red_roodee

Monday, June 12, 2006

Perkemahan Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat

Catatan Kegiatan
--------------------------
Perkemahan Pemuda, Mahasiswa dan LSM Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat

Kita memang beda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Oh...alangkah indahnya persaudaraan dan persahabatan,…Indahnya hidup bergandengan tangan, berdampingan dalam kedamaian.

Banyak kata dan kalimat nan indah terungkap, menggambarkan betapa perbedaan bukanlah halangan untuk kita menjadi saudara, menjalin tali kasih dan persahabatan, bekerjasama membangun kehidupan yang penuh harmoni, perdamaian dan kesejahteraan. Perbedaan adalah sesuatu yang lumrah dan tak bisa disangkal, cukup sudah selama ini karena perbedaan kita dikotak-kotak-kan, saling curiga dan hidup didalam prejudice yang terkadang berakhir dengan saling bermusuhan, padahal kita adalah sesama anak manusia yang merindukan indahnya hidup berdampingan.
Memang benar perbedaan bisa menimbulkan friksi dan pertentangan yang bisa berujung konflik jika kita tak waspada dan dewasa dengan perbedaan yang ada, tapi sesungguhnya perbedaan akan lebih bermakna dan menjadi berkah bagi kita untuk hidup berdampingan. Karena Tuhan memang menciptakan kita berbeda, berbeda --bukan untuk diseragamkan-- tapi berbeda untuk saling dihormati dan saling menghargai antar sesama makhluk Tuhan yang merindukan kedamaian. Berbeda itu indah, kedamaian itu indah, sehingga damai di hati, damai di bumi, damai untuk semesta dan damai untuk semua.
Dalam rangka menjalinkan tali kasih kerukunan antar ummat beragama, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Departemen Agama RI melimpahkan amanah kepada Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalimantan Barat untuk mengadakan program kegiatan Perkemahan Pemuda, Mahasiswa dan LSM Lintas Agama Tingkat Kalimantan Barat di areal SMUN 8 Jalan Ampera Kotabaru Pontianak. Kegiatan yang untuk pertama kalinya dilaksanakan di Kalbar ini dihadiri 78 orang peserta dari 100 peserta yang di undang. Para peserta berasal unsur Ormas dan OKP yang mewakili 6 agama. Yah…enam agama, karena selain melibatkan unsur agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha, pada perkemahan ini untuk pertama kalinya di Kalbar bahkan di Indonesia melibatkan pula unsur agama Khonghucu, seperti yang dipaparkan oleh Drs. Rasmi Sattar, Kakanwil Depag Provinsi Kalbar. Khusus untuk ummat Khonghucu, hal ini menjadi kehormatan, karena meski telah ada undang-undang yang mengatur tentang keabsahan agama Khonghucu, namun selama ini Depag sebagai aparatur pemerintahan belum bisa melakukan pembinaan dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan keagamaan dikarenakan undang-undang tersebut di judicial review. Namun, pada tahun 2006 ini, ummat Khonghucu mendapat kado yang istimewa, karena Mahkamah Konstitusi telah kembali menguatkan undang-undang yang mengakui eksistensi agama Khonghucu tersebut. Sehingga ummat Khonghucu tidak perlu khawatir lagi akan pengakuan negara terhadap eksistensi mereka.
Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 05 sampai 09 Juni 2006 ini berlangsung meriah, di tandai dengan antusiasme peserta dalam mengikutinya. Dengan background agama yang berbeda, mereka (para peserta) berkumpul bersama mengikuti segala kegiatan perkemahan dalam kerangka mempererat kerukunan antar umat beragama, meski harus tidur didalam tenda beralaskan terpal, namun pembauran yang diupayakan antar pemuda-mahasiswa ini tampak akrab terjalin.
Acara yang dibuka secara resmi oleh Kakanwil Depag Provinsi Kalbar, dalam sambutannya menandaskan harapan agar perkemahan dapat membina para generasi muda lintas agama, selain dapat memahami ajaran agamanya masing-masing dengan benar, meningkatkan implementasinya secara konsisten untuk membentuk moralitas-integritas yang luhur bagi pemuda dan mahasiswa, juga agar mampu membawa perubahan atau rekayasa sosial bagi perdamaian dan kerukunan antar sesama, sehingga menjadi tauladan sosial bagi kerukunan antar ummat beragama.
