (social engineering) bagi berkembangnya peradaban kemanusiaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

KONDISI NEGARA-BANGSA
Keterbelakangan Ummat dan Bangsa adalah kenyataan yang dapat kita lihat pada semakin tinggginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kelaparan akibat ketidakmampuan anak bangsa dalam mempercepat agenda kesejahteraan bangsanya. Memburuknya tingkat kesejahteraan bangsa dapat kita lihat dari semakin rendahnya angka pembangunan manusia Indonesia, dan masih rendahnya jaminan sosial-keamanan bagi seluruh warga negara Indonesia. Ditengah kondisi keterbelakangan bangsa yang ada, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan penjarahan uang rakyat melalui skema korupsi yang semakin menunjukkan peningkatan intensitasnya beberapa waktu belakangan ini. Akibatnya anggaran kita mengalami kekurangan permanen tidak mampu memberi stimulus bagi bergeraknya roda ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena ketidakmampuan dalam memenuhi ketersediaan anggaran, maka pencabutan subsidi dilakukan dan dipaksa mengobral murah aset-aset bangsa sehingga sebagian besar aset di negeri ini bukan lagi milik kita tapi telah dikuasai bangsa lain. Karena anggarannya selalu defisit, maka tidak ada pilihan lain ‘katanya’ selain terpaksa berutang kepada bangsa lain, walaupun utang itu tidak terlalu bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan utang tidak diberikan secara percuma, bahwa dibalik utang selalu ada kepentingan politis bangsa lain, karenanya kebijakan bangsa dapat diintervensi oleh bangsa lain. Artinya bangsa kita adalah bangsa yang terbelakang, bangsa yang miskin, bangsa yang masih terjajah oleh bangsa lain. Pun, demikian dampak sosialnya, bagi Indonesia dan seluruh wilayahnya, termasuk Kalimantan Barat.
Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.

Untuk itu menurut aku yang awam tentang HMI ini, HMI yang sudah kadung menganggap dan bangga dengan dirinya sebagai organisasi intelek, progressif dan berwawasan pembaharu, harus melakukan :

1. PEMBAHARUAN SISTEM NILAI (INTERNALISASI NDP)
Pembaharuan sistem nilai dimaksudkan pada internalisasi Nilai Dasar Perjuangan (NDP), tujuannya bagaimana mengembalikan NDP sebagai ideologi dan tumpuan nilai dari seluruh aktifitas kader HMI. Pengayaan nilai dan internalisasi NDP kepada kader perlu ditanamkan dalam diri setiap kader HMI, sehingga menjadi spirit of personality dalam kegiatan sehari-hari. Karena itu, internalisasi NDP dan perbaikan sistem kaderisasi menjadi agenda prioritas dari pembaharuan organisasi.
NDP yang dirumuskan di atas konteks teologis, filosofis dan sosial mesti melalui proses transformasi yang dinamik, sehingga dipandang penting untuk membuka ruang wacana dan forum untuk menemukenali dasar pijak keislaman HMI kedepan.

2. PEMBAHARUAN KELEMBAGAAN (INTERNALISASI PERAN KELEMBAGAAN)
Pembaharuan kedua kami letakkan pada pembaharuan kelembagaan yaitu bagaimana melakukan internaliasasi peran kelembagaan pada setiap diri fungsionaris menata ulang struktur, peran dan fungsi organisasi agar mampu mencerminkan orgainasi yang demokratis, efektif dan mencerminkan aspek profesionalisme organisasi. Dalam wilayah garapan kelembagaan keorganisasian ini, budaya organisasi harus berkembang menuju fungsi utamanya yakni berfungsi untuk mengikat “anak panah” aparat organisasi agar memiliki daya dobrak, skala prioritas kerja dan akurasi sasaran yang tinggi. Kemudian struktur organisasi HMI kedepan harus lebih berpihak kepada intensitas pembinaan perkaderan kepemimpinan. Input kader yang plural dan local content tiap cabang yang khas menuntut institutional building perkaderan yang mampu mengakomodasi keduanya.
Kemudian secara kelembagaan pula HMI sangat memerlukan strategi positioning kelembagaan dan komunitas HMI yang tepat di benak komponen masyarakat sipil maupun masyarakat negara. Hal ini berkait erat dengan perencanaan komprehensif terhadap pengembangan network untuk pemilahan dan pemilihan stake holders HMI menurut skala prioritas yang mengacu pada visi dasar perubahan.
Selanjutnya di abad informasi seperti ini, kemampuan organisasi nir laba dalam mengemban misinya sangat tergantung pada kemampuan manajerial yang berbasis pada tradisi riset dan informasi. Karena itu setiap aparat dipersyaratkan untuk memiliki keterampilan manajemen riset dan informasi yang baik. Diperlukan sistem informasi organisasi (pencarian, pengolahan, produksi dan distribusi) yang tertata dan terencana. Ini berkaitan dengan upaya membangun jaringan atau network, jika network menjadi andalan bagi penciptaan dan penguatan citra gerakan HMI, maka sistem informasi sebagai supporting system perkaderan dan perjuangan organisasi perlu ditata dan direncanakan secara terpadu. Network merupakan model perkaderan yang belum tertata. Dalam konteks membuka dan memelihara relasi baik secara individu maupun institusi, diperlukan character and capacity building fungsionaris HMI dan secara bertahap menjadi bagian dari proses institutional building public relation HMI.
Trus…Menindaklanjuti pula usaha pembentukan cabang-cabang baru HMI dengan tetap memprioritaskan pendampingan dan penguatan secara intensif kepada cabang-cabang baru yang telah terbentuk hingga tercapainya kemandirian perkaderan dan perjuangan oleh sub struktur pimpinan yang terkait dengan saling melakukan koordinasi diataranya.

