red_roodee

Tuesday, January 24, 2006

Masjid Jami' Kesultanan Pontianak

My Picture

Monday, January 09, 2006

Demo SBY datang ke Pontianak

CAK NUR IN MEMORIAM

CAK NUR IN MEMORIAM

Cak Nur memang telah berpulang ke Rahmatullah, namun gerak pemikiran yang telah dirintis secara makrokospic (meminjam bahasa Budhy Munawar Rahman) oleh seorang manusia yang bernama Nurcholish Madjid telah begitu meninggalkan kesan mendalam bagi generasi penerusnya, apalagi generasi penerus ini mempunyai tugas lanjutan guna melanjutkan perjuangan itu, tentunya dengan segala mindset yang harus lebih segar dan transformatif.

Cak NUr demikian akrabnya, seorang manusia yang menjadi rupa pemikiran kontemporer Islam, generasi pembaharuan yang corak dan karakteristik pemikirannya menjadi tonggak sejarah gerakan pemikiran Islam di Indonesia khususnya. Yah…Nurcholish Madjid, yang akrab di sapa Cak Nur, tokoh yang lahir di Jombang Jawa Timur ini, begitu akrab namanya ditelinga.
Bak pepatah lama mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan suatu catatan sejarah tentang apa yang diperbuatnya terutama kontribusi yang diberikan terhadap pencerahan negerinya. Tiada apapun yang lebih bernilai yang ditinggalkan oleh Cak Nur selain buah pemikirannya, yang mungkin bagi sekelompok orang kerap menyengat dan memancig kontroversi. Perjalanan intelektual Cak Nur dimulai dari sebagai siswa Kulliyatul Muallimin Islamiyah (KMI) Pon-Pes Gontor, lantas meneruskan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi IAIN Ciputat (UIN sekarang), kemudian bersentuhan dengan dunia aktivis semasa beraktivitas di HMI Cabang Ciputat sampai menduduki posisi Ketua Umum, hingga story-nya ditakdirkan memimpin HMI secara nasional sampai dua periode lagi mulai 1966-1971. Tak kurang dari 13 buah pemikiran karyanya yang terpublikasikan dalam bahasa Indonesia, 3 buah karyanya dalam bahasa Inggris. Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina/Universitas Paramadina yang menjadi dapur pemikiran baik yang berbau agama, sosial, politik dan budaya. Kemudian pernah pula sebagai anggota Tim 11 pada saat genting pasca reformasi 1998.
Seperti yang diungkapkan oleh Fachry Ali, juniornya semasa di HMI Ciputat, bahwa Cak Nur adalah sebuah fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Cak Nur mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bisa bersifat institusional dan literer. Lebih lanjut Fachry menambahkan, secara institusional pengaruh kekuatan pribadinya dapat terlihat pada spesifik organisasi HMI dan Yayasan Paramadinanya. Secara literer, kehadiran Cak Nur telah memperkaya khazanah literature intelektual di Negara kita (Baca: Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer).
Periodesasi selama memimpin HMI, membuatnya mulai getol menyuarakan tentang perlunya pembaharuan pemikiran Islam, meski awalnya Cak Nur belumlah sekontroversial sesaat dia mengumandangkan tentang perlunya modernisasi pasca pulang dari USA. Kalau kita telaah lebih lanjut perjalanan pemikiran Cak Nur, didalam Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, maka sekilas gambaran saat itu, di internal HMI terdapat dua kubu pemikiran yang saling berseberangan dan berkembang. Yang oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib diasosiasikan dengan Poros Bandung dan Jogja. Poros Bandung yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Kanda Imaduddin Abdurrahim yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) PB HMI, kemudian Alm. Mang Endang Saefuddin Anshori (rekan sejawat Cak Nur yang ditugasi menyusun Nilai Dasar Perjuangan [NDP] HMI bersama Alm. Saqib Mahmud) dengan corak pemikiran modern fundamentalisnya yang sangat di amini oleh Prof. Rasjidi. Sedangkan kubu Jogja saat itu, representasinya di wakili oleh Alm. Kanda Ahmad Wahib sendiri, kemudian Kanda Djohan Effendi, Kanda Dawam Rahardjo, Kanda Tawang Alun dkk dengan Limited Groupnya dibawah asuhan Prof. Mukti Ali. Kebetulan Cak Nur saat itu corak pemikirannya sangat cenderung kepada poros Bandung-Jakarta, sehingga saking demennya Bang Imad (sapaan Kanda Dr. Imaduddin Abdurrahim) pada Cak Nur karena pemikirannya itu, salah seorang putranya diberi nama Nurcholish pula.
Perubahan mendasar terjadi sesaat sepulang dari USA, setelah belajar dibawah asuhan Fazlur Rahman, ide-ide pemikiran yang dilemparkan Cak Nur bak menyengat, dan ini lagi-lagi diakui oleh anak mbandel seperti Ahmad Wahib, bahwa setelah melihat perubahan progressif pemikiran Cak Nur, dengan meminjam kharisma Cak Nur selaku Ketua Umum PB HMI saat itu, dia berkeliling Jogja dan Badko Jabagteng (Jawa Bagian Tengah) untuk menggaungkan pemikiran meretas perubahan sosial di tataran ummat dan bangsa yang selama ini diperjuangkannya (baca: Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib).
Dus, puncaknya adalah pidato Cak Nur dalam pertemuan halal bihalal organisasi muda Islam, 3 Januari 1970 yang berdasarkan analisisnya mengenai keadaan organisasi-organisasi politik Islam, ia merasa yakin bahwa Islam tak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkannya melalui jalur politik yang bersifat praktis itu. Karena itu, demi kepentingan perkembangan ummat ia pun menyerukan---yang menjadi slogan pembaruan politik Islam di Indonesia--sampai terlempar cetusan tentang Islam Yes, Partai Islam No, sebagai semboyan Islam a-politik atau lebih dikenal dengan ide sekularisasinya Cak Nur. Meski artikel ini menimbulkan kegegeran dan mendapat reaksi keras, toh akhirnya banyak pula yang mengamini dan menyetujui bahwa ber-Islam tidak perlu dilembagakan secara politik apalagi dipolitisasi demi kepentingan politik, sehingga Islam sebagai