Perkemahan ini merupakan salah satu metode yang ditempuh sebagai upaya memberikan wawasan terhadap generasi muda lintas agama tentang makna-kesadaran multikulturalisme, pluralisme, toleransi dan kesetaraan dalam perbedaan sehingga para peserta dapat mentransformasikan pada lingkungan sosialnya, dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang rukun, berdampingan dengan damai. Karena bagaimanapun para generasi muda mempunyai peran strategis ditengah masyarakat mengingat potensi progressifitas dan idealisme yang dimilikinya terutama bagi penanaman nilai-nilai tersebut dalam masyarakat.
Selama mengikuti perkemahan peserta diberikan materi seperti pendidikan multikultural, pluralisme dalam perspektif agama-agama, sosialisasi peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Kerukunan Ummat beragama dan Pendirian tempat Ibadah, Mengurai Konflik perspektif Lingkungan Keamanan dan Teritorial, Trauma Healing, dan berbagai kegiatan lapangan atau out-bond yang diharapkan dapat meningkatkan dan membina kemampuan-potensi peserta dan tentunya dapat diapresiasikan dan di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Para pemateri yang hadir untuk mempresentasikanpun cukup memadai seperti Drs. Abdul Fattah (Kepala Pusat PKUB Depag RI), Dra. Zahrotun Nihayah, M.Psi (Dosen Psikologi UIN Ciputat-Jakarta), Drs. Haitami Salim, M.Ag (Ketua STAIN Pontianak), Perwakilan Pem-Prov Kalbar, Perwakilan Polda Kalbar, Perwakilan Korem ABW dan lainnya. Selain itu para instrukturpun dengan siap sedia memberikan games-games atraktif sehingga para peserta cukup merasa enjoy didalam perkemahan.
Dalam dialog-dialog yang terbangun pada perkemahan ini, terungkaplah bahwa dengan menumbuhkan semangat multikulturalisme, generasi muda diharapkan dapat membina diri dan masyarakatnya untuk hidup saling menghormati, menghargai, toleran dan demokratis. Dengan multikulturalisme, kita harus menyadari bahwa kita hidup tidak sendiri, memerlukan orang lain, melakukan interaksi sosial dan untuk itu maka perdamaian harus menjadi acuannya. Karena pada dasarnya, substansi semua agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih bukan kekerasan yang dapat menimbulkan radikalisme dan primordialisme sempit. Bahwa Multikulturalisme adalah, selain kita mengakui adanya perbedaan tapi juga bagaimana kita mampu meletakkan perbedaan dalam kesederajatan, pada ruang publik-kehidupan.
Pendidikan multikultural menjadi amat penting untuk ditanam dan dibina sedari dini bagi generasi bangsa, hal ini bermanfaat untuk melahirkan generasi-generasi cinta damai, generasi-generasi yang menggunakan nalar rasional, dialogis-komunikatif, generasi-generasi yang toleran dan mampu bekerjasama tanpa terpasung dengan prejudice dan stereotype yang primordialis, generasi-generasi yang sepenuhnya sadar bahwa mereka meski berbeda tapi harus saling menghormati dan menghargai dalam kesetaraan itu. Bukan generasi-generasi yang mengibarkan panji-panji kekerasan dan radikalisme sebagai jalan penyelesaian atau generasi-generasi yang selalu mem-kotak-kan dirinya antara kelompok kami (our) dan kalian (them).
Selain itu, sebagaimana yang terekam dalam proses dialog multi arah peserta, maka muncullah kesepahaman bahwa : apa yang telah dibina dalam forum perkemahan ini tidak lantas cukup dan berhenti pada habisnya kegiatan, namun harus dipertegas dengan selalu mengembangkan dan memberdayakan jejaring yang telah terbangun antar peserta dan ke depan kegiatan-kegiatan pertemuan dan dialog yang membincangkan tentang perdamaian-kerukunan terus dapat di inisiasi. Khusus untuk perkemahan ini, diharapkan supaya bisa dilaksanakan dalam skala yang lebih luas dengan melibatkan para peserta dari kabupaten-kota. Kemudian untuk pelaksanaan perkemahan yang sama pada tingkat nasional, harus selalu ada perwakilan dari Kalbar.
Pada hari terakhir, para peserta perkemahan juga melakukan kegiatan survivor yang diakhiri dengan Perjalanan Religi ke rumah ibadah untuk melakukan bakti sosial.
Malam penutupan acara perkemahan ditutup oleh Kabag Tata Usaha Kanwil Depag Prov. Kalbar mewakili Kakanwil Depag Prov. Kalbar dan selanjutnya di ikuti dengan acara api unggun yang dirangkai dengan pentas seni dari peserta dan untuk peserta, seperti penampilan barongsai, pembacaan pantun dan puisi, pertunjukan koor lagu di iringi musik.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada segala sesuatu yang kita lakukan yang tak meninggalkan kekurangan. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, perkemahan ini teramat berarti dan berharga sebagai noktah sejarah untuk membina perdamaian dan kerukunan.* (Rudy Handoko)

