red_roodee

Thursday, May 31, 2007

PENEMBAKAN WARGA ALASTLOGO PASURUAN ADALAH PELANGGARAN HAM BERAT OLEH MILITER

Melihat terjadinya kasus penembakan Warga Alastlogo Pasuruan Jawa Timur oleh aparat militer, mengingatkan kita akan masa-masa hidup di zaman rezim otoriterian, rezim fasis-militeristik Orde Baru. Suatu pengalaman berharga adalah betapa hidup dibawah rezim (junta) yang menggunakan pola represif sangatlah menyakitkan. Masih segar di ingatan, bahwa bangsa dan negara ini pernah mengalami masa gelap yang penuh kejahatan terhadap peradaban dan pelanggaran serius terhadap perikemanusiaan dan HAM yang dilakukan oleh Orde Baru yang disokong oleh militer.
Periode kekuasaan Orde Baru adalah masa yang termasuk paling biadab dalam sepanjang sejarah bangsa ini. Kebiadaban itu dipertontonkan dengan massif ketika setiap orang dan elemen masyarakat yang berani tampil berbeda dengan negara di kikis habis, bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi oleh rezim dan antek-anteknya...siapa lagi kalau bukan tentara (baca : militer).

--------------------------------------

Kekerasan kembali terjadi, tumpahan darah anak negeri kembali membasahi bumi. Militer kembali menunjukkan jati dirinya sebagai pembunuh rakyat,...jati diri yang selama Orde Baru menjadi image dari rezim militeristik dan menjadi perilaku utama militer.

Ternyata adagium perubahan sebagai militer yang mengayom dan militer yang berperan sebagai alat pertahanan-keamanan nasional berubah rupa menjadi begitu mengerikan, menjadi militer fasis, militer pembunuh, dan tragisnya yang dibunuh adalah rakyat yang membelikannya senjata. Senjata yang seharusnya dipergunakan untuk melindungi rakyat.

Teringat pada masa Orde Baru, dimana militer adalah ordo/golongan masyarakat yang tergolong kelas elit, yang memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu, termasuk kekuasaan di segala bidang. Dulu militer begitu ditakuti, sehingga ada guyonan, melihat orang rambut cepak saja, masyarakat non-militer sudah gemetar. Itu saking kuatnya pengaruh dan dominasi militer.

Kekerasan-kekerasan dan segala bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer pada masa lalu adalah suatu fakta yang tak terbantahkan, kekerasan seakan merupakan suatu perilaku yang jamak bagi militer. Sehingga segala persoalan diselesaikan melalui popor senjata dan muntahan peluru.

Berbagai kasus, seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Ombo, Talangsari Lampung, Nipah Kuning Madura, DOM Aceh, Operasi Militer Tim-Tim, Operasi Militer Papua yang berujung pada genosida dan penculikan-pembunuhan terhadap aktivis reformasi 98, masih belum terselesaikan dan menjadi misteri yang cenderung di peti-es kan. Sehingga muncul kesan bahwa setiap kasus yang melibatkan militer maka pasti akan hilang begitu saja. Mantan-mantan aktivis 98 mungkin akan kembali terkenang dengan kerasnya memperjuangkan demokrasi di bawah rezim militer Orde Baru.

Masih bisa diingat pula, pasca reformasi, militer terseok-seok, mencoba untuk mereformasi diri, sebagian besar dari mereka berganti wajah dan mulai berupaya mengganti tabiat. Tapi ternyata…jauh panggang dari api, seperti lagu Iwan Fals, serdadu tetap serdadu, militer tetap militer, yang dengan laras sepatu, popor senapan, pentungan dan peluru, begitu pongah dan ’gampangan’ sekali melakukan praktek-praktek kekerasan.

Malah sekarang tindakan militeristik kembali menjadi tontonan di negeri ini. Kasus penembakan terhadap Warga Alastlogo Pasuruan Jawa Timur menjadi buktinya, betapa masih sakitnya mental militer di negeri ini. Ternyata perilaku fasis-militer masih tertanam kuat, perilaku kekerasan masih menjadi jalan penyelesaian utama. Dan…korbannya adalah rakyat, rakyat yang tidak berdosa, rakyat tidak bersenjata, rakyat yang protes akan hak-haknya yang terpinggirkan.