3. PEMBAHARUAN DAN PENGAYAAN MUATAN PERKADERAN
Perkaderan ialah jantung organisasi untuk itu perkaderan mesti menjadi motor penggerak organisasi yang mendorong dan melahirkan usaha-usaha yang terencana, sistematis, dan berkelanjutan menuju ke arah tercapainya tujuan organisasi. Karena perkaderan mempunyai fungsi sebagai :
1. Kesinambungan dan peningkatan kualitas perjuangan misi Islam.
2. Kesinambungan dan kedinamisan kepemimpinan HMI.
3. Kesinambungan dan pengembangan perjuangan HMI.
4. Konsistensi pemahaman perjuangan HMI.
5. Kesinambungan eksistensi HMI dan peningkatan peran-peran personal kader dan capacity building kelembagaan.
Untuk itu gerakan perkaderan HMI harus memberikan arahan dalam pengembangan sumber daya kader untuk menuju kualitas kader cita yang holistik yang mempunyai bekal-bekalantara lain:
Wawasan Ideologi yang berisi nilai-nilai ideal universal seperti keadilan, persaudaraan persamaan kebebasan, kasih sayang, kearifan dan sebagainya yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai dasar pesan ajaran Islam. Wawasan ideologi ini menjadi peletak dasar bagi pengembangan berbagai aspek kehidupan lainnya. Termasuk asumsi-asumsi dasar mengenai Allah SWT, manusia, alam semesta, hari akhir dan sebagainya.
Kemudian bekal-bekal wawasan kepribadian dan skill profesionalitas yang melingkupi beberapa aspek yang akan membentuk kepribadian kader seperti sikap, mentalitas, intelektualitas, kebiasaan, juga pengetahuan praktis yang bersifat strategis atau pun teknis yang mampu membekali kader guna mengembangkan profesi secara profesional yang berdaya bagi pengembangan organisasi dan masa depan pribadi kader, misalnya jurnalistik, kewirausahaan, teknologi informasi dan sebagainya.
Di ikuti pula dengan wawasan epistemologi yang memuat seputar kaidah-kaidah sains sebagai muatan yang memberikan landasan keilmuan bagi kader. Karena itu, dengan muatan ini, diharapkan kader HMI mampu memiliki kerangka analisis yang jelas dan tepat dalam menyikapi, menyiasati dan mencari solusi berbagai persoalan. Dengan demikian, setiap kader HMI mampu bersikap, berpikir dan berperilaku saintifik serta mampu mengembangkan potensi intelektual dalam bentuk karya-karya ilmiah secara optimal.
Kemudian wawasan sosiologis-politis juga harus diberikan berbentuk wawasan sosiologis-politis berisi seputar berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah dan budaya. Dengan muatan ini, maka kader HMI diharapkan mampu mengembangkan wawasan sosial yang luas, kepekaan dan kepedulian social yang tinggi, apresiatif terhadap berbagai fenomena sosial kemasyarakatan (keumatan). Lebih dari itu, dengan muatan ini maka kader HMI diproyeksikan mampu melakukan sosialisasi dan berintegrasi ke tengah komunitas sosial yang pluralistik, serta mengoptimalkan peran-peran sosial-edukasi kemasyarakatannya baik secara personal maupun kelembagaan dalam melakukan perubahan sosial yang kontruktif.
Wawasan organisatoris tak pelak juga harus di internalisasikan terutama yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan seluk beluk keorganisasian HMI khususnya, misalnya mengangkat perkem-bangan dan peran-peran kesejarahan perjuangannya, dinamika organisasinya, konstitusinya, perkaderannya dan sebagainya. Dengan pemahaman muatan ini maka kader HMI diproyeksikan memiliki sense of belonging, rasa memiliki dan sadar sepenuhnya untuk berjuang lewat HMI.
Selain pengayaan dan internalisasi wawasan itu tadi, yang lebih penting juga adalah peningkatan kapasitas instruktur dan pembaharuan metode perkaderan yang lebih ideologis namun partisipatif dan demokratis, bukan perkaderan yang konvensional, monoton dan cenderung ortodoks dan doktriner.
Simplenya dalam bidang garapan perkaderan HMI dibutuhkan sistem perkaderan yang induktif-partisipatif yaitu perkaderan yang berorientasi pada proses partisipasi, pengembangan potensi dan bakat minat kader menuju kepada kondisi optimalnya. Apalagi dinamika perkaderan pada satu dasawarsa terakhir ini berjalan deduktif, sehingga dalam beberapa hal bolehlah terjadi penyeragaman atas muatan, kurikulum, metodologi danmetode. Namun di era sekarang ini, semua itu harus di imbangi dengan kreatifitas atas muatan, kurikulum, metodologi dan metode dengan orientasi penguatan regional, local content suatu cabang perlu diakomodasi dan diciptakan iklim perkaderan yang induktif dan ruang eksperimentasi yang luas kepada cabang untuk mengelaborasinya.
Pengembangan network perkaderanpun hendaknya segera dibangun. Hal ini penting karena tiap kelompok memiliki competency yang berbeda. Perlu memperbanyak hubungan personal maupun kelembagaan, melakukan kerjasama pelatihan competency kader termasuk kerjasama pemagangan.