Dilemma Perbatasan

Catatan Perjalanan
--------------------------
Dilemma Perbatasan

Berbagai masalah daerah perbatasan yang selama ini didengungkan telah menjadi masalah nasional. Bahkan, menjadi kajian dalam dinamika hubungan internasional.

Pemerintahan SBY-Kalla, dalam kebijakannya telah menetapkan bahwa pengembangan, pemberdayaan, dan pembangunan masyarakat perbatasan menjadi sesuatu yang urgen, sehingga muncul idiom yang menyatakan jika selama ini perbatasan selalu dianggap sebagai wilayah belakang NKRI, sudah selayaknya dihapuskan. Demi citra negara, maka wilayah perbatasan dalam paradigma pembangunan harus dijadikan beranda depan yang mencermin NKRI.
Namun, dalam perjalanannya kemudian, masalah perbatasan bagi Indonesia menjadi sesuatu yang cukup krusial. Ini jika dilihat dari luas wilayah perbatasan negeri ini, apalagi jika ditinjau dari sudut pandang teritorial NKRI. Berbagai kasus telah memaksa banyak pihak terhenyak. Ketika Sipadan-Ligitan lepas, blok Ambalat yang bermasalah dan berbagai wilayah terluar Indonesia lainnya yang sangat rawan diklaim oleh negara tetangga kepemilikannya.
Kalbar adalah salah satu daerah yang mempunyai perbatasan langsung baik darat maupun laut dengan negeri jiran Malaysia. Seperti daerah-daerah perbatasan lainnya, Kalbar pun mempunyai masalah yang menumpuk. Mulai dari tarik ulur soal kewenangan pengembangan daerah perbatasan, belum adanya regulasi yang mengatur tentang daerah perbatasan, maraknya penyimpangan berbentuk korupsi pembangunan, penyelundupan, ilegal logging, trafficking, ilegal trading, suap, pungli sampai persoalan pertahanan keamanan.
Uniknya Kalbar dibandingkan daerah perbatasan lainnya adalah jika Kaltim yang berbatasan langsung dengan Sabah, dari segi tingkat kesejahteraan maka tidak terlalu menyolok, karena Kaltim juga termasuk daerah yang kaya. Kalau Papua Indonesia dan Papua New Guinea juga tidak terlalu nampak. Malah mungkin lebih baik kondisi Papua Indonesia, apalagi jika dibandingkan antara Timor Leste dan NTT. Sedangkan antara Kalbar dan Sarawak, alamak ibarat pepatah antara bumi dan langit, antara tembaga dan emas, antara pungguk dan rembulan bedanya.
Pada 18-25 April, berangkatlah tim ke Sekayam dan Entikong dalam rangka melakukan survey tingkat partisipasi pembangunan dan penyimpangan daerah perbatasan. Setelah melakukan perjalanan melelahkan melalui jalan Trans Kalimantan Ambawang-Tayan, perjalanan dilanjutkan ke Balai Karangan untuk memulai survey di Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau.
Perkenalan dengan daerah perbatasan memang ditandai dengan kondisi jalan yang masih bolong-bolong meski jalan ini tergolong jalan negara dan segala pembangunan daerah perbatasan ini dibangun dengan dana APBN. Setelah sampai di Balai Karangan, keesokan harinya survey dimulai dengan perjalanan ke Dusun Segumon untuk mencari informasi. Hasil pertemuan dengan Kepala SD di Dusun Segumon mendapatkan keterangan dan keluh kesah seputar apa yang terjadi di perbatasan. Ternyata setumpuk problem ada di hadapan mata menunggu keseriusan pemerintah untuk menanganinya. Yang paling nyata seperti yang dituturkan oleh Marcellius Wedho, Kepala SD Segumon. Dia mengatakan sejak mengabdi pada tahun 1978 sampai saat ini Segumon tidak banyak berubah. Jalan masih tanah yang jika hujan menjadi becek dan banjir. Sedangkan listrik juga belum pernah ditemui tiangnya. Padahal Segumon juga merupakan jalur yang sering dilalui masyarakat jika hendak masuk ke Kampung Mungkos di kawasan Sarawak yang hanya berjarak tujuh km.