Negarapun menurut Cak Nur hanyalah sesuatu yang naif, yang paling penting adalah substansi pengejawantahan nilai-nilai Islaminya, seperti teruntai dalam dialektika kata-kata ‘Negara Islam atau Negara yang Islami’. Sejak saat itu, merebaklah pembaharuan pemikiran tentang Islam yang progressif terhadap perubahan sosial, perjalanan panjang pemikiran Islampun beralih dari Islam politik kepada pendekatan Islam cultural. Pemikiran tokoh-tokoh pembaharuan yang digerbongi Cak Nur sebenarnyapun cukup beragam, namun mainstream utama tetap pada bagaimana membangun ke-Islaman yang modern. Yang oleh Cak Nur disebut “Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan” (Mungkin saat ini telah berubah mainstream masuk pada Post-Modernisme, Islam Transformatif dll). Cak Nur dalam berbagai hal memang sangat dipengaruhi Rahman (Fazlur Rahman) dalam pendekatan-pendekatan yang digunakannya untuk pemikirannya, dalam konteks kekinian, tentang Islam dan situasi kontemporer, dengan daur sederhana mencari dasar etis pada sumber ajaran Islam dengan mengkaji term-term agama dengan analisis histories-kontekstual yang kemudian menafsirkan, menjabarkan dan menerangi problem kontemporer dengan semangat etika agama yang sudah ada, dan Cak Nur merumuskan modernisasi adalah rasionalisasi, karena itu modernisasi berarti penerapan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban. Selain itu, pembaharuan pemikiran Cak Nur tidak hanya melingkupi permasalahan agama an sich, tetapi begitu berbunga pada masalah-masalah sosial-budaya dan kebangsaan, kerap pula membincangkan masalah membangun pluralisme, demokrasi dan memperjuangkan keadilan sosial. Sehingga oleh beberapa pihak seringkali Cak Nur dianggap biang kerok dari berkembangnya pluralisme dan liberalisme dalam ranah pemikiran di tanah air. Cak Nur adalah sosok yang elegan dalam menyampaikan ide-idenya, kritis dan transformative. Terhadap pemerintah dan system politikpun tak segan-segan ia melontarkan kritiknya, dengan ide keharusan adanya oposisi untuk menciptakan check and balance dalam upaya membangun demokrasi yang mensyaratkan adanya keterbukaan, anti diskriminasi, kebebasan informasi, berserikat, berpendapat termasuk berbeda pendapat serta oposisi tentunya.
Meskipun pro-kontra terjadi, tetaplah dia seorang tokoh yang dihormati, sehingga Bang Imad yang kebetulan tahun 2003 lalu pernah berkunjung di Pontianak dalam rangka Intermediate Training (Latihan Kader II) HMI Cabang Pontianak, sekaligus memberikan kuliah NDP, mengutarakan kekagumannya kepada sosok Cak Nur, meskipun corak pemikiran mereka cenderung berbeda.
Meski belum pernah berjumpa dengan Cak Nur secara langsung, tapi jujur saja harus diakui, bahwa warna pemikiran seorang anak manusia ini telah memberikan warna dan karakter. Pemikiran-pemikirannya juga rekan-rekan sejawatnya seperti Alm. Kanda Ahmad Wahib, Bang Imad, Kanda Djohan, Kanda Dawam dll, kerap didiskusikan berkenaan dengan konteks kekinian. Semangat kekaderannya selaku tokoh yang disegani dan menjadi referensi serta dijadikan teladan. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara nyata, tapi corak pemikirannya telah membekas dan menggairahkan apalagi sedari dini memang menjadi rujukan dalam NDP HMI sebagai Ideologi gerakan, maka tak pelak Cak Nur telah menjadi bagian dari kancah pemikiran HMI khususnya, ummat dan bangsa secara luas.
Susah memang mencari tokoh sekaliber Cak Nur, seperti diakui oleh Fachry Ali, bahwa selama mereka di Ciputat coba terus membangun kesadaran pemikiran dan intelektualitas agar bisa menjembatani generasi intelektual agar tidak terputus, tapi tetap saja harus mengakui mereka belum bisa menyamai Cak Nur, makanya gerakan mereka adalah mengembangkan gagasan Cak Nur secara kolektif dan Harun Nasution tentunya.
Kepiawaiannya dalam mengelaborasi term-term pemikiran modern dan kekayaan intelektual beliau dalam memahami teks-teks dari tradisi Islam klasik adalah keunggulannya. Tentunya karena beliau juga memahami kajian-kajian hermeneutic, semantic atau tata bahasa Arab yang membuatnya sangat kaya akan khazanah Intelektual baik kontemporer maupun klasik. Sebagaimana kita ketahui ciri khas kaum modernis adalah orientasi pada perkembangan ilmu di Barat dan cenderung berpikiran terhadap pemikiran tradisional. Aliran modernis mempelajari Barat modern maupun Islam klasik. Mereka bersikap empati dan sekaligus kritis terhadap keduanya. Kapasitas seperti itu dimiliki oleh seorang seperti Nurcholish Madjid secara prima, Tak banyak yang mempunyai kemampuan seperti itu, paling banter dimiliki oleh Gus Dur, Syafi’i Maarif (rekan seperguruan murid Fazlur Rahman semasa di Chicago), Jalaludin Rahmat, Syu’bah Asa dan Djohan Effendi.
Bisa jadi karena kontribusi pemikiran beliau, sehingga Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI menjadi bukti pengakuan, meski bukan itu harapan beliau. Sehingga seperti profil yang disiarkan oleh Metro TV bahwa kesejahteraan Negara-Bangsa yang berperadaban merupakan pandangan idealisnya. Bahwa perdamaian, semangat pluralis dan demokratis adalah cita-citanya, sehingga julukan yang wah…sebagai Guru Bangsa dan sebagainya disematkan kepadanya.
Yah, itulah Cak Nur, ibarat tiada gading tak retak, dengan segala kelebihan dan kelemahan selaku manusia, dengan segala perbuatan baik dan buruk. Beliau telah menghadap Ilahi dengan damai. Kita telah kehilangan salah satu tokoh pemikir Islam kontemporer, mudah-mudahan akan lahir Nurcholish-Nurcholish baru.
Selamat Jalan Kanda…Semoga Allah Azza Wajalla meridhai beliau, mendapatkan ampunan atas segala dosa dan kesalahannya, dan mendapatkan kelapangan di alam sana. Amin.