4. INTERNALISASI IDEOLOGI KEISLAMAN MELALUI FAMILY STUDIES
Family Studies adalah proses di dalam sebuah wadah (kelompok) yang menitikberatkan pada ikatan persaudaraan sesama muslim sebagai sasaran kegiatannya, dengan prinsip umum yang digunakan untuk mendinamisasi adalah :
Saling berkenalan (ta’aruf)
Saling memahami (tafahum)
Saling bermitra dan tolong menolong secara sederajat (takafful, ta’awwun)
Hal ini bermanfaat dalam proses penanaman nilai ke-Islaman dan ideologisasi terhadap paa kader dan bertujuan pula untuk meningkatkan hubungan emosional sesama kader HMI khususnya dan sesama muslim pada umumnya dalam semangat persaudaraan, sehingga terbangun sikap kebersamaan dan solidaritas yang tinggi.
Kegiatan ini adalah aktivitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan potensi diri kader baik secara sendiri maupun bersama. Model kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bentuk alternatif aktivitas sebagai bagian dari perkaderan yang secara strategis memberikan peluang dan kesempatan bagi anggota untuk mengembangkan dirinya dalam skala yang lebih luas.

5. INTELEKTUAL MAPPING AND INTELEKTUAL MOVING
HMI mempunyai ciri sebagai entitas gerakan pemikiran dan pembaharuan dengan karateristik intelektualitas para kadernya. Namun memang harus diakui, sekarang kondisi itu berada pada titik nadir yang mesti dibenahi, HMI tengah mengalami HMI Culdesac yang mesti diretas. Untuk itu, HMI harus menggiatlkan kadernya untuk menggerakan kembali gerbong pemikiran intelektualnya, selain melalui tradisi baca tulis dan diskusi yang telah ada, juga perlu mentradisikan tradisi riset di tubuh HMI agar formulasi intelektual dan formulasi analisis masalah kedepan dimotori oleh eksplorasi metode ilmiah dan technical ability untuk menerjemahkan kepekaan terhadap realitas sosial-politik yang ada.
Kemudian hal lain yang perlu juga dilakukan, meminjam misinya salah satu kandidat PB pada Kongres Makassar kemarin, yakni ide cantik untuk melakukan Intelektual Booming yang saya bahasakan dengan istilah Intelektual Mapping dan Intelektual Moving di HMI dengan melalui gerakan jalur struktur formal yang ada maupun melalui penguatan, pembinaan dan pemberdayaan family studies dan organ basis atau kantong yang dibentuk.