Ketertinggalan ini dibuktikan dengan angka putus sekolah yang tinggi. Maraknya penyelundupan dan tidak dilibatkannya masyarakat dalam agenda pembangunan. Pak Marcel menuturkan untuk masalah pembangunan, dulu sejak 1982 Segumon pernah diinisiasi untuk dikembangankan sebagai wilayah lintas batas. Ini dibuktikan dengan perencanaan pembangunan perkantoran satu atap untuk imigrasi, pemerintahan dan pos lintas batas keamanan, tapi ternyata tak kunjung dibangun. Kemudian patok perbatasan pun hanya sebatas tugu batu kecil yang tingginya tak sampai 10 centimeter dari tanah.
“Segumon dan Mungkos adalah dua wilayah kekerabatan, satu nenek moyang yang terpisah geografis teritorial yang bernama negara Indonesia dan Malaysia. Namun jalinan kekerabatan antar-keduanya tetap terpelihara sehingga tak jarang hari-harinya masyarakat Segumon dan Mungkos kerap saling berkunjung. Namun, kekerabatan tetaplah kekerabatan, jika Anda ke Mungkos, jangan Anda harap Anda akan menemukan jalan lecek dan gelap gulita jika malam. Malah di sana meski hanya kampung pedalaman tapi sangat terbuka aksesnya,” Pak Marcel berkata.
Seakan ingin membuktikan ucapan Pak Marcel, ditemani seorang guru setempat yang kebetulan punya sanak saudara di Mungkos, berangkatlah kami menuju Mungkos, perjalanan ditempuh naik gunung turun gunung melalui jalan setapak, melewati hutan semak belukar diwilayah perbatasan Indonesia dan sudah menjadi kebun karet dan lada jika sudah memasuki perbatasan Malaysia. Tak perlu pakai paspor di sini jika hanya berkunjung sekejap, apalagi ada masyarakat Segumon yang menjadi pemandunya, seperti yang dijelaskan pak Marcel. Dengan meminta izin kepada petugas TNI di pos lintas batas Segumon kemudian meminta izin pula pada Polis Diraja Malaysia di Mungkos..cukuplah, kamipun memasuki Mungkos.
Benar adanya apa yang disampaikan penduduk Segumon. Mungkos, sebuah perkampungan masyarakat adat Dayak di Distrik Serian, sudah demikian tertata rapinya. Jangan Anda bayangkan anda menemui jalan rusak dan lecek, meski jalannya hanya selebar 5 meter, tapi aspalnya tergolong hotmix tebal, beda dengan aspal jalan negara di Indonesia yang jika terkena ceceran bensin atau terkena standar sepeda motor di hari panas saja sudah bisa rusak. Lagi-lagi meski hanya kampung, alat transportasinya, sudah banyak warga mungkos yang punya mobil, belum lagi rumah-rumahnya yang tertata rapi, rumah adat betangnya terpelihara dengan baik. Dan, wow ada kafe di tengah pedalaman. Yup...kafe koperasi masyarakat Kampung Mungkos. Di koperasi ini dijual barang-barang kebutuhan sehari-hari, dan bukan hanya warga Mungkos yang berbelanja tapi juga warga Segumon, karena rupiah masih bisa diterima di sini. Mungkos, memang kampung pedalaman, kampung adat yang menurut salah seorang warganya dijadikan sebagai kampung eco-pelancong atau eko-wisatalah kalo di Indonesia. Dengan menjual keeksotisan adatnya, Mungkos berkembang mendahului tetangganya Segumon