Billahittaufiq Walhidayah

Rudy Handoko

Menindas Rakyat Versi Penguasa

Menindas Rakyat Versi Penguasa

MENARIK membincangkan tentang penindasan di negeri ini, terutama yang mengatasnamakan kepentingan negara. Kita telah dijejali dengan berbagai kebijakan sampah mulai dari Per-Pres 36/2005 sampai kenaikan BBM, dan berbagai kebijakan lainnya yang jelas merupakan kebijakan yang bakal dijadikan alat dan justifikasi represifitas negara untuk menindas rakyatnya seperti yang pernah terjadi sebelumnya, penggusuran dan pengusiran paksa rakyat sebagai pemilik tanah, dikalahkan oleh pemerintah, yang pastinya menurut hemat saya pasti ada kepentingan pemodal dibelakangnya. Penindasan yang sistematis dan terstruktur ini jelasnya merupakan peraturan yang menunjukkan bahwa dominasi pemerintah di atas segala-galanya, termasuk di atas kedaulatan rakyat, pemerintah berubah peran menjadi cukong tanah bagi pemilik modal nantinya meski yang dikorbankan adalah rakyat. .....Misalkan pada waktu Per pres 36 ditelorkan, seorang pejabat publik berkata..."Menurut saya, mereka tidak memahami latar belakang dikeluarkannya Per-Pres itu, Pemerintah tetap akan melaksanakan Per-Pres ini, meskipun ada penolakan oleh segelintir orang, ini terlalu di politisir, yang jelas mereka bukan rakyat...!" Kira-kira demikianlah ungkapan Menteri PU Joko Kirmanto pada Buletin Pagi SCTV, 30 Juni 2005, ketika menanggapi pertanyaan wartawan seputar efektifitas pelaksanaan Perpres 36/2005 yang berkenaan dengan pembebasan lahan/tanah oleh pemerintah, yang katanya demi (diperuntukkan) pembangunan fasilitas kepentingan umum dan pemerintahan. Dari ungkapan itu, kesan arogan tampak benar ditunjukkan oleh seorang pejabat public sekelas menteri. Karena tidak dapat berkomentar dengan argumentasi yag lebih baik, maka bahasa pembelaan kelas Preman pun keluar. Negara menganggap, bahwa yang menolak dikarenakan tidak memahami latar belakang keinginan pemerintah, terlalu di politisir, kemudian semena-mena mengatakan mereka yang menolak bukan rakyat. Jelasnya, sekarang yang perlu dipertanyakan, latar belakang apa yang memaksa dan menekan pemerintah sehingga mengeluarkan Per-Pres tersebut? Bukan rahasia umum...pemerintah ini sudah tak punya martabat dan kedaulatan, segala keputusan kebijakan tidak mencerminkan kepentingan dan pemihakan pada rakyat. Tapi jelas ini adalah kebijakan yang bernuansa kapitalistik, kepentingan apa yang ada dibelakang adanya kebijakan ini,...tak lain tak bukan, seperti yang sudah-sudah, ini rawan kepentingan pemodal. Jadi yang sebetulnya yang berdaulat bukan rakyat, yang berkuasa bukan penguasa pemerintah itu, tapi kaum kapitalis. Pemerintah setali tiga uang dengan pemodal, atau simpelnya kongkalikong ini dinamakan 'penguasa adalah alat legalitas-formal pengusaha untuk menindas rakyat'. Dengan Per-Pres ini penguasa berhak secara mutlak membebaskan tanah rakyat atas nama kepentingan umum, meskipun rakyat pemilik tanah tak menyetujuinya, kemudian tanah itu digunakan untuk pembangunan kepentingan umum atau infrastruktur seperti fasilitas umumlah. Manipulasi pembebasan tanah hanya topeng untuk fasilitas umum, kedepan, makelar tanah rakyat akan semakin gentayangan, lobby-lobby oleh pihak pemilik modal agar penguasa membebaskan tanah tertentu yang diingini sehingga pemerintah yang punya kewenangan untuk itu dengan senang hati (tentunya setelah melalui negoisasi penawaran-penawaran tertentu) melakukan pembebasan tanah, payung hukumnya yaa...Per-Pres 36/2005 ini. Ketika pemodal kapitalis