6. PENGUATAN, PEMBINAAN DAN PEMBERDAYAAN JARINGAN GERAKAN
Pembaharuan gerakan dan perjuangan kami letakkan arah perjuangannya adalah bagaimana mengawal demokratisasi yang sedang bergulir baik demokratisasi politik, maupun demokratisasi sosial dan ekonomi. Pola gerakan HMI selama ini juga perlu untuk kita timbang secara serius. Untuk keberhasilan perjuangan, pola gerakan perlu mengalami transformasi yang lebih intelek. Perubahan struktur politik yang relatif lebih demokratis membuat HMI perlu mengemas perjuangannya secara intelek, bukan hanya ekstra parlementer tapi juga melalui jalur parlementer dengan memanfaatkan latar belakang keilmuan dan jaringan yang telah terbangun
Jaringan atau kemitraan adalah kegiatan yang dilakukan secara kelembagaan dalam kaitannya dengan lembaga lain yang diproyeksikan sebagai media sosialisasi visi dan misi HMI dengan mengembangkan strategi organisasi sebagai implementasi atas pemahaman pluralitas dan inklusifitas organisasi HMI.
Penguatan jaringan merupakan bentuk kegiatan organisasi yang dilakukan kader untuk mewujudkan tujuan perkaderan HMI, sehingga hubungan kader HMI dengan lembaga lain, organisasi kemasyarakatan, organisasi kemahasiswaan terjalin erat dan sinergis.
Tujuan adanya pembinaan jaringan adalah untuk mempertegas keberadaan kader–kader HMI khususnya dan organisasi HMI pada umumnya, di tengah pluralitas lembaga-lembaga lain dan mengakses informasi yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pemberdayaan jaringan juga mempunyai nilai strategis yang sama dengan model perkaderan yang lain. Dalam pengelolaan jaringan dibutuhkan mekanisme yang jelas dan memadai bagi bentuk peningkatan kualitas kader HMI karena erat hubungannya dengan wilayah yang riil yang akan ditemukan oleh kader HMI
Model jaringan yang dapat dikembangkan melalui pendelegasian kader, pembentukan organ basis atau kantong dan kerja sama dengan lembaga/organisasi lain. Pendelegasian kader HMI merupakan salah satu bentuk dari model jaringan yang cukup strategis. Namun demikian bentuk tersebut harus memuat visi dan misi HMI secara jelas, apabila pendelegasian kader ke dalam organisasi lain tersebut bersifat formal.
Pembentukan organ basis atau kantong adalah upaya HMI memberdayakan kadernya dengan mendirikan organ basis atau kantong yang merupakan model jaringan yang tidak mempunyai kaitan struktural dengan HMI tetapi memiliki ikatan moral, sehingga sistem yang dikembangkan lebih merupakan kreatifitas kader HMI, dan ini sangat bermanfaat terutama bagi kader-kader yang secara formal tidak berada dalam struktur HMI tapi memerlukan wadah berkreatifitas.
Organ basis atau kantong yang dibentuk oleh para kader HMI mempunyai wilayah kerja yang strategis dalam bentuk study dan partisipasi memecahkan persoalan kemasyarakatan dalam bidang politik, ekonomi budaya, agama, sosial dan lain-lain. kekuatan organ basis atau kantong ini mempunyai nilai strategis apabila dijalin komunikasi yang intensif sehingga memunculkan sinergi.
Adapun kerjasama dengan lembaga/organisasi lainnya, perlu mendapat perhatian serius, karena HMI bukan satu-satunya lembaga atau organisasi anak bangsa yang eksistensinya ada dan bergerak demi negara bangsa ini, untuk itu dalam gerakan-gerakan keummatan dan kebangsaan yang strategis, HMI perlu untuk menjalin sinergisitas gerakan dengan lembaga/organisasi yang lain.

Red_Roodee de Gentille
site : redroodee.blogspot.com
e-mail : red_roodee@yahoo.com


Notes :
Adakah...aktivis-aktivis yang masih mampu menulis disini?

MEMULAI, BERGERAK DAN JANGAN ANGGAP KECIL

Catatan Pikiran
-------------------------
MEMULAI, BERGERAK DAN JANGAN ANGGAP KECIL