Lain Segumon, lain pula Mungkos. Apatah lagi cerita Entikong, PPLB resmi yang selalu dipadati pelintas batas setiap harinya. Di Entikonglah, kami menemukan berbagai keanehan pembangunan dan dampaknya yang memang Pure Indonesian Style, seperti praktek percaloan, pungutan liar ala lintas batas oleh oknum aparat keamanan dan pemerintah di lintas batas.
Seperti tahu saja, atau memang insting yang sangat tajam, para oknum ini dengan jeli memungut upeti dari para pelaku ilegal. Seperti sudah kenal saja dengan para agen TKI, mereka meminta tip, atau meski perdagangan gula misalnya sudah dilarang tapi tetap saja truk-truk lolos, tapi sepanjang jalan diiringi dengan pungutan, paling ringan sekali mengulurkan tangan merogoh kocek sekitar Rp20 ribuan.
Kantor Imigrasi, tak ada bedanya di tempat lain di seluruh wilayah di negeri ini. Sebuah wilayah basah bagi para oknum. Penyelundupan TKI contohnya, modusnya sederhana. Para calo atawa agen mencari mangsa TKI yang ingin diberangkatkan ke Sarawak. Mereka didatangkan dari Jawa, Sambas dan juga di beberapa daerah di Kab. Landak dan Kab. Pontianak. Mereka ditampung oleh para calo, lantas dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga si calo. Kemudian mereka dibuatkan KTP Entikong untuk selanjutnya membuat paspor.
Karena memang Pure Indonesian Style dengan cara ‘tembak’, maka pihak keimigrasian melipatgandakan biaya pembuatan paspor yang biasanya hanya berkisar Rp300-400 ribu melejit hingga Rp800 hingga Rp1 jutaan. Bagaimana tidak makmur tuh! Cilakanya memang, TKI yang kebanyakan juga pada tak ngerti, masuk legal dengan paspor visa kunjungan ke Sarawak, dan bukan visa kerja. Di sana mereka telah ditunggu oleh para agen penyalurnya yang telah setali tiga uang dengan calo di Indonesia.
Nah, persoalannya adalah ketika masa berlakunya habis, mereka tidak memperpanjang, maka jadilah mereka pendatang haram yang selalu diuber-uber. Mereka bekerja keras di sana di rumah tangga, di perkebunan, malah juga di klub-klub malam atau menjadi korban dijual sebagai perempuan pemuas nafsu. Lebih parah jika mereka mendapat majikan atau bos yang tidak menghargai mereka. Jika ada masalah dengan majikan atau bos, maka si majikan bisa saja melaporkan mereka ke Polis Diraja Malaysia dan akhirnya diciduk. Sedangkan para calo/agen sudah lepas tangan.
Anda jangan tanya tentang prostitusi di sini, karena di tempat ini adalah sarangnya juga dan masih banyak yang lain termasuk persoalan pembangunan fisik yang tidak melibatkan masyarakat, tata ruang wilayah yang amburadul, pembebasan lahan masyarakat yang bermasalah dan sebagainya. Perbatasan oh... perbatasan!
Sejenak di Tebedu
Berkunjung ke Tebedu, perbedaan antara Entikong dan Tebedu sama halnya jika membandingkan antara Segumon dan Mungkos. Selangkah kaki memasuki Sarawak Malaysia, hawanya sudah laen. Tiada sampah dibuang sembarangan, tiada bangunan-bangunan liar yang tak teratur, jalanannya mulus, lingkungan sangat bersih dan penataan gedung perkantoran dan pasar dibangun sangat berwawasan. Nah ini dia, balai pejabat daerah kecila dan balai polisnya, jika dibandingkan bisa jadi paling tidak setara dengan luas gedung kantor Walikota dan Poltabes, tapi rapi dan bersihnya jangan ditanya.
Padahal Tebedu hanyalah setingkat daerah kecamatan pembantu jika di Indonesia, makanya disebut pejabat daerah kecil. Saya kira saya telah berada bukan di bumi Borneo lagi, tapi ternyata tetap di Borneo, Borneo-Sarawak.
Catatan perjalanan bukan untuk membanding-bandingkan dan mencari kesalahan tanah air sendiri, tapi pertanyaannya kapan negeri ini menjadi negeri berwawasan peradaban? Tetangga sebelah bisa, kenapa kita tidak! Ai...ape pasal lah! Nasibmu oh... Indon.* (Rudy Handoko)

MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Catatan Peringatan Hari Lahir Pancasila
----------------------------------------------------------
MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi semangat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia. Namun, sayangnya, di zaman yang lalu, ideologi Pancasila dengan sengaja mengalami disorientasi dan degradasi nilai, yang mana proses penanaman nilai-nilai murni dan luhurnya hanya menjadi sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah kesadaran palsu yang berguna untuk mengamankan kekuasaan. Kenaifan yang dilakukan ini, oleh David E. Apter karena “ideologi mencakup lebih dari sekadar doktrin. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan praktek-praktek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas, yang memberi penampakkan tingkah laku sosial lebih dihormati dan dihargai. Tentu saja, ini merupakan pandangan umum. Dari sudut pandang lain, ideologi adalah selubung bagi keinginan dan penampakan yang sesungguhnya busuk.”Sedangkan Gramsci menjelaskan, bahwa ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari berhasil atau tidaknya dia menjadi suatu kontrak sosial yang mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu entitas dalam hal ini bernama negara dan bangsa. Untuk kasus Pancasila, peranannya sebagai elemen fundamental dalam proses integrasi sosial yang tidak artifisial masih punya potensi yang kuat. Artinya, dalam keadaan negara kita terancam disintegrasi, kita masih bisa berharap ideologi Pancasila akan efektif untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Paling tidak, kita berharap masih bisa berusaha menjadikannya sebagai modal sosial yang masih di-amini oleh sebagian besar rakyat untuk mengatasi berbagai konflik atau kemacetan bangsa, melalui apa yang disebut ideologi sebagai solusi yang disepakati bersama.

Ideologi Pancasila dan Tantangan Dunia
Tantangan bagi suatu ideologi apalagi seperti Pancasila yang indigenous milik Indonesia, adalah apakah Pancasila masih relevan menghadapi gelombang globalisasi dan demokratisasi yang nyaris melintasi segala tapal batas geografis dan demografis suatu komunitas sosial? Pertanyaan tentang relevansi ideologi dalam dunia yang berubah dinamis, muncul dengan mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa berupa kerangka nasionalisme tertentu dari masing-masing negara-bangsa, maupun dalam tataran ideologi-ideologi besar dunia yang pernah muncul dan berjaya.
Dus…kita menyaksikan, gelombang demokrasi yang berlangsung telah mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, membuat ideologi itu seolah-olah tidak relevan. Sehingga Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history”, dan menetapkan satu-satunya ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat. Ternyata ideologi liberalisme-kapitalisme Barat yang muncul sebagai pemenang sampai saat ini tampil dominan dan mempengaruhi banyak komunitas sosial dan bahkan muncul sebagai kekuatan penindas baru yang hegemonik.Gelombang demokratisasi yang digaungkannya diselipi dengan pemaksaan globalisasi yang nyaris memangkas habis ideologi lainnya dan seakan-akan membuat ideologi lain makin tidak relevan dalam dunia. Globalisasi yang mengandung cacat bawaan dengan berbagai absurditas dan kontradiksi, memang berhasil menyingkirkan banyak ideologi-baik universal maupun lokal. Akan tetapi globalisasi mendorong pula bangkitnya nasionalisme lokal yang sempat terkubur, bahkan dalam bentuknya yang sarkastik, yakni semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism. Nah, hal inilah pula yang juga melanda Indonesia ketika diterpa krisis moneter, ekonomi, dan politik sampai runtuhnya orde baru yang memunculkan euphoria masyarakat karena memang selama ini selalu diam dan tertindas. Juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis dan common platform bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansinya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dipaksakan oleh rezim yang memerintah negeri ini di masa lalu dalam memperlakukan Pancasila ternyata memang memberikan kontribusi terhadap resisten-nya Pancasila pasca reformasi. Pancasila dicemari karena kebijakan rezim yang hanya menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Dominasi dan hegemonisasi interpretasi dan pemahaman Pancasila yang dilakukan meninggalkan benih resistensi itu. Apalagi ketika Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bukan dimaknai sebagai atau coba dihayati dengan arif sebagai asas bersama. Model-model seragamisasi itu amat menyakitkan, sehingga ketika terjadi keterbukaan sosial-politik yang selama ini dikekang, membuat euphoria itu muncul tak terkontrol dan menafikan Pancasila, karena selama ini Pancasila tidak ditanamkan melalui proses pencerahan fajar budi dan pembelajaran-penyadaran tapi lewat uniformitas dan represifitas itu tadi. Euphoria ini, memberikan peluang bagi penerimaan atas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama dan sektarianisme lainnya. Pancasila jadinya cenderung tidak laku menjadi common platform dalam kehidupan politik. Hal ini kemudian diperparah dengan arus sektarianisme dan primordialisme yang meningkat menuju local-nationalism yang bisa menggiring kearah ethno-nationalism, seiring desentralisasi.
Secara an sich tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro-kerakyatan dan hikmah serta mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian. Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial bersama.
Pancasila dalam Sistem EkonomiDitengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa sih yang mampu menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global. Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, toh tak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa…sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak. Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang. Pancasila dalam Konteks Sosial Politik
Akhir-akhir ini diskusi tentang kebhinekaan pun menjadi semakin asyik, karena sedang terjadi ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan. Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya, dan konsistensi menjadikan Pancasila sebagai falsafah/ideologi Negara, telah mengemuka di ruang publik. Pro dan kontra di ikuti dengan ketegangan-ketegangan malah show of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa terancam.
Seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa…salah satu hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa ketidakadilan. Endingnya bisa muncul problem sektarianisme dan primordialisme sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang…Pancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama, pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme Indonesia.* (Rudy Handoko)