berusaha meng-gol-kan kepentingan mereka terhadap tanah-tanah rakyat, Meminjam bahasa Ichsanuddin Noorsy....Para pemilik modal berhadapan dengan apa yang disebut hak milik dan mereka tak berdaya. Karena itu memerlukan tangan negara. Para pemilik modal kemudian mengusung kepentingannya masuk ke negara, masuk ke pemerintah dan berhadapan dengan rakyat. Pemerintah secara vis a vis berhadapan dengan rakyatnya hanya karena melindungi dan memperjuangkan kepentingan pemodal, begitupun tentang kenaikan BBM, yang ternyata guna memberi ruang bebas bagi pemilik modal asing untuk berbisnis BBM sesuai harga pasar yang mereka inginkan, karena klo seandainya tetap di subsidi, tentunya mereka tak bisa bersaing dengan Pertamina. Inilah...Neo-Liberalisme yang berujung pada Neo-Imperialisme dan Pemerintah Indonesia memang tak punya marwah lagi sehingga tak berdaya, tunduk-takluk pada agenda neo-lib ini. Per-Pres 36/2005 misalnya adalah alat legitimasi perampasan tanah dan penggusuran rakyat miskin. Bahasa sederhananya adalah, negara menindas rakyatnya sendiri. Negara memang memiliki kekuatan memaksa, tapi tak selayaknya kekuatan itu digunakan untuk memiskinkan rakyat, apalagi jika memang dibelakang itu, ada motif ekonomis-kapitalis yang bermain. Dengan Per-Pres ini, rakyat tak memiliki hak privacy atas haknya, hak yang telah dimilikinya secara turun temurun. Untuk berbagai daerah, maka kerawanan yang muncul adalah pencaplokan tanah-tanah adat dan hak ulayat rakyat, termasuk penguasaan hutan-hutan dengan model baru yang berlindung dibalik jubah Per-Pres 36/2005 ini. Tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, namun ini tidak lantas menjadikan Negara sebagai dictator-otoriterianis terhadap rakyatnya, ada hak-hak rakyat yang mesti di hormati. Hak-hak yang telah ada jauh sebelum Negara ini ada, hak-hak kepemilikan rakyat yang telah ada bahkan ratusan tahun lalu, ketika Negara-bangsa inipun belum pernah terpikirkan 'ada dan berdirinya', hak-hak dari nenek-moyang kami yang tumbuh, lahir dan makan serta mati di tanah ini. Belum cukupkah penguasa berniat memiskinkan rakyat negeri ini? Kita telah dijejali dengan peraturan-peraturan yang menyesakkan dada, mulai dari privatisasi air dengan UU Sumber Daya Air yang bakal memunculkan kapitalis-kapitalis air, sehingga sebelum kita minum nantinya, kita harus bayar dulu pada sang pemilik modal, UU Ketenagakerjaan yang memarginalkan buruh, kemudian peraturan perizinan kapal dan lokasi penangkapan ikan (hasil laut) yang juga dialih-kuasa-kan oleh penguasa pada nelayan pemodal besar, laut yang dulunya merupakan sumber penghidupan yang dianugerahkan Tuhan, tak lagi kita merdeka di sana. Se-kaliber apakah penguasa saat ini...? Manusia se-kaliber Khalifah Umar bin Khathab saja, ketika ada penduduk Yahudi Mesir datang melaporkan bahwa Gubernur Amru bin Ash menggusur tanahnya maka pedang yang diacungkannya untuk menegakkan keadilan rakyat. Jika zaman bahuela yang ditakutkan oleh nelayan atau para pelaut adalah Bajak Laut atau dalam sebutan Melayu lazim dengan istilah 'Lanun', maka sekarang Lanun-nya lebih menakutkan lagi, Lanun-nya bermain dengan lebih kejam nan dilegalkan dengan peraturan penguasa. Yah...penguasa menjadi 'Bajak Laut atau Lanun', maka di darat patut dinamakan 'Perampok atau Perompak'. Teringat lagu P Ramlee, seharusnya pemerintah-penguasa mendendangkan bait lagu...'kami lah perompak di dalam negeri...dst'. Kita tak lagi memiliki kedaulatan itu. Inilah negeri para Lanun...Welcome! Wallahu'alam.