Telah menjadi suatu historis, bahwa perubahan selalu dimulai oleh kaum minoritas kreatif, dan sebagaimana adagium perubahan, selalu kaum muda menjadi inti dari minoritas kreatif tersebut. Karena padanya terdapat spirit idealisme yang menafasi dalam rongga gerak dinamis yang berjalan.
Tak pelak gerakan perubahan itu selalu dikawal oleh gerakan inti kaum muda itu sendiri, yakni kaum muda terpelajar (baca: Mahasiswa dan Pelajar). Sebagai gerakan pembaharu yang selalu mengedepankan idealisme dengan menyuarakan nilai-nilai moral sebagai semangat dasar perubahan itu sendiri, maka secara kasuistik dapat terlihat memang bahwa gerakan mahasiswa yang muncul adalah gerakan-gerakan yang pada dasarnya merupakan gerakan penyelamatan negara-bangsa, apalagi jika kondisi negara-bangsa telah sampai pada titik nadir kekacauan. Acapkali gerakan mahasiswa muncul ibarat Sang Messiah, sehingga dalam momentum seperti ini gerakan mahasiswa mendapat dukungan penuh dari rakyat, ibarat mendapat mandat secara tidak langsung untuk mewakili suara rakyat.
Namun ketika berbicara tentang polarisasi, bermacam perbedaan ideologi antar organ gerakan adalah realitas tak terbantahkan, dan terkadang karena perbedaan yang dianggap ‘mendasar’ seperti inilah, maka ketika telah memasuki dalam ranah politik, membuat keberpihakan semakin berbeda, ‘kepentingan’ bisa jadi berbeda, dan berkaca pada itu maka simpulannya adalah bahwa dalam konstalasinya, gerakan mahasiswa hanya akan menyatu jika ada satu momentum bersama atau secara deklamasi dikatakan bahwa ‘mahasiswa akan turun bersama jika itu menyangkut penggusuran satu rezim yang memang sudah dianggap dzalim secara bersama-sama’. So…ketika berbicara tentang follow up bagaimana harus menyusun konfigurasi sistem tatanan kehidupan bersama, terutama yang mesti diatur dalam bentuk penyelenggaraan negara dan para penyelenggaranya di supra-struktur sistem politik yakni pemerintahan, maka tak pelak binar-binar kekuasaan akan membuat kepentingan yang berbeda tadi kembali muncul kepermukaan dan dengan lebih tegas memisahkan antar organ-organ tersebut kedalam fragmentasi yang lebih tajam dan mengerucut. Makanya dalam berbagai kasus, ketika sudah berbicara tentang hal itu, sedianya gerakan mahasiswa tetap tidak akan bisa menyatu. Secara periodik dapat terlihat fragmetasi itu dalam dunia gerakan, dan lazim memang begitu adanya.
Namun begitu, tetap saja dipundak gerakan kemahasiswaan itu terpikul beban untuk tetap memposisikan diri sebagai agent of control-moral force ditengah kehidupanakhirnya dengan cara-cara seperti itu merupakan bentuk keterlibatan aktif untuk mendidik warga negara yang lain agar menjalani hak dan kewajibannya selaku warga negara, dan bagi kalangan terdidik, inilah merupakan bagian dari proses pengembangan diri menuju kematangan dan pendewasaan, karena kedepan mereka adalah pemimpin. Oleh karenanya, bagi kawan-kawan aktivis mahasiswa, tiada kata lain selain terus menggali dan mengembangkan potensi, membina dan menempa diri, mempersiapkan diri untuk menjadi generasi pejuang yang selalu meneriakan kata ‘LAWAN’ jika melihat penindasan, dan sebagai calon pemimpin dimasa mendatang maka yang perlu dilakukan juga adalah upaya-upaya berproses dan memposisikan diri sebagai generasi yang senantiasa kritis didasarkan pada landasan ilmiah-intelektual dan obyektifitas. Bahwa para aktivis adalah generasi yang kreatif, kritis dan korektif, merupakan ide yang harus terus di implementasikan dalam gerak dinamis yang dilakukan.
Memang dalam rangka pengembangan idea-idea, wacana-wacana, konseptualisasi dan praksis aktivitas berkenaan dengan perjuangan itu tak lah mungkin dalam dinamikanya merupakan sesuatu yang sempurna (perfect), meski begitu tetap saja harus ada yang terus melakukannya, diniatkanlah itu sebagai suatu gerakan yang harus dilakukan dengan segala kemampuan maksimal dan coba dioptimalisasikan, sehingga dapat menjadi ajang transformasi wawasan dan pengetahuan baik bagi diri sendiri juga masyarakat. Dan jika proses yang terjadi mencapai kesuksesan, tentunya merupakan kebahagiaan dan kedepan akan menjadi….meminjam bahasa hukum yakni yuriprudensi bagi kawan-kawan generasi yang lahir kemudian untuk terus melanjutkannya, tentunya dengan improvisasi ekspresi dan modifikasi pola dan keterpaduan sistem sebagai respon apresiatif terhadap dinamika zaman, sehingga selalu up to date.
Akhirnya, bagi yang masih pingin bergerak dan selalu melakukan gerakan, ‘Mungkin apa yang kita ideakan, fikirkan, konseptualisasikan dan yang kita perbuat saat ini, kita anggap suatu hal yang biasa-biasa saja. Namun, bisa jadi, semua itu menjadi suatu hal yang fenomenal dan insipirasi bagi generasi di masa hadapan.’

Red_Roodee de Gentille
site : redroodee.blogspot.com
e-mail : red_roodee@yahoo.com

Seputar Keyakinan

Seputar Keyakinan

Di suatu hari yang indah. Di suatu warung kopi, dua orang teman saya sedang berdialog tentang claim kebenaran atau yang lebih nyentrik dikenal dengan the claim of truth.
Teman yang satu menyatakan bahwa harusnya hidup itu menghindari saling klaim agar tak terjadi lagi benturan-benturan karena saling membela panji kebenaran yang dalam beberapa kasus berakhir dengan memanggul panji kekerasan. Teman yang lain sepakat, namun ia tetap berujar...bahwa klaim tetap dibutuhkan dalam rangka menjaga komitmen dan konsistensi keyakinan. Jika semua sudah dianggap sama, untuk apa kita mesti memanggul suatu keyakinan dan tetap hidup didalamnya. Jika klaim sudah tidak ada, maka juga akan berbahaya, karena akan menghancurkan sendi-sendi keyakinan beragama.
Saya mendengarkan dengan seksama, menunggu giliran saya untuk berkata. Ketika sampai masa itu, saya kebingungan harus ngomong apa, ditengah kebingungan itu saya bergumam antara kedengaran dan tidak.
...Kawan-kawan pernahkah kalian merasakan kita selalu di doktrin, bahwa keyakinan kita paling benar. Keyakinan bahwa agama kita benar itu dibangun dengan memperbandingkan dan menunjukkan kejelekan alias kelemahan dari keyakinan yang lain. Pertanyaan sederhana yang perlu kita tanya lagi pada diri kita adalah "Apakah kita baru yakin bahwa keyakinan kita benar setelah kita mempersalahkan keyakinan yang lain? Jika keyakinan yang lain itu tidak ada, tetapkah kita yakin bahwa keyakinan kita yang benar?"
Jika keyakinan yang kita miliki itu baru kita yakini benar setelah mempersalahkan keyakinan yang lain, berarti sesungguhnya kita belum yakin dengan apa yang kita yakini benar, sehingga memerlukan sesuatu yang mesti dikorbankan untuk membenarkan keyakinan kita (Kasar sekali khan proses kita membangun keyakinan didalam diri). Dan jika terus begitu, selamanya kita hidup dalam ketidak yakinan alias keraguan, apakah keyakinan kita saat ini benar atau tidak. Jangan sok ideologis denganku!