SEWINDU REFORMASI

Catatan Aksi
----------------------
SEWINDU REFORMASI

Sembilan tahun lamanya, tak kuduga jadi sia-sia, kami berharap demi Indonesia, reformasi yang telah digulirkan mampu membawa perubahan kondisi bangsa ini menuju lebih baik. Tapi, ternyata kau hilang, yah...harapan itu kini sirna sudah, perubahan yang diharap tak kunjung menghampiri. Malah dipandang dari perspektif apapun, dapat terlihat kondisi negara-bangsa ini menuju arah yang menyedihkan, menyedihkan banget. Kesejahteraan rakyat yang di idamkan bak jauh panggang dari api, kekisruhan sistem politik menjadi realitas yang tak terbantahkan, akibatnya roda perekonomian yang seharusnya bergerak dinamis-progressif untuk menuju pemberdayaan ekonomi kerakyatan hanya cita-cita yang sebatas untuk digaungkan saja. Ketidak-adilan sosial adalah santapan hari-hari atau pertunjukan yang kerap dipertontonkan, rasa keadilan masyarakat di injak-injak, keterjajahan akibat intervensi asing dalam segala kebijakan telah menghilangkan kedaulatan dan martabat sebagai bangsa.
Yah, negeri ini sangat ironis, rakyatnya selalu melihat penindasan dan hegemoni yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Disaat rakyat hidup sengsara, sebagian kecil elitnya justru tidur nyenyak diatas rumah-rumah mewah, makan kenyang nan nikmat, berpergian dengan kendaraan-kendaraan mewah ‘limited edition series’ yang semuanya dibangun diatas kesengsaraan, diatas tumpukan narasi kebencian, diatas tulang belulang dan tumpahan keringat dan darah rakyat miskin.
Sedangkan kebijakan yang diberikan untuk mereka yang ‘papa’ ini adalah penggusuran, pencaplokan tanah dan hak-hak mereka. Bagi petani, harga pupuk dinaikan, harga gabah diturunkan, impor beras dilakukan, meski beras yang di impor adalah beras yang tak layak konsumsi, yang penting proyeknya itu. Harga gula meningkat drastis, harga karet dengan gampang dipermainkan oleh koorporasi perusahaan dan pabrik. Untuk buruh, perusahaan di anak-emaskan, jaminan sosial ketenaga-kerjaan buruh di nomor enam belaskan, TKI dan TKW dianggap komoditi seperti barang yang menghasilkan devisa, tapi tak pernah ada kebijakan yang melindungi, akibatnya TKI dan TKW selalu jadi korban.
Adakah masalah dengan pendidikan? Segudang masalah dengan dunia pendidikan, mulai dari kebijakan kurikulum yang tidak jelas, penganggaran yang tidak konstitusional sampai dengan mutu pendidikan dan kapitalisme pendidikan yang terjadi. Bagaimana dengan kesehatan? Jangan tanya kesehatan, jika jaminan sosial kesehatannya tak ada. Bagi rakyat miskin ‘katanya’ pakai kartu miskin bisa berobat gratis, eh ternyata ketika sampai di balai pengobatan, baik itu puskesmas apalagi rumah sakit, yang namanya miskin malah dicuekin. Makanya tak heran jika busung lapar, epidemi flu burung, gizi buruk, HIV AIDS dan lain-lainnya berkembang subur dan susah untuk diatasi.