Rudy Handoko

ISLAM; MASYARAKAT DEMOKRATIS- MULTIKULTURALISME

ISLAM; MASYARAKAT DEMOKRATIS- MULTIKULTURALISME

Dunia ini terlahir dengan cinta Sang Realitas Suci, didalamya penuh cinta dan dengan wajah cinta. Agama yang tidak terlahir dalam ruang hampa dan tidak pula terlepas dari ruang historis juga adalah agama dengan wajah cinta, penuh kasih, kententeraman, kesejahteraan dan kedamaian. Dunia yang tidak kosong ini bukanlah dunia yang homogen, heterogenitas dalam berbagai hal adalah realita-faktual.
Membincangkan tentang agama, pluralitas dan multikulturalisme, maka terkenang pada saat konflik horizontal terjadi antar pemeluk teguh agama-agama. Sehingga terkadang muncul pertanyaan, apakah agama hadir untuk membawa damai dan cinta kasih atau malah membawa kekerasan dan pertumpahan darah. Apakah agama mengajarkan bagaimana menghargai dan mengakui perbedaan serta kesederajatan perbedaan itu sebagai realita hidup atau malah mengajarkan bahwa perbedaan itu salah dan harus dibasmi. Respons agama terhadap kecenderungan pluralitas dan multikulturalisme memang terkadang membingungkan. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sacral dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan dunia sekalipun, hal ini tak lebih dari sekedar demi penunaian kewajiban untuk kepentingan yang transenden. Semua agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.
Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan serba-relatif. Wajar…banyak yang secara pesimistik menganggap persinggungan agama dan budaya lebih banyak memunculkan problem daripada manfaat bagi kemanusiaan.
Secara fitrah kita hidup dalam pelbagai dimensi yang berbeda, dan perbedaan agama-agama adalah bagiannya. Perbedaan itu merupakan anugerah Sang Realitas Suci lewat kreasi-Nya. Perbedaan-perbedaan atau kemajemukan adalah ciri khas dunia yang kita diami, ini adalah kenyataan sosialnya, untuk itu sikap dasar menerima dan menghargai adanya perbedaan menjadi penting, tentunya juga sikap memandang adanya equalitas dan egalitarian dalam perbedaan.
Pertanyaannya memang…Apakah Islam dapat menerima pluralitas dan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif local, apalagi jika gagasan-gagasan itu masih dianggap sesuatu yang asing dalam alam pikiran ummat. Sebenarnya, cita-cita universal dari pluralitas-multikulturalisme tidaklah terlalu bertentangan dengan agama, namun cenderung gagasan-gagasan seperti ini mendapat tanggapan keras dan reaktif dari para pewaris nabi yang konservatif dan revivalis dalam memahami dalil secara interpretative. Karena gagasan-gagasan seperti ini dianggap agenda dari Barat yang kafir, yang di susupkan ke dalam Islam yang suci.
Ummat Islam umumnya dihadapkan pada persoalan episteme untuk mengaktualisasikan ajaran agamanya, baik dalam setting yang lebih universal, keummatan maupun kebangsaan. Meminjam istilah Michael Baigent--Krisis Epistemologis--Kondisi ummat Islam kesulitan menjelaskan hubungan yang organic antara ‘doktrin ideal’ dengan realitas sosial. Misalkan dalam kasus demokrasi, ummat Islam terjebak antara konsep demokrasi sebagai prinsip-nilai universal yang bisa diterima secara general dengan demokrasi sebagai istilah-praktik dunia barat yang diasumsikan oleh kaum fundamentalis sebagai kafir. Sedangkan, kelahiran Islam dan demokrasi secara universal mengandung nilai pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu structural dan cultural, dan watak original Islam yang sejalan dan merupakan prinsip universal demokrasi seperti yang di sebut oleh Kuntowijoyo (1997:94-104); saling-mengenal (taaruf), musyawarah (syuura’), menguntungkan ummat (mashlahah), kerjasama (ta’awun), adil (‘adl) dan perubahan (taghyir), ditambah consensus (‘ijma), kebebasan (hurriyah) dan kemerdekaan (istiqlal). Begitu juga dalam kasus Islam dan Multikulturalisme sebagai bagian dari upaya membangun demokratisasi dan kesederajatan ummat.
Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara pluralitas-multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan dua hal. Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan yang dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan agar agama bukan saja bersikap bijak terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu-mengantarkan pencerahan nan demokratis dalam masyarakat-masyarakat beragama.
Kedua, menggunakan pendekatan dengan mendialogkan term-term ke-agamaan dengan gagasan-gagasan baru seperti yang di gagas oleh Fazlur Rahman. Saat ini, umat beragama memasuki suatu masa di mana mereka harus mampu melakukan interaksi-kritis dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan social, sehingga responsive terhadap hal-hal yang baru. Hanya dengan transformasi dan interaksi dengan gagasan-gagasan baru, agama akan mampu responsive terhadap perkembangan zaman seperti pluralitas-multikulturalisme yang telah menjadi semangat zaman.
Masyarakat yang demokratis adalah sebuah masyarakat yang menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terwujud sebagai inti dari, serta didukung oleh pranata-pranata sosial masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah masyarakat bila demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan (Suparlan, 2001:7).
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi adalah: Kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial berdasarkan atas rasial, sukubangsa, kebangsawanan, ataupun kekayaan dan kekuasaan; adanya kebebasan (freedom); individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; hukum yang adil dan beradab, dan peri kemanusiaan.
Sebagai ide, pluralitas-multikulturalisme merupakan dapat dijadikan strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengeliminir setiap isu perpecahan dan disintegrasi sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang pluralis-multikultural dimungkinkan dapat terwujud bila konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk memaknai dalam tatanan hidupnya. Bahwa multikulturalisme bukan hanya sekedar sebuah wacana tetapi menjadi sebuah ide gerakan yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.