Gradasi Baik-Buruk

Sering saya ketemu dengan beberap orang yang kemudian bertanya tentang baik-buruk itu apa sih? karena saya bukan seorang ustadz, saya sebenarnya merasa tak punya legitimasi untuk menjelaskan persoalan ini dari sudut pandang agama, baik dari sudut pandang aqidah, ushul fiqh dan fiqh. Karena memang takut salah yang akhirnya menimbulkan fitnah, juga karena selama ini khawatir mengambil tugas ke-ustadz-an yang menurut banyak pihak adalah hak prerogatif klan para ustadz dan ulama. Ketika saya menolak berdialog dengannya, dia malah mengajari saya...sampaikanlah olehmu, walaupun satu ayat. Saya jadi miris juga, orang ini maksa pakai ayat lagi, dan saya pun sempat curiga, jangan-jangan ni orang sekedar menguji saya. Untuk menjawab sudut pandang filosofi-ilmiah pun saya kebingungan juga, karena saya belum sampai pada maqam filosof yang dibenaknya carut-marut memikirkan masalah-masalah seperti ini.
Namun, dipikir-pikir, tak ada ruginya kalau saya juga angkat bicara. Biarin deh, apapun tanggapannya nanti. Dengan ke-mumet-an kepala, saya beranikan diri dengan memaparkan suatu percontohan :

Jika anda melihat seorang anak kecil kencing ditempat kita yang nongkrong ini, apakah anda akan menyatakan itu perbuatan baik atau buruk?
Dia bilang bahwa itu perbuatan buruk tapi tak bisa dipersalahkan.
Jika saya kencing ditempat ini apakah anda akan menyatakan itu perbuatan baik atau buruk?
Dia jawab itu perbuatan yang sudah pasti buruk dan akan saya gebuk!

Kemudian, jika anak kecil itu memberi anda bunga, apakah itu perbuatan baik atau buruk?
dia berseru, itu baik!
Klo saya yang memberikan bunga itu pada anda, apakah itu perbuatan baik atau buruk?
Itu baik. Namun bedanya, klo anak kecil dia memberi bukan karena sepenuhnya dorongan sadar dari dalam dirinya, bisa jadi hanya menuruti perintah atau disuruh atau mungkin dalam proses belajar melakukan sesuatu yang baik yang diajarkan oleh orang tuanya. Sedangkan anda, tentunya ada sesuatu keinginan yang memotivasi didalam diri anda sehingga anda memberi saya bunga, ujarnya panjang lebar.

Jadi intinya apa? tanyanya.
Intinya kelapa dan gula merah! Jawabku

Ada keinginan yang memotivasi, ada pengetahuan, ada tindakan, ada nilai dibalik semua tindakan. Ada...akal anda yang menjadi barometer semua itu.
Tindakan yang dilakukan anak kecil, meski itu baik atau buruk, nilainya tidak sama dengan tindakan yang anda lakukan. Ada gradasi/tingkatan baik-buruk yang berlaku. Sehingga dalam bahasa keyakinan, orang yang tidak sadar, yang tidak dan belum maksimal menggunakan potensi akalnya seperti anak kecil, orang tidur, orang hilang kesadaran dan gila meski mereka melakukan perbuatan baik dan buruk, gradasi nilainya berbeda dengan kita yang waras, sepenuhnya sadar dan mampu memaksimalkan potensi akal.