Berapa banyak lagi darah rakyat yang harus ditumpahkan, berepa banyak lagi peluru yang dibeli dari uang rakyat itu dimuntahkan untuk menghabisi rakyat sendiri. Luar biasa perilaku militer. Ketika berhadapan dengan rakyat, maka peluru yang dimuntahkan, tetapi coba dihadapkan dengan pencaplokan kedaulatan, penakutnya minta ampun!

Rakyat yang menjadi korban sekalian dijadikan umpan peluru bagi latihan militer yang tak berkesudahan, latihan membunuh rakyat.

Yang lebih mengecewakan lagi, perilaku ini justru terkesan di’amini’ oleh para pucuk pimpinan militer, dan dengan segala argumentasi, terkesan mereka memaklumi perilaku bawahannya. Sekali lagi…luar biasa militer! Patut diacungi jempol sebagai tentara pembunuh rakyat!

---------------------------

Dari sudut pandang manapun, dari segala pembelaan apapun, kekerasan dan membunuh/menghabisi nyawa seseorang tidaklah dibenarkan, apalagi ini perilaku militer yang membunuh rakyat. Tak ada dasar apapun yang bisa membenarkannya. Karena itu, adalah kebiadaban namanya, kalau masih ada orang-orang atau golongan yang senang atau menyetujui berlangsungnya terus berbagai kejahatan besar terhadap perikemanusiaan ini. Jika ada yang berani membenarkan perilaku militeristik tersebut, maka itu adalah penjahat HAM.

Kasus ini adalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan militer, kasus ini adalah pencederaan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat di negeri ini. Di mana pun di dunia ini, membunuh secara sadis dan sewenang-wenang satu orang saja yang tidak bersalah sudah bisa dikatakan biadab. Apalagi membunuhi secara membabi buta rakyat yang tidak berdosa...Sungguh, sudah sangat keterlaluan sekali.

Militerisme pada sejarahnya selalu meminta harga yang mahal sekali untuk demokrasi. Tragedi demi tragedi yang telah terjadi dan membuat miris hati seharusnya telah membangunkan kaum pro-demokrasi, bahwa militerisme harusnya lenyap dari negeri ini.

Setiap orang yang berfikir waras, sadar dan dengan hati nurani tentunya sepakat, bahwa di mata dunia, bangsa kita tidak bisa dan tidak pantas sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab, selama belum bisa mengeliminir perilaku militeristik.

Toh...ternyata, perilaku yang telah berurat berakar mulai dari masa rezim militer Orde Baru selama puluhan tahun itu, diteruskan pula oleh berbagai pemerintahan sesudah pemerintahan rezim militer sampai sekarang, termasuk oleh pemerintahan di bawah presiden SBY.
Sangat naïf sekali, militer yang makan dari pajak rakyat negeri ini, malah membunuh rakyat. PB Jenderal Sudirman tentu akan kecewa sekali dengan para penjahat HAM yang mengaku sebagai pewarisnya ini, karena mereka bukannya melindungi negeri dan rakyat negeri ini, tapi menjadi pembunuh rakyat itu sendiri.

Untuk itu, kami menyatakan mengutuk perilaku militeristik dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer terhadap Warga Alstlogo Pasuruan Jawa Timur dan menuntut agar pelakunya diadili, dihukum dengan berat dan menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Hasan Bashri : JARI Orwil Borneo Barat

Syaharan : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Pontianak

Andry Candra : Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Univ. Tanjungpura

Pontianak Kalbar

Budiono : Jaringan Muda Khatulistiwa (JM-Kha) Kalbar

Rudy Handoko : Lembaga Studi Sosial Dan Demokrasi (eLSSiDe) Kalbar

Yanto Labak : Consentrasi Mahasiswa Rakyat Demokratik (COMRADE)

Pontianak