RUDY HANDOKO

REALITAS INDONESIA: UPAYA MEMBANGUN MASYARAKAT DEMOKRATIS

REALITAS INDONESIA: UPAYA MEMBANGUN MASYARAKAT DEMOKRATIS

Jika memang kita layak disebut negara-bangsa, cobalah kita flashback kembali perjalanan sejarah perjuangan rakyat nusantara ini---hingga semangat senasib-sepenanggungan yang mengkonstruk nasionalisme muncul dan bertaut dibenak putra-putrinya, sampai terbentuknya sebuah negara baru dipentas dunia yakni Indonesia. Negara yang awalnya hanyalah merupakan gugusan kepulauan yang dinamakan nusantara, yang padanya terdapat nation-nation berupa kerajaan-kerajaan dan kesatuan-kesatuan komunal suku-bangsa. Menjadi sebuah perjalanan panjang untuk menyatukan kerangka berfikir yang dahulunya saling menganggap ‘berbeda’ menjadi ‘satu’ dalam bingkai nasionalisme negara-bangsa. Bernegara dan berbangsa--yang diharapkan banyak, mampu membawa perubahan menuju kesejahteraan bersama, tanpa membedakan latar belakang masa lalu, keagamaan, kesukuan dan kedaerahan. Bersama untuk mandiri, berdiri sendiri-berdikari, siap untuk duduk berdampingan dengan bangsa lain, dan siap dengan segenap elemen bangsa yang ada untuk menuju ke kehidupan yang lebih mapan dan madani
Boleh dikata sampai saat ini, sebuah kemadanian itu masih kerlap-kerlip dan berpendar dalam mimpi. Negara-bangsa yang di idamkan masih terpuruk dibelakang, rakyatnya menjadi korban rezim penguasanya. Kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hampir lebur, jauh dari makmur, persatuan yang di idamkan rapuh, perekonomian ambruk, tatanan kehidupan masyarakat semrawut, masyarakat terjebak anomaly atau anomi dalam pertikaian politik dan primordialisme-sectarian yang tak tahu kapan bisa berhenti. Prejudice dan stereotype--negative thinking antar sesama tertanam dibenak rakyatnya. Karena penguasa yang seharusnya mencerdaskan dan mensejahterakan juga mengajarkan demikian.
Dalam beberapa saat, kita menikmati ketenangan hidup yang semu, kemudian itu di’benyai’kan dengan meruyaknya konflik social-politik. Hegemonisasi dengan pengebirian hak asasi manusia dan kekerasan di implementasikan. Hak berdemokrasi dan partisipasi politik diredam, hak beragama diatur dan di’formalisasikan’ kebenarannya oleh penguasa, sehingga agama kehilangan progressifitas dan élan vital perjuangan profetiknya. Hak memperoleh pendidikan hanya untuk orang berpunya, pun…pendidikan dibuat hanya untuk menindas, menghasilkan manusia mesin-mekanis, cinta kekerasan bak preman dan tidak mencerdaskan, mencerahkan dan membebaskan. Sistem ekonomi kapitalis dibelai, pemodal-kapitalis dan konglomerat diberi keleluasaan mengembangkan sayap penindasan dan penjajahannya, penguasa merasa tidak ada kewajiban memakmurkan rakyat kecil yang dipimpinnya. Kemudian negara ini kehilangan kedaulatan dengan segala bentuk intervensi kebijakan yang tunduk-pasrah pada agenda neo-liberalisme. Dus…diperparah dengan virus korupsi, nepotisme, kolusi, kongkalikong, manipulasi, penjilat dan besar omong untuk menipu rakyat kadung menjadi budaya. Perubahan yang di-gema-kan ternyata hanyalah perubahan peta politik seperti papan catur, perubahan hanya pada pergantian elit-penguasa dan pemegang kekuasaan. Sekarang bukan hanya ada raja besar, tapi juga ada banyak raja-raja kecil, belum lagi preman-preman pemodal. Skor korupsi dkk tetap tak beranjak dari posisinya.
Membincangkan tentang problematika ke-Indonesiaan yang sangat besar menimpa setakat ini, tak pelak kita harus membincangkan tentang problem globalisasi dengan segenap issuenya. Globalisasi nan mundial dengan perkembangan teknologi informasi-telekomunikasi yang begitu canggih [high information technology], seakan-akan merupakan realitas yang tak terbantahkan, dengan pengaruh besarnya secara geopolitik yang menjebak kepada perkembangan negatif berwujud neo-liberalisme-neo-imperialisme-neokolonialisme, selanjutnya dinamika ekonomi dunia yang menunjukkan adanya gejala massif pemiskinan negara-negara miskin-terbelakang, ditandai dengan tidak terkontrolnya laju modal finansial yang hanya terakumulasi dan menumpuk pada negara-negara kaya, lembaga-lembaga keuangan dan perusahaan-perusahaan multinasional yang kapitalistik, sehingga mekanisme pasar tidak berjalan sehat dan terdistorsi. Gejala ini menyebabkan keadaan ekonomi menjadi tidak waras, dan yang paling terkena dampak dari scenario besar seperti ini adalah masyarakat-masyarakat dunia yang paling lemah secara politis-ekonomis. Kemudian secara sosio-kultur, dinamika-pergulatan kemanusiaan global saat inipun mengalami dekadensi dalam segala aspek kehidupan, problem kualitas lingkungan hidup, pelanggaran HAM dan demokrasi sampai pada degradasi humanisasi akibat modernisasi tanpa nilai, sehingga manusia kehilangan eksistensi hidup dan jatuh pada Social Anomaly---Homo Homini Lupus. Sehingga…