Jean Roodee de Gentille

REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Catatan Pikiran
---------------------
REFLEKSI BENCANA ALAM DAN KELAPARAN

Bencana lagi, bencana lagi. Kelaparan lagi, eh kelaparan lagi. Berita-berita miris nan menggetarkan selalu akrab di panca indra kita akhir-akhir ini. Dimanakah terjadinya? Lokusnya...ditanah yang dulu sekali dijuluki Jamrud Khatulistiwa nan Gemah Ripah Loh Jinawi. Dulu sekali, tanah ini pernah subur-makmur, rakyatnya hidup berkecukupan meski tak lantas itu diartikan mewah. Yah..berkecukupanlah, cukup makan, sandang dan pangan. Itu dulu...mungkin dalam dongeng.
Disuatu berita surat kabar, seorang selebritis komedian yang punya ciri khas aksen Tegal-nya yang medog, Cici Tegal protes dan ‘marah’ kepada pemerintah. Marah...karena dia menilai bahwa pemerintah lamban dalam mengurusi masalah dan dampak dari gempa yang melanda Jogja-Jateng, padahal menurutnya gempa Jogja-Jateng termasuk yang kedua terhebat setelah tsunami yang melanda Aceh-Sumut.
Marahnya seorang Cici, memang tak akan mengubah keadaan apalagi ketidak-becusan penguasa negeri ini dalam persoalan kesigapan menangani bencana. Mengurusi Aceh yang telah setahun lebih berlalu saja masih belum genah, masih banyak ketidak-beresan disana-sini, apalagi menyangkut masalah dana dan profesionalisme badan yang dibentuk pemerintah untuk menangani rekonstruksi Aceh-Sumut yakni Badan Rehabilitasi dan Rekosntruksi (BRR) Aceh-Sumut, berbagai keluhan dialamatkan, pertanda banyaknya permasalahan-permasalahan akibat ketidak profesionalan terutama ketidak-tranparanan lembaga satu ini.
Jangankan hanya marahnya seorang Cici, sebagian besar rakyat negeri ini marah sekalipun, belum tentu akan membuat merah telinga penguasa, ibarat pepatah muka tembok- telinga gajah-kulit badak, mereka telah mati rasa terhadap penderitaan rakyat negeri yang telah memilih mereka untuk jadi pemimpin.
Untuk kasus Jogja-Jateng, lambannya pendistribusian bantuan misalnya, banyak yang beranggapan karena prosedur birokrasi yang mengurusinya terlalu berbelit, padahal ini kondisi darurat atau sebutlah tanggap darurat yang tidak seharusnya diterapkan sama seperti kondisi normal. Kearifan dan kebijaksanaan serta sensitifitas mengatasi bencana diperlukan, bukan sekedar catat-mencatat, karena ini menyangkut jiwa manusia, menyangkut kehidupan dan kematian, bukan hal yang main-main.
Lambannya penanganan ini selalu saja terbukti dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah bencana, koordinasi yang terlalu panjang akhirnya juga menyebabkan koordinasi tidak efektif, bukan malah mempercepat. Untuk mengatasi bencana saja, sedikit-sedikit kita perlu koordinasi yang matang dulu, koordinasi kayak apaan, sementara yang tertimpa musibah sudah klenger duluan. Ini bukan kasus yang pertama, menyibak kebelakang, kita lihat kasus Yahukimo, keterlambatan penanganannya karena kekurangan sarana transportasi untuk mencapai Yahukimo yang terpencil, orang keburu mati kita masih berfikir alias telat mikir. Menarik membaca tulisan di Kompas dengan judul “Serba Salah dan Serba benar,” terkadang orang yang mau membantu juga jadi kebingungan dengan prosedur penanganan yang diberlakukan. Sehingga analoginya untuk bencana Yahukimo, --datang bawa beras salah, karena orang Papua tak makan beras, bawa ubi salah, karena masak datang jauh-jauh cuma bawa ubi, bawa duit juga tak berguna, kalau datang tak bawa apa-apa lebih salah lagi malah keterlaluan. Jadi yang benar gimana, siapa yang bertanggung jawab, semua bertanggung jawab, tapi yang makan gaji untuk menentukan kira-kira prioritas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat harusnya bertanggung jawab lebih besar.
Banyak hal yang sama dalam kasus Jogja-Jateng, meski tak mirip persis. Saking telatnya bantuan datang, malah ada yang dapat jatah mi satu kardus dibagi satu desa, makan apa! Meski Sulthan telah menandaskan agar jangan terlalu panjang birokrasi pendistribusiannya, eh ternyata masih telat.
Persoalannya masih banyak daerah yang tak terjangkau. Yahukimo sama saja, karena daerahnya terpencil, orang mampus pun dibiarkan saja. Trus, kalaupun karena ketiadaan sarana transportasi yang mampu menjangkau, itu terus dijadikan alasan, sampai kapan? Memangnya setiap terjadi bencana alasan itu terus yang dijadikan argumen pembenaran. Kemana saja helikopter yang dimiliki oleh pemerintah, tidakkah bisa dipergunakan? Sedangkan untuk jalan-jalan dinas saja bisa, kenapa untuk rakyat terus jadi mandeg?