Trus korupsi telah menjadi kemahiran, pelakunya adalah ‘dewa-dewi’ yang tak bisa diendus apalagi dijamah oleh hukum, karena semuanya punya uang dan kuasa. Kekuasaan dan otoritas yang dipegang bukan dipergunakan untuk membuat kebijakan yang pro-rakyat untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat, tapi dibuat tergantung pesanan, UU dibuat tergantung pesanan dan amplop, tergantung pesanan pemilik modal dan yang pasti intervensi kapitalisme global. Itulah situasi nasional.
Bagaimana dengan daerah, ternyata setali tiga uang kondisinya tak jauh berbeda, pelaku korupsinya tetap pada lokus yang sama, tak jauh-jauh dari aparatur pemerintahan, bisa ditemui di eksekutif dan birokrasi serta aparat penegak hukum, dapat pula ditemui dilingkaran legislatif, pemilik modal dan patron-kliennnya. Rakyat dapat apa setelah reformasi, apalagi setelah otonomi?...rakyat dapat pemiskinan, yah...pemiskinan secara struktural dan juga kultural. Pupuslah harapanku, letihlah aku menunggu!

Suara-suara meminta keadilan seperti inilah yang diteriakan untuk menyuarakan suara hati nurani rakyat. Memperingati sewindu reformasi yang sudah dianggap mati suri ini, kembali kita dipertontonkan dengan tumpukan masalah-masalah keadilan sosial yang tak kunjung beres, ambil contoh yang amat menyentil dan sedang hangat-hangatnya adalah persoalan kebijakan penghentian pemeriksaan dan pengadilan terhadap kejahatan orde baru yang disimbolisasikan dengan Soeharto selaku penguasa rezim otoriter tersebut. Adanya surat keterangan penghentian pemeriksaan dan penyidikan (SKPPP) dan tak kunjung adanya pengadilan terhadap Soeharto sehingga mencederai amanat reformasi dan juga mencederai rasa keadilan rakyat yang ditindas oleh Soeharto. Belum lagi kasus korupsi Soeharto dan kroni-kroninya yang tidak pernah diusut tuntas justru menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan pengentasan korupsi di negeri ini. Dengan label tokoh bangsa dan menyinggung tentang jasa-jasanya, seakan-akan Soeharto mempunyai imunitas hukum. Padahal kejahatan sosial dan kejahatan politik Soeharto justru lebih besar dan menyumbangkan jasa besar bagi trauma sejarah yang berkepanjangan di negeri ini. Jika dulu dianggap berhasil membangun, apanya yang dibangun, justru Soeharto membangun diatas utang-utang luar negeri dan kerapuhan sistem yang akhirnya meninggalkan borok-borok pembangunan. Pembangunannya adalah pembangunan semu, pembangunan artifisial diatas penindasan, ketidak-demokratisan, pelanggaran hukum dan HAM, diatas laras sepatu dan moncong senapan. Soeharto harus diadili termasuk putra-putri dan kroni-kroninya.
Reformasi...reformasi, reformasi sampai mati!* (Rudy Handoko)