(…Sehingga) Ketika melihat Indonesia yang baru menapak-memulai menata hidup bernegaranya, kondisi yang masih belum terbangun dengan pondasi yang kuat---sistem politik yang masih amburadul, kondisi perekonomian yang masih terjajah dengan kepentingan kapitalisme global, hingga realitas sosial-empirik, bahwa masyarakat Indonesia ternyata memang masih berada dibawah standar layak minimum, kemudian problem sosio-kultural lainnya seperti ancaman konflik-kekerasan yang masih terus membayang, ternyata diperparah dengan musibah besar yang melanda anak-bangsa ini (Gempa, Tsunami, Busung Lapar, Gizi Buruk, Polio, Flu Burung dll) yang beruntun menghantui. Kemudian gejolak sosial-politik lainnya berupa pemaksaan kebijakan-kebijakan oleh penguasa yang telah memaksa menjerat rakyat bangsa ini---selanjutnya persoalan korupsi dan pelanggarn hukum yang melibatkan ‘orang-orang besar’ yang tetap hangat dibicarakan sampai saat ini, tapi masih jauh dari harapan penegakan hukumnya, meskipun gebrakan pemerintah dalam hal ini telah dilakukan, tetapi benang kusut tersebut tak pelak semakin memintal kusut. Misalkan, gebrakan penuntasannya sekedar ibarat slogan, karena masih belum menyentuh kasus-kasus yang besar-besar seperti penilep BLBI dan konglomerat hitam lainnya.
Merunut ke kondisi daerah, ketidak berpihakan kebijakan pemerintah terhadap rakyat, tetaplah menjadi suatu permasalahan yang menjadi bahan perhatian serius bagi elemen-elemen Pro-demokrasi, seperti kebijakan anggaran yang masih saja memainkan pola lama dan tak pernah melibatkan masyarakat sebagai partner partisipatif perumusan kebijakan, sehingga tidak menyentuh pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kemudian peristiwa politik yang masih bergema sampai saat ini jelaslah pada pesta pilkada yang telah dilaksanakan secara langsung. Berbagai gejolak politik local, sangat dinamis--tampak jelas pelibatan arus massa sebagai tumbal politik dan komoditas politik dilakukan oleh para pemain politik local, dan tentu saja sebagai propinsi yang rentan akan gelombang kekerasan komunal, maka dari jelang sampai pasca pilkada, kekhawatiran-kekhawatiran itu sempat muncul kembali. Phobia kekerasan yang bakal melibatkan massa grass root pada pilkada menjadi topik yang masih hangat dibicarakan, karena ditengah kultur politik yang berlandaskan patrimonial culture seperti ini, terlebih lagi efek psikologis pemilih dan elit sangat intens, dalam lokalitas yang sama serta saling bersentuhan. Maka jelas, permainan tingkat emosional massa pendukung akan dipertaruhkan sebagai komoditas politik, tentunya sebagai pelengkap, pastilah ditambah dengan bumbu SARA sebagai pembangkit sentimentalisme..dan ini baru awal, apalagi menjelang 2007, menuju puncak KB-1.
Untuk Indonesia, dalam lintasan sejarah menata bangsa menuju sebuah idealita kedemokratisan yang dicita-citakan, kita telah kerap kali merasakan penyimpangan-penyimpangan demokrasi yang berujung pada otoriterianisme rezim. Menurut Juan Huiz (1975), jika kita ingin membangun kedemokratisan, maka ukuran kedemokratisan suatu system politik adalah: Pertama, memberikan kebebasan pada masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Kedua, memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur melalui cara-cara damai. Ketiga, tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.
Nah, dalam kerangka membangun perubahan sosial, paradigma kritis kita diperlukan untuk menganalisis dan membedah realitas demi mewujudkan sebuah system yang lebih adil, demokratis dan penciptaan public sphere yang lebih baik, atau bahasa Mansour Faqihnya adalah Penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil. Dengan struktur yang demikian, akan lebih memungkinkan bagi rakyat untuk berdaulat.
Kemudian, mendewasakan diri dan masyarakat untuk menjadi individu dan masyarakat yang terbuka, toleran, inklusif, multicultural, adaptif, menghargai-menghormati perbedaan dan pluralitas, menjadikan pluralitas sebagai sumber kekuatan untuk bersatu dan mengokohkan kemandirian sebagai suatu system masyarakat dan negara-bangsa adalah proses yang harus kita jalani dan terus kita usahakan--secara implementatif di kedepankan. Sesuai gambaran masyarakat cita tentang Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur, maka untuk menghindari perkosaan atas nilai-nilai dasar kemanusiaan, berupa penumpahan darah yang sia-sia, penghisapan dan penindasan secara politis dan ekonomis, menjadi perjuangan kita untuk membentuk masyarakat yang terbuka, inklusifis dan bersifat pluralis-multikulturalis, yang secara filosofis menurut Karl Popper bahwa…masyarakat terbuka merupakan kebalikan dari masyarakat tertutup yang berbasis ideology totaliterian.--Atau bisa ditambah, masyarakat yang eksklusif-dogmatis.
MT Zen (1998) menjelaskan, untuk membangun masyarakat terbuka, maka: Pertama, harus adanya kehidupan demokrasi/kedaulatan rakyat. Kedua, prinsip demokrasi tidak berfungsi dan tidak berani jika tidak disertai kebebasan dan keterbukaan, karena kedua hal tersebut membuka bagi pengawasan antar setiap elemen masyarakat. Ketiga, hak asasi manusia adalah hak manusia yang mendasar yang harus diakui dan dihormati. Untuk itu perlu adanya demokrasi disertai kebebasan dan keterbukaan. Keempat, ketiga hal tersebut hanya dapat berlangsung jika ada jaminan dan keadilan hukum. Kelima, kelestarian lingkungan hidup, karena menjadi kewajiban masyarakat dunia untuk membangun suatu dunia yang adil secara sosial dan secara ekologik dapat berlanjut.
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Semoga Allah Azza Wajalla meridhai. Amiiin.
Billahittauufiq Walhidayah.