Itu satu hal. Lain hal lagi dengan, tingkah laku sebagian kita yang datang bak penyelamat, tapi ternyata sekedar mempertontonkan ‘parade kebesaran’ dan atau pamer kemewahan ditengah bencana, pamer bendera dan labeling, bukan ikhlas membantu. Datang diharapkan bersama serta empati dan simpati, terpenting lagi bantuan yang meringankan, bukan malah petantang-petenteng dengan atribut keduniaan yang tak bakal dipertanyakan oleh malaikat maut nantinya. Sehingga wajar saja, rakyat Jogja-Jateng sampai-sampai dengan miris menuliskan kalimat, ‘kami perlu dibantu bukan untuk ditonton,’ ‘selamat datang wisata bencana,’ atau ‘bosan mengemis.’ Ini karena apa? Karena tingkat kohesi sosial dan terutama kepercayaan terhadap yang berkuasa untuk membantu menanggulangi dampak akibat bencana telah semakin rapuh.
Kasus Jogja-Jatengpun satu lagi, lain itu ada lagi kasus Kabupaten Sikka di Propinsi NTT yang dilanda bencana kelaparan. Meski telah diketahui sejak lama, malah sejak tahun 2005 telah diprediksi bakal terjadi bencana kelaparan jika tak ada...lagi-lagi bahasanya penanganan dari yang berwenang. Tapi apa dinyana, sampai terjadi kelaparan hingga telah diberitakanpun oleh media, belum ada yang serius dan tanggap mempersoalkan apalagi menanganinya. Apa yang salah? Secara sosial, akibat otonomi kita melihat bahwa etno-primordial kedaerahan ternyata menyebabkan kita tidak saling peduli pada tetangga kita yang kebetulan berbeda daerah, meski mereka mati kelaparan. Lebih besar lagi, tanggung jawab sosial negara untuk mensejahterakan rakyat terbengkalai begitu saja, tak seperti cita-cita dan kontrak sosial menuju welfare state.
Anehnya, untuk hal ini,...di Indosiar pernah diberitakan, bahwa pemerintah pusat telah menurunkan tim survey ke daerah bencana untuk mensurvey tentang bencana tersebut, dan hasilnya akan dipergunakan sebagai bahan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan penanggulangan. Anehkan...!?
Setelah hasil survey merekomendasikan, maka baru pemerintah bertindak, dan ternyata hasil survey memberikan info memang telah terjadi bencana dan direkomendasikan agar pemerintah segera melakukan langkah-langkah penanganannya. Sedemikian panjangnya jalur penanganan ini, sehingga ibarat kata pepatah ‘sudah terantuk baru tengadah,’ orang sudah sekarat baru ditangani. Lagi-lagi telat, telat mikir telat bertindak. Pertanyaannya, apa gunanya jalur koordinasi dan informasi antara daerah dan pemerintah nasional, apakah gara-gara otonomi, koordinasi itu tersendat, apakah karena itu informasi yang disampaikan daerah harus di chek dulu, sehingga pake acara survey dari pemerintah pusat segala. Apa gunanya pemerintah daerah, apakah mereka tidak menginformasikan dan mengkoordinasikan itu semua, terus apa informasi dari media yang ada juga telah tidak difahami bahwa ini gawat darurat gitu lho!
Ethiopia...Ethiopia! Demikian judul dan lirik lagu Iwan Fals, sebagai bentuk keperihannya melihat derita kemanusiaan yang menimpa negara Ethiopia di Afrika akibat bencana kelaparan dan tentunya peperangan, sehingga rakyatnya banyak yang mati dan bangkainya dimakan burung pemangsa bangkai. Untuk saat ini, Indonesia memang belum separah itu, tapi bukan mustahil suatu hari nanti kita kan mengalami hal yang serupa, mungkin lebih mengerikan lagi, karena bukan hanya bencana kelaparan tapi juga bencana-bencana yang lain yang lebih kompleks. Ada bencana alam, ada bencana kemanusiaan akibat konflik, ada bencana akibat kebijakan politik, bencana akibat kebijakan ekonomi yang mendorong pemiskinan de el el. Sehingga akhirnya di hari nanti, kita akan mengganti judul lagu itu bukan lagi Ethiopia tapi Indonesia...Indonesia, dan kita akan menyanyi dengan lirih pedih lirik lagu itu.
***
Cu...dulu negeri kita ini, negeri yang subur-makmur, hutan masih hijau membentang dan udaranya segar karena belum ditebang dan dirusak oleh perusahaan-perusahaan, sejauh mata memandang sawah terbentang luas, kalau musim panen kita bisa lihat padi menguning dan petani bergembira menyambut musim panennya, masa itu sawah belum berganti pemilik, masih milik petani, belum digusur ‘pembangunan’. Sungai-sungai juga mengalir dengan airnya yang bening bermuara kelaut lepas nan biru dan banyak ikannya lagi. Jika nelayan pergi ke sungai dan laut, hasil tangkapannya cukuplah buat makan sekeluarga, karena sungai dan lautpun belum tercemar. Cerita sang kakek kepada cucunya di suatu beranda rumah reot. Kapan itu kek? Tanya sang cucu kepada kakek. Itu dulu...dulu sekali. Jawab sang kakek. Bisa jadi hanya ada dalam khayalan. Its our dream. Wallahu A’lam.*

Rudy Handoko
Pengurus Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kalbar