RUDY HANDOKO

MEMBANGUN MASYARAKAT PLURALIS-MULTIKULTURAL

MEMBANGUN MASYARAKAT PLURALIS-MULTIKULTURAL

Bahwa sesungguhnya di negara ini, kita pernah menemui adanya kekejaman social yang sangat dahsyat antar sesama anak bangsa, kekejaman dalam bentuk kekerasan komunal (communal violence) dan keterbuangan social (social displacement). Kekejaman social yang menghancurkan kemanusiaan, yang benihnya secara laten masih terus tertanam-mengendap di alam pikiran. Kekejaman yang telah melahirkan trauma social yang berkepanjangan dan cenderung memunculkan negative image serta menumbuhkan dendam antar sesama.
Keinginan mewujudkan tatanan bernegara dan berbangsa seperti yang di idamkan dalam keragaman agama dan keragaman budaya, jika tidak dikelola dengan baik, alhasil…kerap melahirkan benturan/friksi yang memunculkan konflik-kekerasan. Pada kenyataannya ketegangan yang melahirkan konflik bernuansa kekerasn tersebut dipicu dengan bungkus sentimen keagamaan dan budaya, meski didalamnya seperti yang kita ketahui tentulah dilatarbelakangi persaingan kepentingan politik dan ekonomi sebagai motifnya. Pluralitas yang disuatu sisi diharapkan menjadi inspirasi dan harapan bagi integrasi dan kemajuan, namun demikian juga keragaman kultural merupakan aral rintangan yang siap menjegal.
Kita tersentak akhirnya, bahwa keinginan untuk menyatu dalam berbangsa dan bernegara masih merupakan cita-cita belaka, dalam situasi seperti ini, semangat komunalisme yang masih hidup mudah terbakar bila rasa keadilan dan kepantasan dalam hidup bernegara terganggu dan atau diganggu.
Disaat ini, kita perlu membincangkan tentang mengubah paradigma berfikir masyarakat memandang keberagaman yang ada, sehingga keberagaman dihargai sebagai sesuatu yang lumrah dan dihormati secara equal.
Apabila pluralitas menggambarkan adanya kemajemukan sebagai sesuatu yang lumrah ada dalam masyarakat yang berdinamika, maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah ‘sama’ di dalam ruang publik. Dalam artian dengan kita memahami adanya komunitas-komunitas yang berbeda, maka lebih dari itu kita diharapkan juga untuk membuka diri dan menyadari bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara.
Konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan, gagasan ini juga menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman secara agama, suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kesederajatan.
Masyarakat pluralis-multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya (Subagyo:2001). Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, menghindari konflik--kekerasan meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan.
Kemudian…secara sederhana, pluralitas-multikuturalisme dapat dipahami sebagi suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas kehidupan di dalamnya, yang mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat pluralis-multikultural, dapat dilihat sebagai sebuah ide yang bertujuan meredam konflik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Selain itu, ide tersebut juga berpotensi mampu menonjolkan potensi-potensi kekayaan, potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Berpijak pada kerangka pemikiran ini, paradigma multikulturalisme jika dikembangkan secara massif diharapkan menjadi solusi konflik kemanusiaan selama ini. Disamping untuk menopang wacana demokratisasi sebagai agenda masa depan politik guna mencapai cita ideal perdamaian dan peradaban modern. Oleh karena itu, wacana pluralitas-multikulturalisme menjadi sangat penting untuk dibina sebagai upaya mengkonstruk masyarakat yang beradab dan berkeadaban berlandaskan pada demokrasi untuk tercapainya sebuah masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sinilah konsep pluralitas-multikulturalisme diharapkan memberi kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan non-diskriminasi, terutama perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan non-diskriminasi kaum minoritas. Karena keharusan kemanusiaan dan demokrasi dalam upaya membangun peradaban berkeadilan untuk memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi? Tidak ada diskriminasi yang didasarkan pada kelas, gender, ras, atau minoritas agama dalam ruang public (public sphere). Sebaliknya, setiap individu harus diperlakukan sebagai warga dengan hak-hak dan kewenangan yang sama.
Sebagai alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, pluralitas-multikulturalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Multikulturalisme diharapkan menjadi narasi ide guna membangun perspektif baru terhadap keragaman, sebagai perspektif baru dalam upaya merenda benang-benang hubungan antar-manusia yang pernah hidup dalam suasana penuh konfliktual. Karena saat ini muncul kesadaran massif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik.

PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, dalam proses perubahan social yang sejatinya membawa masyarakat kedalam kehidupan yang kompleks dan plural. Dalam tatanan social seperti ini, pencegahan tradisi kekerasan yang tidak menghargai-menghormati perbedaan dapat dimulai melalui penerapan kebijakan pendidikan yang ditanamkan sejak dini--mengedepankan kebersamaan dalam pluralitas, prinsip-prinsip toleransi dan anti terhadap segala bentuk kekerasan. Artinya, sebaiknya di dunia pendidikan kita sedari dini memikirkan metode pendidikan yang berisikan wacana pluralitas-multikulturalisme dan pembinaannya untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, mulai tingkat SD hingga tingkat SLTA. Pendidikan harus memberikan rasa dan sentuhan baru yang dihadapkan dan didasarkan pada realitas, semenjak awal…peserta didik diperkenalkan dan belajar tentang hal-hal yang sepatutnya mereka ketahui, bukan di indoktrinasi, di asingkan dan di alienasi, sehingga sekolah tidak menjadi sarang pencipta kekerasan. Seperti yang di ungkap oleh Eko Prasetyo pengarang Buku Orang Miskin dilarang Sekolah, bahwa system pendidikan kita hanya melahirkan kekerasan…karena imajinasi tentang kekerasan ini begitu masuk dalam lingkungan pendidikan kita, sehingga mereka (peserta didik) kerap kali memilih untuk berhimpun dalam komunitas kekerasan ketimbang kelompok kebudayaan.
Jhon Dewey mengungkapkan bahwa ciri fundamental kebiasaan adalah bahwa setiap pengalaman yang telah diperoleh memodifikasi pengalaman yang sedang dijalani. Nah…pengalaman yang diterima melalui pembelajaran dari sekolah yang cenderung menekankan indoktrinasi dan seragamisasi oleh peserta didik tanpa kesempatan mengembangkan daya kritis untuk bertanya dan berdialog, akhirnya--akibat proses itu memunculkan sikap kebiasaan yang menolak keragaman, pluralitas, apalagi untuk mentoleransi perbedaan dan mendudukannya secara sederajat.
Pembahasan dan pemahaman tentang pluralitas-multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, agar pemahaman tentang pluralitas-multikulturalisme menjadi bagian pendidikan awal untuk mengkonstruk pemikiran-kebiasaan yang diharapkan ter-internalisasi dan ter-institusionalisasi sebagai cara pandang pada individu-individu guna melahirkan generasi pencinta perdamaian dan anti kekerasan ditengah masyarakat. Semoga…!


RUDY HANDOKO